Pemikiran Sukarno: Negara, Gerakan, dan Perempuan


Sukarno. Foto/by AI

Mazhabkepanjen.com - Sukarno bukan hanya presiden pertama Republik Indonesia, tetapi juga seorang pemikir yang gagasannya membentuk wajah bangsa ini. Ia melihat kemerdekaan bukan semata-mata soal mengibarkan bendera Merah Putih dan mengusir penjajah, melainkan sebuah proses panjang untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan berdaulat. Dalam visi besar Sukarno, negara, gerakan rakyat, dan pembebasan perempuan adalah tiga elemen yang saling terhubung, seperti rangkaian mata rantai yang tak terpisahkan.

Negara: Alat Revolusi dan Wadah Persatuan

Bagi Sukarno, negara adalah alat revolusi. Ia memandang bahwa setelah kemerdekaan tercapai, negara harus menjadi motor penggerak perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Negara tidak boleh sekadar menjaga ketertiban atau menjadi wasit netral di tengah masyarakat. Sebaliknya, negara harus memihak pada rakyat kecil, menghapus penindasan, dan memastikan semua warga negara mendapatkan kesejahteraan.

Pada 1 Juni 1945, dalam sidang BPUPKI, Sukarno memperkenalkan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila bukan hanya kumpulan prinsip moral, tetapi sebuah “titik temu” yang mengakomodasi kepentingan nasionalis, Islamis, dan sosialis. Sukarno juga mengajukan gagasan Negara Gotong Royong, di mana semua kekuatan politik bekerja sama demi kepentingan rakyat. Ia mengkritik sistem demokrasi liberal ala Barat yang cenderung memisahkan masyarakat dalam kubu pemerintah dan oposisi, karena hal itu dinilainya berpotensi memecah persatuan bangsa yang baru lahir.

Gerakan: Marhaenisme dan Persatuan Nasional

Dalam pandangan Sukarno, revolusi memerlukan gerakan rakyat yang kuat. Salah satu kontribusi pemikirannya yang penting adalah Marhaenisme. Ide ini terinspirasi dari pertemuannya dengan seorang petani kecil di Bandung bernama Marhaen, yang memiliki tanah dan alat pertanian sendiri namun tetap hidup miskin. Dari sinilah Sukarno menyimpulkan bahwa rakyat Indonesia bukan proletar seperti dalam teori Marx, melainkan “Marhaen”—orang kecil dengan kepemilikan alat produksi sederhana, tetapi tetap tertindas oleh sistem kolonial dan kapitalis.

Marhaenisme memadukan nasionalisme dan sosialisme dengan semangat kerakyatan. Ia menyerukan agar rakyat kecil sadar akan kekuatannya, bersatu, dan berjuang melawan penindasan. Sukarno menolak sektarianisme politik; ia mengajak semua kekuatan anti-kolonial—baik nasionalis, Islamis, maupun sosialis—untuk bekerja sama.

Bagi Sukarno, perjuangan Indonesia adalah bagian dari gerakan internasional melawan imperialisme. Ia menghubungkan kemerdekaan Indonesia dengan kebangkitan bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pandangan ini menemukan momentumnya dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, yang menjadi tonggak lahirnya Gerakan Non-Blok.

Perempuan: Ibu Bangsa dan Subjek Revolusi

Sukarno memiliki pandangan yang cukup progresif tentang perempuan untuk zamannya. Dalam bukunya "Sarinah" (1947), ia menulis bahwa perempuan adalah “ibu bangsa” yang memegang peran penting dalam membentuk generasi masa depan. Ia menegaskan bahwa perempuan harus memiliki hak politik, sosial, dan ekonomi yang setara dengan laki-laki.

Menurut Sukarno, penindasan terhadap perempuan tidak hanya berasal dari budaya patriarki, tetapi juga diperkuat oleh sistem kolonial yang memiskinkan rakyat. Oleh karena itu, pembebasan perempuan harus menjadi bagian dari revolusi nasional. Ia mendorong perempuan untuk berpendidikan, aktif dalam organisasi, dan bahkan terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan.

Namun, meskipun pandangan Sukarno cukup progresif, ada juga sisi patriarkal dalam sikap pribadinya yang mencerminkan budaya zamannya. Walau demikian, ia tetap konsisten melihat perempuan bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai subjek penting dalam perjuangan bangsa.

Timeline Pemikiran Sukarno

·         1926–1927 – Saat menjadi mahasiswa di Technische Hoogeschool Bandung, Sukarno mulai aktif dalam diskusi politik dan memadukan gagasan nasionalisme, sosialisme, dan Islamisme.

·         1927 – Mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tujuan kemerdekaan penuh melalui kekuatan rakyat.

·         1930 – Menyampaikan pledoi Indonesia Menggugat, yang memuat kritik tajam terhadap kolonialisme dan seruan persatuan nasional.

·         1932–1942 – Dalam masa pembuangan di Ende dan Bengkulu, Sukarno mengembangkan gagasan Marhaenisme dan memperdalam pemikirannya tentang persatuan nasional.

·         1945 – Memperkenalkan Pancasila sebagai dasar negara dan mengusulkan konsep Negara Gotong Royong.

·         1947 – Menulis buku Sarinah, yang memuat pandangannya tentang emansipasi perempuan dan perannya dalam revolusi.

·         1955 – Memprakarsai Konferensi Asia-Afrika di Bandung, memperkuat posisi Indonesia dalam gerakan anti-imperialisme global.

·         1960-an – Mengembangkan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) untuk menjaga persatuan politik dalam negeri di tengah ketegangan ideologi global.

Pandangan Sukarno tentang Kolonialisme

Bagi Sukarno, kolonialisme bukan hanya penaklukan wilayah atau pendudukan militer, tetapi sistem penindasan yang bersifat politik, ekonomi, dan kultural. Ia melihat kolonialisme sebagai bentuk penghisapan yang memiskinkan rakyat, memecah belah persatuan, dan menghancurkan martabat bangsa.

Dalam pandangannya, kolonialisme bekerja secara sistematis:

1.      Politik – Menyingkirkan rakyat dari proses pengambilan keputusan dan memusatkan kekuasaan di tangan penjajah.

2.      Ekonomi – Mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja untuk kepentingan bangsa penjajah, bukan untuk kemakmuran rakyat lokal.

3.      Kultural – Menanamkan rasa rendah diri pada bangsa terjajah melalui pendidikan dan media, sehingga rakyat merasa inferior dan tunduk pada nilai-nilai penjajah.

Sukarno berulang kali menegaskan bahwa kolonialisme adalah musuh universal yang tidak hanya menimpa Indonesia, tetapi juga bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dalam pidatonya di Konferensi Asia-Afrika (Bandung, 1955), ia menyatakan:

“Kolonialisme belum mati. Ia masih hidup dalam bentuk-bentuk baru. Ia menyamar sebagai perwujudan ekonomi, politik, bahkan kebudayaan. Kolonialisme modern ini adalah imperialisme”

Kolonialisme Lama vs Kolonialisme Baru

Sukarno membedakan dua bentuk kolonialisme:

·         Kolonialisme Lama – Penjajahan langsung, seperti Belanda di Indonesia, Inggris di India, atau Perancis di Vietnam.

·         Kolonialisme Baru – Bentuk lebih halus, di mana negara bekas jajahan secara politik merdeka tetapi ekonominya masih dikuasai oleh negara atau perusahaan asing.

Ia menekankan bahwa bangsa merdeka harus melepaskan diri dari kedua bentuk kolonialisme ini, karena kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi hanyalah kemerdekaan semu.

Anti-Kolonialisme sebagai Landasan Gerakan

Pandangan anti-kolonialisme Sukarno menjadi dasar dari semua aktivitas politiknya:

·         Ia mempersatukan nasionalis, Islamis, dan sosialis melawan penjajahan.

·         Ia mengaitkan perjuangan Indonesia dengan gerakan pembebasan di negara lain, sehingga lahirlah solidaritas internasional.

·         Ia memperjuangkan Gerakan Non-Blok, agar negara-negara baru tidak terseret dalam perebutan pengaruh blok Barat dan Timur yang berpotensi menjadi bentuk kolonialisme baru.

Bagi Sukarno, kolonialisme harus dilawan dengan persatuan nasional di dalam negeri dan persatuan internasional di antara bangsa-bangsa tertindas. Baginya, perjuangan anti-kolonial adalah perjuangan untuk memulihkan martabat kemanusiaan.

Relevansi Pemikiran Sukarno Saat Ini

Walaupun Sukarno hidup di abad ke-20, banyak gagasannya yang masih relevan. Konsep Negara Gotong Royong menjadi pengingat bahwa persatuan dan kolaborasi antargolongan adalah kunci kemajuan bangsa. Marhaenisme tetap menjadi inspirasi perjuangan rakyat kecil di tengah ketimpangan ekonomi. Sementara itu, pandangannya tentang perempuan mengingatkan bahwa kesetaraan gender adalah bagian integral dari pembangunan bangsa.

Di tengah arus globalisasi dan persaingan internasional, semangat anti-imperialisme Sukarno juga memberi pelajaran bahwa kedaulatan politik dan ekonomi harus selalu dijaga. Visi besarnya mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan tujuan akhir, tetapi awal dari tanggung jawab besar untuk membangun bangsa yang adil, makmur, dan beradab.

Posting Komentar

0 Komentar