Eksistensi dan Esensi, Metafisika Filsafat Islam

Oleh: Herlianto. A

Ibn Sina, pemikir eksistesialisme Islam. Foto/dok

Mazhabkepanjen.com - Eksistensi dan esensi adalah topik sentral di dalam filsafat Islam utamanya ketika berbicara metafisika atau ontologi. Dua istilah ini biasa dikenal dengan istilah wujud dan mahiyyah. Walaupun sebetulnya istilah wujud tidak bisa serta merta disepadankan dengan existence (eksistensi) dalam bahasa Inggris.

Menurut Sayyed Hossein Nasr Wujud dalam bahasa Arab bisa dipadankan dengan 4 istilah dalam bahasa Inggris yaitu Being, being, Existence dan existence. Setiap istilah ini memiliki maknanya sendiri-sendiri.

Wujud sama dengan Being apabila mengacu pada Realitas Absolut (necessary Being), bisa sepadan dengan being apabila mengacu pada keseluruhan realitas baik mutlak atau yang tidak. Kemudian sepadan dengan Existence apabila bermakna emanasi pertama, dan sepadan existence apabila mengacu pada semua hal selain Realitas Absolut.

Pemilahan ini sebetulnya tidak lepas dari pengakuan dalam ontologi filsafat Islam terhadap level-level realitas. Uniknya, dalam bahasa Arab level-level realitas itu bisa dikover dengan satu kata yaitu Wujud. Berarti konteks menjadi sangat menentukan mau dimaknai apa kata Wujud itu. Dalam bahasa Indonesia Wujud ini biasa disepadankan dengan kata “Ada” yang kadang juga membingungkan.

Sementara mahiyyah yang artinya “apa itu”, dalam bahasa Inggris dikenal dengan quiddity atau essence, dalam bahasa Indonesia esensi atau kuiditas. Namun demikian, saya menyederhanakan wujud dan mahiyyah ini dengan eksistensi dan esensi. Dua istilah ini cukup familiar dengan kita.

Sederhananya begini: katakanlah ada satu benda, kursi misalnya. Kita akan melontarkan dua pertanyaan, adakah kursi itu? Pertanyaan ini menyangkut persoalan eksistensi. Kemudian, apa kursi itu? Ini persoalan esensi.

Apa itu Eksistensi dan Esensi

Lalu apa itu eksistensi dan esensi? Hampir semua pemikir Islam bersepakat bahwa konsep eksistensi atau konsep wujud adalah swabukti (self evidence), tak bisa didefinisikan sebagaimana susunan definisi Aristotelian: genus, spesies dan differensia. Semua orang memahami konsep itu. Karena eksistensi adalah konsep paling luas dan paling sederhana.

Sementara esensi atau mahiyyah adalah konsep untuk menjawab pertanyaan apa itu? Menurut Sayyed Hossein Nasr esensi terbagi dalam dua pemahaman. Pertama, dalam arti khusus dan dalam arti general. Yang pertama ini misalnya, atribut atau karakteristik dari suatu benda sehingga benda itu berbeda dengan benda lain. Karakteristi kursi kayu, kursi busa, kursi rotan dst. Masing-masing kursi ini karakteristiknya berbeda.

Kedua, bermakna general dalam arti esensi yang membuat sesuatu sebagai sesuatu (ma bihi huwa huwa). Misalnya, apa yang membuat kursi disebut kuris. Ada beragam bentuk kursi (kayu,busa rotan) tetapi tetap disebut kuris. Dalam hal ini berarti ada esensi “kekursian” pada setiap individu kursi itu. Dalam bahasa Ibn Sina, ini yang disebut universal alami (al kulli al tabi’i). Ini kayaknya dekat dengan eidos-nya Plato.

Sampai di sini ada pertanyaan penting? Antara Eksistensi dan Esensi mana yang paling hakiki? Apakah eksistensi itu hanya sebatas universalitas belaka yang menjadi atribut bagi esensi, karena memang eksistensi tidak bisa kita persepsi secara inderawi atau sebaliknya Eksistensilah yang mendasar, karena esensi tanpa eksistensi maka tidak akan aktual.

Perdebatan tentang dua tema ini membentuk dua arus besar dalam kajian metafisika Islam yaitu eksistensialisme dan esensialisme, kemendasasaran eksistensi dan kemendasaran esensi. Mazhab pertama bisa kita lihat pada Ibn Sina dan Mulla Shadra, mazhab kedua bisa kita temukan pada Suhrawardi.

Perbedaannya dengan Metafisika Barat

Nah, sampai di sini tampaknya ada perbedaan antara kajian ontologi dalam tradisi filsafat barat dengan filsafat Islam. Yang saya tahu, di barat perdebatan ontologinya mengarah pada dua arus besar:  idealisme dan realisme.

Idealisme mengklaim bahwa realitas yang hakiki atau otentik adalah di dalam pikiran, yang berhasil dikonsepsi. Misalnya, tadi kursi. Kursi yang otentik adalah kursi yang dikonsepsi secara keseluruhan yang disusun rapi di dalam pikiran.

Karena hanya pikiranlah yang mampu mengonstruksi secara utuh apa itu kursi. Penglihatan kita tidak akan pernah utuh dalam melihat kursi, kita hanya mampu melihat sepotong-sepotong tentang kursi.

Sementara realisme mengklaim yang otentik atau yang hakiki adalah yang ada di luar pikiran itu sendiri. Yaitu realitas yang tidak bergantung pada pikiran atau persepsi. Pikiran itu ada atau tidak, ya realitas itu tetap ada. Contohnya, benda-benda purba di mana manusia belum ada. Benda-benda itu nyatanya ada meskipun tidak ada manusia yang mempersepsi saat itu.

Dalam perdebatan kontemporer, mengemuka korelasionis dan anti korelasionis. Korelasionis ini idealisnya, tetapi lebih luas lagi. Artinya, sejauh berhubungan dengan pikiran atau persepsi, sejauh itu suatu pandangan dikategorikan idealis. Realis harus ada yang betul-betul terlepas sama sekali dari pikiran.

Klaim ini perlu didiskusikan lebih lanjut, karena saya kira ketika sesuatu dibicarakan maka ia berhubungan dengan subjek yang berpikir. Termasuk benda-benda purba tadi, ia disebut purba karena hubungannya subjek yang mempersepsi. Apakah berarti kepurbaan itu juga korelasionis?

Eksistensialisme Kontemporer

Lalu apa bedanya dengan eksistensialisme macam, Nietzsche, Kierkegaard, Heidegger dan Sartre? Ada buku menarik soal ini, ditulis oleh Al Parslan Acikgenc berjudul Being And Existence In Sadra And Heidegger: A Comparative Ontology.

Al Parslan Acikgenc, salah satu pemikir dari Turki. Buku itu adalah disertasinya yang dibimbing oleh Fazlur Rahman. Secara spesifik buku itu membahas komparasi ontologi antara Mulla Sadra, sering disebut tokoh eksistensialis dalam Filsafat Islam dan Heidegger, tokoh eksistensialis Barat.

Dalam temuannya antara Heidegger dan Mulla Shadra didapati keparalelan, walaupun keduanya berasal dari zaman yang berbeda dan latar belakang peradaban yang juga berbeda. Artinya sama-sama berbicara kemendasaran eksistensi. Mulla Shadra abad ke 16 dari peradaban Islam, sedangkan Heidegger abad ke 20 dari peradaban Barat.

Tetapi berbeda dengan Kierkegaard, Nietzsche dan Sartre. Eksistensialisme 3 tokoh ini dilatar belakangi oleh krisis sosial yang menimpa masyarakat modern dan kontemporer di barat, mulai kapitalisme hingga imperialisme. Mereka menyebut eksistensi manusia itu adalah sebuah kebebasan. Gagasan kebebasan ini penting untuk mengakhiri imperialisme dan kapitalisme yang memperbudak manusia.

Dengan demikian yang membuat manusia tidak bebas adalah konstruksi yang datang dari luar eksistensi. Baik konstruksi manusia yang dibuat oleh agama, pendidikan, lebih-lebih imperialisme dan kapitalisme. Makanya, wajar bila eksistensialisme Nietzsche dan Sastre kurang ramah pada agama.

Demikianlah, gambaran sederhana tentang metafisika Islam kaitanya dengan berbagai perkembangan filsafat kontemporer.   

Post a Comment

0 Comments