Emanasi, Neoplatonisme Plotinus

Oleh : Herlianto. A

Plotinus, pemikir Yunani Klasik. (Foto: Edited)

Mazhabkepanjen.com - Temuan penting ajaran Plotinus yang membuatnya menjadi neoplatonis adalah emanasi. Ide ini memadukan dualisme filsafat Plato. Suatu pencapaian metafisik yang tidak hanya benar tetapi juga indah, menurut Bertrand Russel. Namun demikian, ada konsekuensi tertentu yang menyebabkan ide Plotinus itu ditolak oleh beberapa agamawan.

Plotinus lahir di Lycopolis (Mesir hari ini) pada 205 M dan meninggal 270 M. Dia membaca karya-karya Plato dan Aristoteles serta belajar pada pemikir bernama Ammonius Saccas kurang lebih 14 tahun. Dari hasil perenungan dan bacaannya tersebut, dia menulis catatan-catatan yang kemudian dikumpulkan oleh muridnya, Porphyri dengan judul Enneads. Buku inilah yang hari ini menjadi sumber kajian utama atas pemikiran Plotinus.

Filsafat Plotinus sejatinya bersifat eklektik, memadukan beberapa corak pemikiran Yunani sebelumnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Bahkan ada yang mengatakan, Plotinus berhasil mengawinkan Plato dan Aristoteles. Salah satu istilah kunci misalnya, Nous. Term ini jelas diambil dari Anaxagoras, pemikir kosmosentris sebelumnya.

Menurut Anaxagoras, Nous adalah inteleksi yang mengatur anasir-anasir alam yang disebut spermata atau benih-benih. Karenanya, dari benih ini dapat mewujud menjadi benda-benda kompleks yang ada hari ini. Selain itu juga ada Forma yang diambil dari Plato. Forma adalah bentuk universal dari segala hal-hal partikular di alam.

Dari sekian perpaduan tersebut, yang inti dari filsafat Plotinus adalah soal EMANASI. Emanasi secara sederhana adalah pancaran atau cahaya. Penjelasan analogis terdekat atas gagasan ini persis seperti lampu. Saat kita menyalakan lampu, maka cahaya lampu akan memancar mulai dari sumber cahaya hingga jarak terjauh yang dapat dijangkau oleh cahaya tersebut.

Tentu saja, jarak terdekat pada lampu sebagai sumber cahaya akan mendapatkan cahaya paling terang. Kemudian mengradasi semakin jauh semakin gelap hingga sangat gelap. Menariknya, pada gradasi cahaya ini tidak ada keterputusan cahaya antara yang lemah dengan cahaya yang sangat terang.

Di sinilah Plotinus melihat antara yang satu dan yang banyak tidak terpisah, persis seperti lampu yang satu tetapi memancarkan cahaya yang begitu luas dan jauh. Dengan pandangan ini, dia mempertemukan dualisme filsafat Plato antara idea (realitas universal) dan materia (realitas partikular). Dalam pandangan Plato, dua hal tersebut terpisah, idea sebagai alam yang adiduniawi sementara materi sebagai tiruan (mimesis) atas yang universal.

Maka, pandangan Plato ini ditepis oleh Plotinus bahwa dari yang universal ke yang partikular tidak terpisah melainkan menyatu secara gradasional, seperti menyatunya cahaya yang kuat dan lemah tadi. Jadi idea dan materia adalah satu kesatuan hanya saja tingkat kemurniannya yang berbeda. Wujud idea lebih murni ketimbang materia.

Dalam gradasi ini, Plotinus mengajukan tiga (trinitas) wujud utama, yaitu Yang Satu (The One, Hypertheos), Intellek (Nous), dan Jiwa (Soul, Psykhe). Wujud akhir dari trinitas ini adalah alam materi. Tiga wujud tersbeut bersifat atemporal, terlepas dari waktu, sementara wujud materi terikat oleh waktu. Karena itu, materi berubah-ubah sementara “trinitas” bersifat abadi.

Yang Satu beremanasi lalu lahir wujud Intellek yang oleh Plotinus disetarakan dengan Formsa-nya Plato atau Causa Prima (Energia) Aristoteles. Ada yang menyebut sebagai identitas kognitif (cognitive identity). Lalu kemudian Intellek mewujudkan hakikat emanasinya dengan memancar dan lahirlah Jiwa. Jiwa juga melakukan yang sama hingga alam materi lahir.

Dari mana ide pancaran beserta wujudnya ini didapat Plotinus? Menurut Setyo Wibowo, Plotinus telah berhasil dengan kreatif menafsir teori “Potensi dan Aktus” Aristoteles. Bahwa segala sesuatu bergerak dalam rangkaian potensi-aktus. Setiap aktualitas memiliki potensi dan setiap potensi dapat bergerak menjadi aktual. Misalnya, dari kayu berpotensi jadi meja. Meja berpotensi jadi kursi. Kursi berpotensi jadi sutil, dst.  

Kita tahu bahwa Aristoteles meletakkan Causa Prima diujung tertinggi rangkaian sebab. Ia adalah sebab yang menyebabkan tetapi tidak disebabkan. Sebab ultimate ini adalah aktualitas murni yang berpotensi menjadi aktualitas yang lain. Kemudian aktualitas lain ini berpotensi menjadi aktualitas yang lain lagi, begitu seterusnya.

Nah, dari Yang Satu hingga materi terjadi seperti dalam rangkaian potensi-aktus tersebut. Yang Satu adalah aktualitas murni yang memiliki potensi menjadi aktualitas yang lain. Kemudian potensi Yang Satu mengaktual menjadi Intellek. Intellek adalah aktualitas yang memiliki potensi menjadi yang lain. Potensi Intellek ini mengaktual menjadi Jiwa. Jiwa adalah aktualitas yang memiliki potensi menjadi yang lain. Maka, jiwa mengaktual menjadi materi. Begitulah rangkaian emanasi wujud dalam filsafat Plotinus.

Namun demikian, filsafat Plotinus melahirkan beberapa konsekuensi. Salah satunya adalah tiadanya penciptaan. Karena dari Yang Satu (The One) ke yang kompleks lahir secara emanatif, maka berarti Yang Satu tidak menciptakan yang banyak. Mencipta dalam hal ini, seperti tukang roti yang membuat roti. Berarti Yang Satu tidak memiliki kehendak.

Relasi Yang Satu dan yang banyak seperti benda dan bayangannya yang tak bisa dipisahkan. Konsekuensi inilah yang membuat pandangan emanasi ditolak habis-habisan oleh Al Ghazali dalam tradisi pemikiran Islam.

Konsekuensi lainnya adalah karena antara alam materi dan Yang Satu tidak terpisahkan, maka manusia di alam materi bisa kembali pada Yang Satu. Secara etik bagi Plotinus, manusia harus berupaya untuk kembali pada Yang Satu demi meraih kebahagiaan.

Materi dianggap wujud paling jelek karenanya harus ditanggalkan oleh manusia dengan cara asketik, yaitu mencegah diri dari cinta dunia. Dunia adalah lumpur yang mengotori jiwa manusia untuk kembali pada Yang Satu.

Demikianlah pandangan emanasi Plotinus yang membuatnya disebut neoplatonis. Filsafat emanasi ini mempengaruhi beberapa pemikir Islam di antaranya Al Farabi dengan teori Al Faidhnya dan Suhrawardi Al Maqtul dengan teori Israqnya (iluminasi).

"
"