Persia dan Non Persia: Filsafat Islam Kontemporer

Oleh: Herlianto A

Sumber: mvslim.com

Selain politik, bidang filsafat termasuk yang dianggap merosot dalam dunia Islam. Kemerosotan ini, diukur dari perkembangan filsafat Barat, terutama di abad modern dan pasca modern. Di abad itu filsafat Islam seperti tersengal-sengal, terlebih lagi negara-negara Islam menjadi objek kolonialisasi Barat.

Tetapi kalau kita lihat di era kontemporer yang merentang antara akhir abad 19 hingga abad 20, rasanya, filsafat Islam telah memiliki warna tersendiri yang menarik. Kalau mau disebut sebagai “renaisans Islam” tidak masalah, walaupun ini penyebutan yang meniru.

Pemikiran Islam kontemporer diawali dari perjuangan Jamaluddin Al Afghani akhir abad 18, yang dialanjutkan muridnya Muhammad Abduh, dan muridnya Abduh, Rasyid Ridha hingga abad 19 . Dari para tokoh penting ini, kita mengenal Pan-Islamisme, yaitu suatu gagasan politik untuk bersatunya seluruh Islam dunia demi melawan kolonialisme.[1]

Secara pemikiran, tiga tokoh ini melakukan apa yang disebut “pembaruan Islam”. Salah satunya menilai penting peran rasionalitas dalam beragama. Abduh misalnya, dalam Risalah Tauhid-nya, menafsir ulang tentang qada’ dan qadar (ajaran predeterminasi) dalam Islam yang dianggap biang keladi kepasrahan dunia Islam untuk dijajah. Karena menganggap penjajahan adalah ketentuan Tuhan. Begitu juga Ridha yang berusaha memberantas bid’ah (heresy) pengkerdilan kehidupan dunia dan kepatuhan berlebih-lebihan pada “identitas” syekh dan wali.[2]

Di awal abad ke 20 pemikiran Islam juga terus berkembang, dan semakin menguat pasca kekalahan  bangsa Arab atas Israel pada perang enam hari, Juni 1967. Sejak itu karya-karya perdebatan politik dan pemikiran Islam dipublikasikan secara besar-besaran.[3]  Semanagtnya tetap sama yaitu pembaharuan pemikiran Islam dengan corak mengorek kembali nalar (epistemologi) Islam, pembacaan atas tradisi (turats), dan sikap terhadap modernitas (hadatsah). Sementara model pembacaannya melibatkan perangkat-perangkat metode ilmiah: hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi.[4]  

Namun demikian, kalau diselidiki lebih lanjut pemikiran Islam kontemporer memiliki dua corak tradisi, yaitu Persia dan Non Persia. Perbedaan dua tradisi ini terletak pada sikap terhadap tradisi dan modernitas. Non persia berupaya moderat dengan mengambil yang baik dari tradisi dan modernitas (Barat), lalu mendialogkannya dengan realitas. Sementara Persia tidak terlalu pusing dengan tradisi, tetapi bahwa pemikiran Islam itu kaya dan dapat dijadikan senjata kritik atas Barat.

Tradisi Non Persia

Non Persia misalnya, seperti yang dilakuka oleh Hassan Hanafi dalam proyeknya: Turats wa Tajdid  (tradisi dan modernitas). Islamologi 1, 2 dan 3 (serial terjemahan Dirasat Islamiyah), Studi Filsafat 1 dan 2, Dari Akidah Ke Revolusi, dan Oksidentalisme adalah beberapa karya Hanafi yang berupaya mencari celah pertemuan Barat, Islam, dan realitas.

Bagi pemikir asal Mesir itu, saat ini kita tidak bisa memilih salah satu di antara turats dan tajdid. Ekstrim pada turats akan menjadikan kita salafi dan “kuper” perkembangan, dan hanya berpegang pada tajdid membuat kita sekuler dan lupa identitas diri. Karena itu keterpaduan keduanya harus diorkestrakan dalam satu harmoni yang padu, sehingga Islam menjadi solusi masa depan.

Satu deret dengan Hanafi adalah Abed Al Jabiri dan Mohammad Arkoun. Kedua sosok ini melakukan pembacaan kritis atas nalar (epistemologi) Arab. Al Jabiri dalam Formasi Nalar Arab, mendeskripsikan tiga bentuk epistemologi Islam: bayani, irfani, dan burhani. Bayani adalah nalar teks, di mana bahasa (linguisitik) Arab memiliki peran penting. Nalar ini disebut juga rasional yang irasional. Irfani adalah nalar kaysf yaitu penyucian jiwa melalui musyahadah dan mujahadah, yang disebut sebagai irasional yang irasional.

Sementara burhani adalah nalar rasional ilmiah-filososfis, yang sebetulnya sudah berkembang melalui tradisi peripatetik di Era Abbasiyah (Al Ma’mun), tetapi kemudian mengendor akibat munculnya penolakan atas filsafat yang sering diasosiasikan pada kritik Al Ghazali atas Ibn Sina dan Al Farabi. Nah, bagi Jabiri tradisi ketiga ini perlu dilanjutkan dan dikembangkan seiring dengan perkembangan realitas.

Arkoun juga melakukan penggalian atas epistemologi Islam, proyeknya dikenal dengan “kritik nalar Islam”. Bahwa sebetulnya nalar Islam yang bergerak dari Arab klasik, skolastik dan modern dibentuk oleh sejarah di mana di dalamnya ada politik. Karena itu, begitu sejarah itu berkembang maka nalar (akal) itu juga harus berkembang.

Dipengaruhi “linguistic turn” di dunia Barat, Arkoun memberikan kritik historis atas nalar teks Islam. Bahwa suatu teks akan kering dan mati, termasuk teks Alquran, jika tidak dihidupkan melalui penafsiran ulang. Bagi Arkoun kitab suci itu berkemang dalam tiga tahapan semio-linguistik: pengujaran (zaman nabi), korpus resmi (saat Alquran ditulis di zaman khalifah Ustman), dan penafsiran atas korpus (era pasca pencacatan).[5]

Dengan demikian, Alquran bagian dari semio-linguistik, yaitu Tuhan bicara dalam tanda dan diterjemahkan dalam teks. Maka penafsiran atasnya juga berlaku kaidah-kaidah linguistik, setidaknya linguistik Arab, dan kaidah-kaidah semiotika. Cara pandang mirip dengan Arkoun juga dikembangkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Ali Harb.

Tradisi Persia

Tradisi Persia semakin populer lebih-lebih pasca revolusi Islam Iran tahun 1979. Corak pentingnya adalah kritik atas pemikiran Barat, terutama ajaran materialismenya. Karena itu marxisme menjadi topik yang cukup ramai diperbincangkan. Mutadha Mutthhari, Baqir Shadr, Ali Syariati, Taqi Misbah Yazdi, dan pada batas-batas tertentu masuk juga Sayyed Hosen Nasr adalah beberapa pemikir yang terkemuka dalam tradisi Persia.

Beberapa pemikir tersebut secara spesifik mengembangkan warisan filsafat Mulla Shadr melalui jalur Mir Damad. Tetapi secara luas beberapa pemikir Islam klasik juga dimanfaatkan, terutama Ibn Sina, Suhrawardi, dan Ibn Arabi. Dari basis klasik inilah, mereka memberi kritik atas Barat.

Muttahari misalnya, mengkritik Marxis dalam Masyarakat dan Sejarah dan Filsafat Materislisme. Dengan model menjelaskan gagasan Islam sembari dikontekskan kritiknya terhadap materialisme. Baqir Shadr dalam Falsafatuna mengkritik epistemlogi Barat yang dirancang dari sejak Plato, rasionalisme Descartes, empirisme Hume, dan filsafat transendental Kant. Walaupun banyak yang menyebut kritik-kritik itu sudah banyak dilakukan pemikir lain di Barat sendiri.

Shadr tidak menolak nalar sains tetapi berupaya menempatkannya selaras dengan nalar teologi. Misalnya, ketika berbicara tentang materi, maka dia memberi kritik atas teori atom yang sudah berkembang sejak Demokritos di Yunani. Saat ini “atom spekulatif” itu sudah diwujudkan dalam riset ilmiah dan ditemukan elemen atom seperti proton, neutron, dan elektron. Konon Murray Gell Man menemukan benda yang lebih kecil dari atom yang disebut kuark, sebagai benda terkecil yang tak terbagi itu.

Tetapi bagi Shadr, secara filosofis, materi (tubuh, body) tetap selalu terbelah paling tidak atas bentuk (form) dan materi (matter). Argumen ini bisa kita lacak ke dalam Al Isyarat wal Tanbihat Ibn Sina, bab ke dua tentang fisika. Bahwa materi sebetulnya sesuatu yang kontinyu dan keterbelahannya selalu dapat dibayangkan.

Shadr juga menulis Iqtishaduna yang menggali pemikiran ekonomi Islam. Sejak dibagian pengantar buku ini bertekat “menandingi” Das Kapital. Walaupun kritiknya masih sedikit berputar di “distribusi” bukan produksi, sebagaimana Kapital.

Ali Syari’ati yang sebetulnya terpengaruh oleh emansipasi marxis, tetapi memberi kritik pada marxisme misalnya dalam  Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya. Salah satu yang menarik misalnya, dia menyatakan bahwa sebetulnya marxisme dan kapitalisme sama-sama berebut materi, hanya saja perbedaannya bila marxis untuk dinikmati secara sosial sementara kapitalis dinikmati secara individual.

Marxisme mengabaikan kepemilikan individual demi yang sosial, kapitalisme mengabaikan yang sosial demi kepemilikan pribadi. Keduanya memiliki kelemahan, sementara Islam tidak mengabaikan yang sosial dan mengakui yang individual. Itulah yang diwujudkan dalam ajaran zakat. Beberapa kritik lainnya masih bisa gali lebih dalam.

Demikianlah tradisi persia dan non persia dengan kekhasan filsafatnya masing-masing. Namun demikian, pemilahan antara Persia dan non Persia bukanlah demarkasi yang rigor. Artinya keduanya hanyalah kecenderungan besar dalam tradisi filsafat Islam kontemporer. Di luar dua pemilahan ini masih ada corak-corak yang tak kalah menariknya untuk didiskusikan. Apapun coraknya, pemikiran Islam kontemporer tetap dapat disatukan dalam satu spirit yaitu pembaharuan Islam.


[1] Walaupun gagasan itu tidak mudah diperjuangkan, lantaran dunia Islam sudah pecah belah bahkan hingga hari ini, melawan satu negara Amerika saja sulitnya minta ampun. Itu terjadi lantaran dunia Islam susah bersatu.  Itulah sebabnya, Al Afghani hidupnya berakhir sebagai tahanan di Turki, begitupun Abduh ditolak berkali-kali oleh Mesir.

[2] Ris’an Rusli. (2018). Pemikiran Teologi Islam Modern. Depok: Prenadamedia Group., hal 68

[3] Muhammad Muslih. (2012) Pemikiran Islam Kontemporer, Antara Mode Pemikiran dan Model Pembacaan. Jurnal TSAQAFAH. Vol. 8, No. 2, hal, 350.

[4] Ibid., hal 359

[5] Ismet Sari. (2019) Narasi Filsafat Kontemporer Mohammad Arkoun. Al Hikmah Jurnal Theosofi dan Peradaban Islam. Vol. 1, No. 2., hal 81


Post a Comment

0 Comments