Secawan Mazhab Frankfurt

Oleh: Herlianto. A

Theodor Adorno dan Max Horkheimer, tokoh Mazha Frankfurt. Foto/dokumen

Mazhabkepanjen.com - Mengapa kapitalisme tidak runtuh sampai hari ini? Setidaknya sebagaimana yang diprediksi Karl Marx, bahwa kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya karena sistem ini di dalamnya bermasalah. Ada banyak pakar sosial, filsuf dan teoritisi yang menjawab pertanyaan itu. Salah satunya adalah para pemikir Mazhab Frankfurt, mazhab filsafat dari Jerman.

Kali ini saya ingin menjelaskan analisa Mazhab Frankfurt mengapa kapitalisme tetap bertahan, dan dengan kata lain, analisa Karl Marx gagal?

Mazhab Frankfurt adalah satu bentuk ketidakpuasan beberapa pemikir atas analisis Karl Marx yang dipakemkan dalam ajaran komunisme, internasionale ke II-Marxisme Leninisme, tentang keruntuhan kapitalisme. Utamanya hukum alamiah ekonomi, bahwa faktor ekonomi menentukan segalanya.

Ada satu peristiwa sejarah yang menurut Mazhab Frankfurt di mana mestinya kapitalisme itu sudah runtuh, yaitu peristiwa Nazisme di Jerman tahun 1930an.

Rezim Nazi, pimpinan Adolf Hitler, kala itu menyiksa dengan pedih kaum buruh di gudang-gudang industri. Jam kerja tidak karu-karuan, buruh hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Cara kerja kapitalisme yang menyiksa itu dilindungi dan dilestarikan oleh negara.

Ini yang sekaligus menyebabkan terjadinya pergeseran dari kapitalisme liberal menuju kapitalisme negara (state capitalism) atau kapitalisme monopoli.

Walaupun kondisi itu mengenaskan bagi kaum buruh, tetapi ternyata, tak mampu mendorong kaum buruh untuk bersatu dan mendeklarasikan sebuah perlawanan atau revolusi. Jadi teriakan Marx dalam “Manifesto Komunis” bahwa kaum buruh di dunia bersatulah, itu tidak terjadi.

Baca Juga: Pendidikan Membebaskan Ala Paulo Freire

Padahal faktor terpentingnya untuk menyatukan kaum buruh, yaitu perasaan senasib dan seperjuangan dalam penindasan Hitler, sudah ada. Apalagi yang ditunggu? Situasi yang lebih mengerikan apa lagi yang bisa menyebabkan buruh bersatu dan mendorong sebuah kereta revolusi?

Baca Juga: Filsafat di Kasus Sambo, Menyoal Penyebab Kematian

Oedipus Complex Kapitalisme

Merenungi persoalan ini, kaum mazhab Frankfurt menemukan jawabnnya mengapa buruh tidak bisa mewujudkan revolusi. Yaitu kaum buruh hidup dalam kesadaran semu. Mungkin kita sebagai kaum buruh juga berada dalam kesadaran ini, yaitu tidak menyadari kondisinya yang tereksploitasi. Singkatnya, kaum buruh terideologisasi.

Artinya, kedasaran kaum buruh tentang apa yang dialami dibentuk oleh suatu doktrin tertentu. Misalnya, doktrin keniscayaan kondisi buruh yang memang ditakdirkan jadi buruh dan hidup melarat.

Bahkan uniknya, kata Mazhab Frankfurt, kaum buruh bercita-cita ingin menjadi kapitalis padahal dia tahu bahwa dia dieksploitasi oleh kapitalis, dan mereka membencinya. Inilah yang disebut problem Oedipus Complex dalam kesadaran buruh.

Analisis Oedipus Complex ini diambil oleh kaum Mazhab Frankfurt dari ide psikolog Jerman, Sigmund Frued. Oedipus Complex itu singkatnya begini: seorang anak saat masih kecil merasa menjadi bagian dari ibunya, merasa satu tubuh dengan ibunya. Di sana dia mendapatkan banyak kenikmatan. Karenanya, anak tidak mau lepas dari ibunya, dan ayah biasanya sering mengganggu.

Dan memang benar, ayahnyalah yang membuat anak menyadari bahwa dia berbeda dengan tubuh ibunya. Sehingga sang anak membenci ayah, hanya saja pada waktu yang sama anak mengagumi dan ingin seperti ayahnya.

Jadi peristiwa Oedipus complex adalah peristiwa yang juga dialami oleh kaum buruh dalam relasinya dengan kapitalis. Buruh memang ditindas oleh kapitalis, tetapi pada saat yang sama buruh mengagumi dan ingin seperti kapitalis.

Nah bagaimana membongkar ini? Mau tidak mau, kata Mazhab Frankfurt, harus ada penafsiran atau penyegaran atas kritik kapitalisme Marx. Tidak sepenuhnya benar bahwa perubahan sosial dasarnya semata-mata ekonomi. Melainkan harus ada pelibatan kebudayaan, harus ada pelibatan analisis ideologi, atau bahasa Budi Hardiman, Kritik Ideologi. Inilah yang membuat Mazhab Frankfurt juga disebut teori kritis.

Nah, tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt ada banyak. Tapi penggagas besarnya adalah Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse. Walaupun pendirinya disebutkan bernama Felix Weil. Horkheimer adalah direktur kedua, sementara direktur pertamanya Carl Grunberg.

Tetapi di tangan Horkheimer dkk. itulah Institut Penelitian Sosial di Universitas Frankfurt, Jerman itu, menjadi Mazhab. Sampai nanti ada generasi kedua salah satunya yang terkenal adalah Jurgen Habermas. Mungkin kita perlu sesi khusus membahas historisitasnya.

Baca Juga: Eksistensi dan Esensi, Metafisika Filsafat Islam

Menyoal Modernitas

Kemudian, Mazhab Frankfurt memeriksa rasionalitas modernitas yang menjadi pijakan Marxisme untuk menjelaskan mengapa tidak terjadi revolusi? Dalam temuannya, ternyata rasionalitas yang diagung-agungkan sejak abad ke-18 itu adalah sebuah mitos.

Baca Juga: Penduduk Bumi 8 Miliar

Ini sebuah ironi. Karena modernitas yang berbasis pada tradisi Yunani, atau sedikit pada tradisi Romawi ingin memberantas mitos. Cara mitos menafsir dunia dianggap tidak rasional karena menghidupkan benda mati, itu setidaknya terlihat dalam kepercayaan animisme dan dinamisme yang menseremonikan kehidupan melalui benda mati. Karenanya harus diberantas.

Jadi modernitas ini ingin menguliti hal-hal yang subjektif pada apa yang mereka sebut sebagai pengetahuan. Pengetahuan harus objektif. Subjek selalulah punya perasaan yang membuat pengetahuan itu tidak independen. Karenanya, kalau Anda pengen tahu suhu di suatu tempat apakah panas atau dingin? Anda tidak cukup mengukur dengan kulit Anda, itu subjektif.

Tapi Anda harus membawa alat bernama termometer ke suatu tempat itu. Berapapun angka yang ditunjukkan oleh termometer, itulah suhu di tempat tersebut. Hasil termometer ini objektif, karena ia tak berperasaan dan tak ada kepentingan di situ.

Tetapi cara hidup demikian dalam perkembangannya justru menjadi mitos baru. Karena men-downgrade manusia sedemikian rupa hanya sebatas benda. Manusia, dalam bahasa Herbert Marcuse, dilihat sebatas dalam satu dimensi, One Dimensional Man. Manusia ditempatkan sebagai suatu kerangka mesin fisik saja baik dalam arti biologis maupun ekonomis.

Dalam analisa ini pembaca bisa membaca buku bagus, judulnya “The Turning Poin” versi Indonesianya “Titik Balik Peraban” karya Fritjof  Capra. Buku ini mengeritik pandangan mekanistik Newtonian dan Cartesian atas hidup manusia yang menjadi roh rasionalitas modernitas.  

Bagi modernitas manusia itu hanyalah sebuah benda yang boleh dipertukarkan dalam pasar industri menjadi buruh-buruh yang dipekerjakan berdasarkan kemampuan ototnya saja. Pun, secara biologis.

Misalnya, pengobatan medis tak lagi memperhatikan sisi spiritual atau kejiwaan manusia. Jadi penyembuhan orang sakit, misalnya, tak ada hubungannya dengan sisi kejiwaannya. Manusia dilihat sebatas persoalan molekul baik dalam kondisi sehat maupun sakit.

Kesadaran menjadi tidak ada, yang disebut kesadaran hanyalah sebatas perbedaan proporsi molekul dalam tubuh manusia. Kalau Anda ingin bahagia, maka dopamine dalam tubuh Anda harus ditingkatkan dengan obat-obatan, salah satunya. Atau kurangin kortisol dalam tubuh yang membuat diri tidak nyaman.

Karena manusia dianggap tubuh menanistik maka tidak ada bedanya dengan benda-benda lain, tak ada bedanya dengan hewan. Fritjof Capra, dalam bukunya, semancam ngenyek karya BF Skinner-seorang behavioris terkemuka-yang berjudul “Science and Human Behavior” (Ilmu Pengetahuan dan Perilaku Manusia).

Meski judul buku ini Prilaku Manusia, tapi riesetnya semua ternyata tikus. Menjelaskan prilaku manusia tapi yang diteliti tikus. Ini suatu keanehan luar biasa dari modernisme menurut Capra.

Pandangan inilah yang banyak melahirkan kejadian-kejadian anti humanisme sepanjang abad modern baik dalam bentuk kolonialisme dan perang ataupun eksploitasi ekonomi. Maka, jika mitos klasik menganggap hidup benda-benda mati, mitos modern sebaliknya menganggap mati benda yang hidup.

Kemudian secara konstruksi pemikiran, modernitas dianggap mereduksi rasionalitas. Berpikir hanya pada sebatas membuat proposisi formal yang kaku dan beku, lalu mengujinya atau memverifikasinya. Ini yang disebut cara berpikir positivistik. Tugas rasio hanya sebatas mengklasifikasi dan memverifikasi. Inilah rasio instrumental, atau rasio sebatas sebagai alat.

Dengan cara berpikir ini, maka rasio menjadi netral, tidak emansipatoris. Rasio dipisahkan dari etika. Pengetahuan-pengetahuan yang dicapai oleh akal budi tidak bisa digunakan untuk memberikan penilaian-penilaian etis. Rasio tidak bisa menilai baik-buruknya suatu perkara. Nilai  kemudian ditentukan dari luar, biasanya berupa norma-norma di masyarakat.

Inilah kesadaran modernitas yang tak akan pernah bisa melahirkan revolusi, menurut kaum Mazhab Frankfurt. Karena kesadaran yang mestinya revolusioner itu telah disemukan, diplesetkan.

Lalu bagaimana tawaran-tawaran Mazhab Frankfurt? Bagaimana gerakan mereka dalam sejarah untuk mewujudkan revolusi itu? Kita akan bicarakan satu topik menarik ini pada kesempatan berikutnya.  

Post a Comment

0 Comments