Oleh:
Herlianto A
Bagaimana jika semua negara memproduksi nuklir atas nama
keamanan?, akan seperti apa persaudaraan jika setiap orang punya senjata api
secara pribadi?, bagaimana jika mobil, motor, sepeda, kapal, pesawat, jet
tempur terus diproduksi tanpa batas?, Bagaimana jika hutan terus digundululi
demi pembangunan gedung-gedung pencakar langit?, Bagaimana jika bumi terus
dikeruk dilubangi demi memenuhi kebutuhan energi manusia yang tak pernah usai?
Akan seperti apa peradaban jika Undang-Undang terbaru-demi
terbaru terus disahkan? Adalah sederat pertanyaan yang layak diketengahkan
sebagai renungan di abad ke-21 ini, demi keberlangsungan hidup manusia. Jika itu semua di akibatkan oleh
perkembangan ilmu pengetahuan, mampukah ilmu pengetahuan menjawabnya sebagai
bentuk pertanggung jawaban? atau demokrasi mau menjawab!
Nuklir, senjata api, pesawat, gedung pencakar langit dst
adalah karya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah melahirkan mereka ke bumi
ini. Bahkan ilmu pengetahuan “sampai hati” melupakan dan menyelingkuhi ibu
kandungnya yaitu filsafat yang telah membesarkannya. Ilmu pengetahuan
mengabaikan kebijaksanaan, menginjak-injak wisdom ke dasar
jurang. Tragisnya, justru merencanakan penderitaan dan peperangan yang tanpa
akhir.Barat dengan pengakuannya sebagai dalang ilmu pengetahuan pun tidak punya
jawaban apa-apa akan hal itu, bahkan diperparah sejak modernisme launching tepatnya
revolusi industri Inggris 1568 dan revolusi Francis 1789.
Kedua revolusi itu merupakan platform peperangan
dan kerusakan yang lebih dahsyat lagi di muka bumi melalui teknologi-teknologi
terbarunya yang konon kian canggih. Barat semakin larut dalam pesona dirinya
sebagai standarisasai hidup manusia yang belakangan dijejalkan pada penduduk
dunia. Sementara tak ada ramuan khusus yang disajikan Barat sebagai penangkal
racun-racun modernisme. Lalu bagaimana? Siapa yang akan menjadi volunteer menjawab
itu? jangan khawatir!
Buku Filsafat Timur:
Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna ditulis oleh Ach. Dhofir
Zuhry telah hadir ditengah-tengan pembaca untuk memberi preskripsi khusus dalam
rangka mengimbangi brutalisme modernisasi, sehingga Modernisme berpacu direl
yang menghumanisasikan manusia dan tak lagi menjadi abuse of knowledge.
Karena yang menjadi problem bukan lahirnya modernisme dan ilmu pengetahuan,
tetapi mengapa disalahgunakan.
Dengan menjangkarkan pada empat akar filsafat
timur yaitu Hinduisme dan Buddisme di tanah Bharata (India)
dan Konfusianisme dan Taoisme sebagi kejora dari China, Dhofir menemukan darsana (kebijaksanaan)
yang dihempaskan oleh modernisme. Lalu dengan dibumbui Filsafat Islam (Mulla
Sadra, Muhammad Iqbal dst), Dhofir merumuskan manusia paripurna (jivan mukti)
sebagai sintesa dari filsafat timur itu. Disitu manusia mencapai titik equibliriun antara
pengetahuan dan kebijaksanaan, dengan kata lain pengetahuan dikembangkan untuk
kebijaksanaan bukan pemuasan nafsu manusiawi.
Ia memulai dari Hinduisme, dengan Vedanta (tradisi
berfilsafat yang didasarkan pada veda) dan Nyaya (tradisi
logika dan epistemologi), Umat Hindu menjauhkan manusia dari Avidya (kebodohan).
Mengajak manusia untuk menyadari diri (self/Atman) untuk
mengendalikan ego demi mencapai realitas tertinggi (ultimate reality)
sang pemilik kebenaran. Hal ini selaras dengan apa
yang termuat dalam Upanishad bahwa
kosmos laksana aneka macam pot bunga, tetapi sejatinya semua terbuat dari
esensi yang sama yaitu tanah, dalam pandangan Aristoteles ajaran ini disebut hylemorfisme.
Walhasil, dunia adalah penampakan yang tidak substansial
dan sebatas materi. Sementara materi, dalam hal ini adalah kemegahan
modernisme, adalah kerangkeng atau penjara bagi kebebasan jiwa, roh dan segala
pembentukannya. Manusia harus keluar dari kerangkeng itu melalui moksa (tapabrata/zuhud). Yaitu
menjalani hidup sederhana dan bersahaja agar tidak tergelincir pada kontestasi
duniawi dan materi yang temporal dan merusak. Sehingga tujuan hidup yang sebenarnya
nan abadi adalah aspek eskatologis (ukhrawi) bukan
dunia yang hanya beberapa tahun ini.
Ajaran Hinduisme ini mendapati momentumnya, setelah oleh
Dhofir dengan cukup apik di
diselaraskan dengan pengalaman Siddhartha Gautama sang Buddha. Melalui pengalaman
hidupnya berpapasan dengan orang menua, sakit, mati, dan petapa. Sang Buddha
yang awalnya sebagai mahkota raja dijauhkan dari segala penderitaan dan
dihadirkan segala kenikmatan baginya, justru menyimpulkan bahwa penderitaan (duhka) adalah
niscaya. Pengalaman telah membawa sang Buddha ke dasar kehidupan yang hakiki.
Dan jelas menua, sakit dan mati adalah jalan hidup yang tak mungkin dinafikan
oleh manusia kelas manapun.
Lalu Dhofir memberi sentuhan yang memperjelas ijtihad sang
Buddha, yaitu dengan memadukan yoga dengan asketisme, antara yang transenden dengan
yang imanen,
antara makrokosmos dengan mikrokosmos, atara empirisme dengan rasionalisme,
antara metafisika dengan fisika (hal 69), lebih lanjut pola ini disebut jalan tengah.
Dari sini Moksa mendapati
kesempurnaanya sebagai upaya mendapat patitya samutpada (pengetahuan)
gunamecapai Paramita (kesempurnaan)
yang bermuara di nirvana nantinya.
Lebih jauh Dhofir “mencangkul” pada Kunfusianisme dengan
mengolah Ci atau Ti sebagai
kebijaksanaan atau kearifan yang harus mendasari pergolakan hidup manusia.
Untuk memantapkan Ci atau Ti Konfusius
berangkat dari Epistemologi pengenalan diri. Karena dari situlah Jen akan
lahir. Jen berarti
kebajikan, kemanusiaan, cinta kasih, kemurahan hati, atau manusia paling
manusiawi yang menjalankan kemanusiaannya (hal 125).
Jen adalah nilai
pengorbanan hidup seseorang, ia adalah basis semua nilai dan harkat manusia.
Namun demikian Konfusius menyadari bahwa pedoman kongkret bagi kehidupan adalah Li yang
meliputi norma, moral, liturgi dan hubungan praktik hidup manusia sejak
berabad-abad lamanya. Dengan Li potensi Jen dapat
diejawantahkan. Konfusius menjelaskan “berguru pada diri
sendiri dan bergiat pada tatacara hidup (li) adalah kemanusiaan (jen)” (hal
127). Dari sini jelas bahwa kemanusiaan adalah tujuan tertinggi
dalam hidup, yang mana kemanusiaan yang hakiki hanya dapat ditempuh melalui
menjaga nilai-nilai moral dan norma-norma yang berlaku.
Untuk melengkapi perburuannya di tanah Cina Dhofir masuk ke
lorong Taoisme yang berbeda dengan Konfusianisme. Taoisme menemukan bahwa
kerakusan, ketamakan dan kepongahanlah yang memicu hancurnya peradaban dan
kemanusiaan. Dan ini hanya dapat diatasi melalui mengikuti jalan
alam (habit of
nature) sebagaimana mana di jelaskan dalam Tao Te Ching karya
Lao Tzu.
Lao Tzu memandang bahwa kemanusiaan dan alam sebagai satu
entitas yang tidak bisa diunggulkan satu sama lain apalagi dipisahkan.
Kemanusiaan bukan diciptakan tetapi termuat dalam keseluruhan kosmos berupa
hukum alam, dengan kata lain manusia adalah bagian dari alam bukan alam bagian
dari manusia. Jadi hidup dihayati secara baik apabila seseorang secara utuh
selaras dengan alam. Dengan kata lain, segala praktek kehidupan mestinya dalam
rangka melestarikan alam dan kehidupan bukan sebaliknya.
Penyelesaian persoalan kemanusiaan sejatinya bukanlah
hukum. Karena bagi Lao Tzu “semakin banyak tabu
dan larangan di dunia ini, akan semakin miskin rakyat”, dan “semakin tegak hukum
dan peraturan, akan semakin banyak pencuri dan perampok”(hal 151). Maka mestinya segala institusi
masyarakat dan kreasi manusia harus diatur sebagaimana adanya secara
kodrati, bukan malah memperkosa alam dengan menebangi hutan, mengeruk tambang
berlebihan menyiapkan penghancur massal yang kian dahsyat.
Dari perpaduan it penulis buku ini menunjukkan, Pertama,
bahwa insan
al-kamil atau kemanusiaan harus menjadi muara dari segala kelahiran
ilmu pengetahuan dan teknologi, agar manusia tidak menjadi korban. Kedua,
membuktikan bahwa Filsafat timur lebih siap menjawab tantangan zaman sekaligus
membalikkan stereo-type dan
paradigma tentang timur, baik yang klasik maupun yang kontemporer.
Dengan demikian, buku ini sangat layak di baca oleh mereka
yang ingin membumikan kemanusiaan diatas segalanya. Apalagi gagasan dalam buku
ini disampaikan dengan bahasa sangat renyah dan akrab dengan bahasa keseharian
kita. Membuat kita tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memahaminya sebagaimana
kita memahami teks-teks filsafat lainnya, sekalipun kita tidak pernah
bercengkrama dengan istilah-istilah filsafat. Glosarium yang disediakan sangat
membantu pembaca untuk memahami istilah India dan Cina. Selamat membaca!
Biodata
buku
Judul : Filsafat Timur:
Sebuah Pergolakan Menuju Manusia Paripurna
Penulis : Ach. Dhofir Zuhry
Penerbit : Madani (kelompok penerbit Instrans)
Tahun
terbit :
Februari 2013
Tebal
halaman : xii+ 240 hal
ISBN : 978-602-19308-5-4
#filsafatmazhabkepanjen
1 Comments
mantappp
ReplyDelete