Filosofi Teras, Dari Amor Fati hingga Meditatio Malorum

Oleh: Herlianto. A

Ilustrasi kaum stoik. Foto/dok

Mazhabkepanjen.com – Dalam arikel ini saya mau membedah buku Filosofi Teras, salah satu buku yang membahas pemikiran stoik. Ada 4 hal yang ingin saya jelaskan dari buku ini, yaitu dikotomi kendali, indifferent, meditatio malorum, dan amorfati.

Saya pertama kali mendengar stoikisme itu sekitar tahun 2015, ketika ikut belajar filsafat Yunani. Saat itu, sebatas tahu saja, bahwa stoik adalah the late phase of Greek philosophy. Perkembangan agak akhir filsafat Yunani sebelum kemudian tenggelam.

Tetapi rupanya, tahun 2020an filsafat stoik sangat hype di Indonesia. Ada banyak artikel bertaburan di website yang membahas stoik, utamanya, soal prinsip bahagia ala stoik. Nah buku Filsofi Teras ini, menjadi salah satu buku yang, menurut saya, memicu dengan sangat dalam meledaknya kajian stoikisme di Indonesia.

Pada kesempatan ini, saya tidak ingin mengulang membahas sejarah stoikisme lagi. Di beberapa artikel sebelumnya saya sudah membahasnya, termasuk logika stoik. Jadi stoik itu juga membahas logika, tapi yang lagi digandrungi termasuk yang dibahas panjang lebar di buku Filosofi Teras cenderung pada etikanya.

Populerisasi Stoikisme

Judul lengkap buku ini: FILOSOFI TERAS: Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini. Apa yang ditulis oleh Henry Manampiring di buku ini adalah pengalaman pribadinya sebagai seorang yang mempraktikkan cara hidup stoik selama bertahun-tahun. Jujur saja, saya bukan seorang stoik, tapi suka membaca kajian-kajian stoik.

Baca Juga: Menjadi Stoik, Mengatasi Kecemasan

Karena buku ini ditulis berdasarkan pengalaman, maka membacanya seperti membaca preskripsi atau petunjuk penggunaan bagi yang mau menjadi stoik. Jadi tidak teoritik banget, sebagaimana filsafat yang biasa ditakutkan itu. Buku ini kalau dibandingkan dengan bukunya Setyo Wibowo yang juga membahas stoikisme yang berjudul ATARAXIA: Bahagia Menurut Stoikisme sangat breda penyajiannya.

Karena memang, Henry Manampiring mengakui sendiri bahwa dia bukan mahasiswa filsafat, sementara Setyo Wibowo memang disiplin kajiannya adalah filsafat. Wajar bila buku Setyo jauh lebih teoritik ketimbang buku ini.

Tetapi, menariknya, dan ini yang membuat ini buku ini keren, Henry Manampiring menghadirkan banyak tafsir dari para pegiat atau penulis stoik kontemporer, misalnya William Irvine, Tim Ferris, Ryan Holiday, dst. Tafsir-tafsir ini jelas memperkaya pemahaman kita tentang stoik.

Selain itu, tentu, kutipan-kutipan menohok dan kenyal dari para pendekar stoik juga disajikan, misalnya sang kutipan dari pendiri stoik Zeno, lalu Epictetus, Marcus Aurelius, Seneca, Mosonius Rufus, dst. Kutipan-kutipan itu kemudian dijabarkan dan diberikan contoh-contoh kasusnya. Jadi, kita persis seperti disuapin oleh Henry Manampiring soal stoik. Makanya, bisa jadi buku ini cocok bagi Anda yang mudah lelah berpikir. 

Baiklah, saya akan membahas empat hal yang menurut saya menjadi poin krusial di buku ini.

Baca Juga: Stoisisme: Dari Logika Proposisi hingga Pantheisme

Dikotomi Kendali

Pertama dikotomi kendali. Gagasan utama hidup ala Stoik itu adalah membuat dikotomi antara hal-hal yang bisa kita kontrol dan yang tidak bisa kita kontrol.

Yang bisa dikontrol, misalnya: persepsi kita, keinginan, tujuan kita, atau hal-hal yang berhubungan dengan pikiran dan tindakan kita. Sementara yang tidak bisa kita kontrol ada banyak. Misalnya, penilaian orang pada kita, dari siapa kita akan lahir, kekayaan, kesehatan, ketenaran dst.

Nah, stoik mengajarkan apabila kita ingin bahagia, kita mesti fokus pada apa yang bisa kita kontrol bukan yang tidak bisa kita kontrol. Jadi kita tidak perlu memikirkan mengapa tidak lahir dari suku A, atau keluarga ningrat. Memikirkan itu hanya membuat kita kecewa. Kadang menyalahkan diri sendiri bahkan menyalahkan Tuhan. Itu tidak rasional.

Bagaimana kalau kita ujian skripsi, itu nilainya dari dosen. Kalau begitu tidak perlu belajar, meskipun sudah berusaha mengerjakannya dengan sungguh-sungguh kalau mood dosennya jelek maka hasilnya juga jelek? Berarti tidak perlu belajar?

Baca Juga: Persia dan Non Persia, Filsafat Islam Kontemporer

Menjawab ini Henry Manampiring menyajikan tafsirnya William Irvine, yang memberi opsi trikotomi, opsi ketiga. Jadi kalau dikotomi membagi antara yang bisa kita kontrol dan tidak bisa kita kontrol. Trikotomi mengatakan bahwa ada hal yang hanya sebagiannya saja yang bisa kita kontrol, tidak keseluruhan.

Dalam conton skripsi ini, tujuan kita membuat skripsi dan hasil ujian skripsi. Artinya, hasil ujian tidak bisa kita kontrol, tetapi tujuan kita membuat skripsi bisa kita kontrol.

Indifferent

Indifferent ini bahasa gampangnya adalah “tidak ngaruh.” Stoikisme menempatkan dengan jelas hal-hal yang tidak berpengaruh terhadap kebahagiaan kita. Dalam hal ini sebetulnya stoik ingin bersikap realistis. Bahwa ada hal-hal di luar diri kita yang tidak berpengaruh pada kebahagiaan kita seperti materi, kekayaan, kecantikan, dan kesehatan.

Tapi bukan berarti kita menginginkan kemiskinan, ingin sakit, dan menolak semua materi. Ini justru tidak waras. Dan, inilah yang membedakan stoik dengan kaum sinis. Untuk itu, stoik membedakan indifferent atau hal-hal yang tidak ngaruh itu jadi dua, yaitu preferred indifferent dan unpreferred indifferent.

Yang pertama, preferred indifferent, hal yang tidak ngaruh tetapi kalau ada ya bagus. Misalnya, harta benda, kecantikan, popularitas. Kalau kita kaya, itu baik, karena bisa bersedekah dan bisa membantu mereka yang membutuhkan. Pendeknya, bisa mewujudkan satu kebajikan: dermawan.

Yang kedua, unfreferred indifferent yaitu hal-hal yang tidak ngaruh tetapi kalau tidak ada justru lebih baik. Misalnya, sakit, reputasi buruk, dan miskin. Kita mungkin, ingin punya popularitas, ingin kaya, dan sehat juga. Tapi kalau kita tidak punya itu ya biasa saja. Tidak perlu melakukan hal ekstrem untuk meraih itu semua.

Yang perlu diingat bahwa kekayaan, popularitas, kesehatan adalah hal-hal yang berada di luar kendali kita. Sewaktu-waktu itu semua bisa hilang. Makanya, kebahagiaan kita jangan bergantung pada itu. Saya pernah dengar dalam istilah Jawa itu: aku neng kene, saiki, yo ngene. Aku di sini, sekarang, ya begini.

Apakah ini berarti stoikisme mengajarkan kepasrahan, jabariyah dalam bahasa agamanya. Tidak juga. Kita bisa lihat para guru stoik itu sendiri. Marcus Aurelius adalah seorang kaisar, Seneca adalah seorang guru. Mereka tidak nongkrong ngopi-ngopi sambil berharap kebaikan. Ada sesuatu yang mereka lakukan.

Baca Juga: Esensi dan Esksistensi: Metafisika Filsafat Islam

Justru karena kita harus sesuai dengan alam, maka kita harus melakukan sesuatu. Harus bekerja. Ada kutipan menarik dari Marcus Aurelius dalam buku Meditations.

Dia mengatakan: “saat subuh ketika kamu merasa sulit meninggalkan tempat tidur, katakan pada dirimu sendiri: saya harus bekerja sebagai manusia. Apa yang harus saya keluhkan, jika memang saya mengerjakan hal-hal yang untuknya saya dilahirkan.”   

Meditatio malorum

Meditatio malorum itu adalah memikirkan hal-hal buruk atau negatif yang mungkin menimpa kita. Jadi sebelum kita melakukan sesuatu, atau saran dari Marcus Aurelius itu setiap pagi saat mau beraktivitas mengatakan pada diri bahwa kita akan diganggu orang, dihina orang, tawaran kita ditolak orang, ada orang blayer motor, jalanan akan macet, atau bulan depan kita akan bangkrut, dan sejumlah hal-hal negatif lainnya.

Loh bukankah ini pikiran negatif yang membuat kita tidak berani maju? Meditatio malorum berbeda dengan berpikir negatif atau over thinking. Ingat di bagian pertama tadi, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol yang sangat mungkin terjadi. Sehingga jika itu terjadi kita tidak kecewa terlalu dalam. Cinta kita ditolak tidak perlu minum racun, karena diawal menyadari bahwa upaya nyatakan cinta itu bisa saja ditolak.

Begitu juga ketika menghadapi kemacetan, ada orang bunyikan motor nyaring, ada orang belok kiri tapi lampu sign ke kanan. Maka kita tak perlu misuh, karena kita sudah antisipasi menyadari itu akan terjadi.

Jadi bedanya dengan negatif thinking, bahwa negatif thinking itu tidak didasari dengan kesadaran adanya hal-hal yang bisa kita kontrol dan yang tidak bisa kita kontrol. Sementara meditation malorum dengan kesadaran itu.

Ada kutipan menarik dari Seneca soal ini. Dia bilang “musibah terasa paling berat bagi mereka yang mengharapkan hanya keberuntungan saja.”

Amorfati

Bagian ini saya akan mulai dari kutipan Epictetus dalam Discourses yang dikutip di buku  Filosofi Teras ini. Dia bilang “jangan menuntut peristiwa terjadi sesuai keinginanmu, tapi justru inginkan agar hidup terjadi seperti apa adanya dan jalanmu akan baik adanya.”

Jadi misalnya, hidup dalam kekurangan, tampang juga pas-pasan, kena copet pula. Apes tenan. Itulah kenyataan yang kita alami, itulah adanya. Kita tidak hanya menerima keadaan itu tetapi juga perlu mencintainya.

Jadi kaum stoik dalam hal ini meyakini bahwa alam ini sudah tertata dengan rapi, bergerak dalam suatu harmoni yang begitu teratur. Jadi sebetulnya apa yang kita alami atau apa yang terjadi sudah sesuai dengan mata rantai peristiwa dan hukum alam.

Hukum alam dalam hal ini bisa dipahami, misalnya kalau burung ya terbang, kalau ikan ya berenang, kalau roda ya berputar. Dalam tradisi filsafat timur itu biasa dikenal dengan wuwei. Bahasa pendeknya, berdamai dengan apa yang terjadi.

Inilah yang disebut amor fati, love of fate, mencintai takdir. Buku ini mengambil konsep amor fati dari Nietzsche, yaitu bahwa tak ingin apa pun menjadi berbeda, tidak ke depan, tidak ke belakang dan tidak hanya sekadar menanggung apa yang terjadi tetapi juga mencintainya.

Kalau misalnya kecopetan tadi itu, masak harus berdamai dengan kondisi itu. Gila kali ya. Kecopetan tapi malah disuruh berdamai. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terjadi. Maka yang bisa dikendalikan adalah hanya persepsi kita akan kecopetan itu. Kita tidak bisa minta mengulang peristiwa sebelum kecopetan.

Ada tips dari buku ini yang disebut STAR. STAR itu kalau dipanjangkan menjadi Stop, Think, Asses dan Respons. Jadi berhenti sejenak, tarik napas, berpikir, menilai dan baru beri respons.

Jadi tak perlu lebay dengan suatu peristiwa buruk, karena tak ada yang baru di dunia ini. Tak perlu, misalnya, merasa apes terus. Kena copet, diserempet orang. Lalu merasa sampai kapan pun akan apes melulu seperti itu.

Setiap peristiwa buruk selalu ada sisi baiknya, mungkin dengan kecopetan semakin hati-hati menyimpang uang, dengan terserempet orang semakin berhati-hati kalau di jalan.

Enggak pernah kecopetan sih? Pernah juga. Saya pernah dicopet, malah yang berat bukan hilang uangnya, tetapi KTP, SIM dan STNK. Ngurusnya lama.

Jadi poinnya, stoik itu berupaya hidup selaras dengan alam. Dan, salah satu anugerah alamiah yang dimiliki manusia itu adalah akal. Maka dalam hidup manusia harus menggunakan akal agar selaras dengan alam.

Kebahagiaan versi stoik, sebagaimana dikatakan Setyo Wibowo adalah apatheia: tidak menderita atau negatif logis. Artinya, bahagia versi stoik itu adalah keadaan bebas dari emosi, bebas dari penderitaan, dan bebas dari berbagai keinginan yang menyiksa.

Post a Comment

0 Comments