5 Paradoks dalam Filsafat, dari Tuhan hingga Gerak

Oleh: Herlianto. A

Ilustrasi Paradoks. (Foto: Merdeka.com)

Mazhabkepanjen.com – Anda sekalian barangkali pernah mengalami paradoks, misalnya takut akan penderitaan, lalu segala cara dilakukan agar tidak menderita. Padahal sebetulnya ketakutan akan penderitaan itu adalah penderitaan itu sendiri. Itu paradoks.

Jadi paradoks adalah dua atau lebih hal yang bertentangan dan seolah kita tidak bisa memilih salah satunya, karena sama-sama memiliki konsekuensi tertentu. Dan itu, menurut saya, adalah sebuah misteri.

Nah, di dalam filsafat juga ada paradoks demikian. Kali ini saya akan mengulas beberapa paradoks dalam filsafat yang biasa diperbincangkan di kalangan pelajar filsafat.

1.      Paradoks Analisis

Kita mungkin pernah menganalisis suatu istilah tertentu, terutama yang ada di lingkungan akademik. Dalam suatu analisis, penjelas(an) yang mengalisis biasanya disebut analisan harus merepresentasikan yang dianalisis yang biasa disebut analisandum.

Misalnya, perjaka (analisandum) adalah laki-laki yang belum menikah (analisan). Analisan dalam contoh analisis ini harus merepresentasikan analisandum. Jadi “laki-laki yang belum menikah” harus merepresentasikan “perjaka”. Tampaknya ini benar, tetapi sebetulnya suatu paradoks.

Baca Juga: 

Karena apabila analisan merepresentasikan analisandum maka berarti tak ada yang dianalisis karena maknanya sama antara “perjaka” dan “laki-laki yang belum menikah”. Analisisnya mana? Tetapi apabila analisan itu tidak merepresentasikan analisandum maka berarti analisis salah, karena menjelaskan yang lain.

2.      Paradok Epistemologi

Dalam suatu pencarian pengetahuan itu ada paradoks. Paradoks epistemologi ini dikemukakan oleh Plato di dalam bukunya berjudul Meno. Saat Sokrates berdialog dengan murid kaum Sofis bernama Meno muncullah paradoks ini.

Makanya disebut juga paradoks Meno. Paradoksnya adalah apakah pengetahuan yang kita cari sudah kita ketahui atau belum? Kalau pengetahuan itu belum diketahui bagaimana kita bisa mencarinya. Sepertinya mencari seekor ayam yang kita juga tidak tahu kayak apa ayam itu. Tidak tahu warananya, ukurannya, jantan atau betina.

Bagaimana bisa menemukannya? Tetapi bila kita sudah mengetahuinya pengetahuan yang mau kita cari, lalu untuk apa masih cari.

Paradoks ini adalah arguman yang digunakan Sokrates untuk membuktikan bahwa pengetahuan itu adalah ingatan (anamnesis). Manusia pernah memiliki pengetahuan semurna sebelumnya tetapi lupa, makanya dicari.

3.      Paradoks Gerak

Paradoks gerak masyhur saat digunakan oleh Zeno, murid Parmenides dalam tradisi Yunani Klasik, sebagai argumen untuk membantah adanya gerak dan perubahan. Bahwa gerak dan perubahan itu suatu yang semu. Sejatinya segalanya penuh tak bergerah dan tak berubah.

Paradoksnya begini, gerak itu seolah-olah terjadi tetapi sebetulnya tidak pernah terjadi. Misalnya gerak dari A ke B. Saat A berjalan mencapai separuh perjalanan menuju A. Lalu separuh perjalanan itu, dijalani lagi separuhnya, lalu separuhnya itu dijalani lagiseparuhnya. Terus pemaruhan ini terjadi secara tidak terbatas.

Artinya sisa perjalanan itu tidak pernah habis terbagi. Dengan kata lain perjalanan dari A ke B tidak pernah sampai. Maka kalau gerak adalah perpindahan dari A ke B, berati tak pernah ada gerak karena A tak pernah sampai ke B.

Tetapi faktanya kita melihat, bahwa ada gerak dari A ke B yang sampai. Dari kampus ke kos-kosan itu kan sampai. Ya itulah paradoksnya, dalam amatan kita sampai, tetapi dalam pembagian yang rasional tadi tidak pernah sampai.

4.      Paradoks Definini

Membuat definisi biasanya mengacu pada aturan logika tradisional versi Aristoteles. Definisi tersusun atas Genus, Spesies dan Diferensia. Misalnya, Botak. Botak adalah kepala yang tidak memiliki rambut. Botak itu spesies, kepala adalah genusnya, dan tidak memiliki rambut adalah diferensianya.

Baca Juga: 

Paradoksnya atau biasa disebut kekaburannya ada pada persoalan rambutnya. Bagaimana dengan orang yang masih memiliki rambut 10 helai, apakah disebut botak. Kalau dilihat dari susunan definisinya: kepala yang tidak memiliki rambut. Maka berarti orang yang tersisa 10 helai rambut di kepalanya tidak bisa disebut botak.

Tetapi juga tidak bisa disebut gondrong, hanya gara-gara ada 10 helai rambut di kepalanya. Lalu batasan botak dan tidak botak bagaimana, seberapa banyak rambut yang harus ada di kepala untuk disebut tidak botak. Inilah problem kekaburan definisi itu.

5.      Paradoks Tuhan

Paradoks Tuhan masyhur dikemukakan oleh Epikuros. Sebetulnya Epikuros dalam rangka mengkritik keyakinan orang pada adanya Tuhan yang maha baik. Paradoksnya berupa pertanyaan, begini:   

Apakah tuhan itu berkehendak untuk mencegah keburukan tetapi dia tidak mampu, jika iya maka berarti tuhan tidak maha kuasa. Atau apakah Tuhan mampu mencegah keburukan tetapi tidak berkehendak? Berarti Tuhan dengki. Atau, jika tuhan itu berkehendak dan mampu mencegah keburukan, lalu mengapa ada keburukan? Atau Tuhan tidak berkehendak dan tidak mampu mencegah keburukan, kalau begitu mengapa kita sebut Tuhan.

Inilah lima paradoks yang sering diperbincang hingga hari ini di kalangan pelajar filsafat. Yang mungkin masih belum ada yang memecahkan paradoks tersebut. Anda sekalian pembaca boleh mencoba untuk memecahkannya.

Post a Comment

0 Comments