Menakar Kritik Ibn Rusyd: Meletakkan Modernitas Pada Tempatnya

 Oleh: Herlianto. A
Sumber: alkahfi.net

Mazhabkepanjen.com - Modernitas adalah terminologi yang belum tuntas dalam khazanah pemikiran Islam. Posmodernitas memang sering disebut-sebut sebagai pembacaan terkini atas realitas, yang berarti mengamputasi urat dan nadi modernitas. J. Derrida, R. Barthes, Umberto Eco, Jean Baudrillrad, dan C.S. Perce adalah beberapa “jagal” modernisme. 

Tetapi alih-alih memutus mata rantai modernisme, menurut Muhammad Al Fayyadl dalam Derrida, posmodernisme melahirkan kemungkinan lain yaitu melanjutkan proyek modernisme. Memang menentang standar ilmiah modern, dan melepasnya dalam lautan ketakberstandaran dan menghempaskan biner opposition, sehingga yang muncul hanyalah jejak-jejak yang bisa dibuat oleh siapapun. Tetapi ternyata posmodernisme melahirkan standar baru yaitu ketakberstandaran itu sendiri.

Itulah gejolak (dinamisasi) filsafat barat sejak enlightenment (abad 17) hingga abad 21 ini. Yang pada intinya mereka ingin keluar dari tradisi lama. Modernisme ingin keluar dari skolastisisme dan mitos-mitos, postmodernisme juga ingin keluarga dari modernisme yang dituduh mencipta skolastisime dan mitos baru. Setidaknya itu yang ditunjukkan T. Adono dan Max Horkheimer dalam Dialektika Pencerahan.

Turas Sebagai Senjata

Dalam situasi ini, dengan berbekal tradisi kejayaan Islam, Muhammad Abed Al Jabiri berupaya untuk melakukan pembacaan yang berbeda terhadap modernisme. Sehingga tradisi (turas) yang pernah jaya tidak dibuang begitu saja sebagaimana kaum liberalis, juga tidak untuk dipahami secara fanatis, dengan berupaya menghadirkan masalalu seutuhnya sebagaimana kaum fundamentalis melakukannya. 


Bagi Al Jabiri dua kutub (liberalis dan fundamentalis) tidak menemukan rute Islam. Untuk itu jalannya adalah memikir ulang tradisi. Ini yang sekaligus menjadi kritik Al Jabiri terhadap filsafat Islam, tepatnya filsafat Al Farabi, Ibn Sina dan Al Ghazalian, yang dituang dalam buku Ktirik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam. Buku yang fenomenal dan banyak dibicarakan oleh pemikir Barat.

Dalam buku itu, mula-mula Al Jabiri menjelaskan kejayaan Islam yang sesungguhnya bukan pada masa pra-Islam ataupun masa Nabi dan para khilafahnya, melainkan pada masa kodifikasi (tadwin) yaitu masa para ilmuan muslim melakukan penulisan sistematis terhadap rangka pengetahuan seperti hadist, tradisi yuridis, tafsir, grammatika serta berbagai historis pra-Islam dan Islam. Yang mana di belahan Timur dunia dinulai oleh Al Khindi, Ibnu Sina, Al Asy’ari, dan Asy Syafi’i dst. Sementara di belahan Barat dimulai oleh Ibnu Rusdy, Ibnu Tufail, Ibn Hazm, Ibnu Khaldun dst. Kodifikasi ini terjadi sekitar abad ke 2 H/8-9 M tepatnya masa kejayaan dinasti Abbasiyah. Masa inilah kejayaan Islam.


Namun dalam perjalanannya, abad ke 17 H/abad pertengahan tradisi ini mengalami degradasi, kelembaman, ketercerabutan dan pengulangan-pengulangan tanpa pemaknaan yang signifikan[1]. “Sejak saat itu (tadwin) apa yang disebut sebuah pemahaman tradisi yang terjebak dalam tradisi menancap dalam kebudayaan Arab-Islam, dan tetap bercokol sampai hari ini.” 


Tragisnya abad kejayaan itu dipahami secara fundamentalis, sehingga yang muncul adalah umat Islam yang memaksa diri mencari musuh masalalunya di masa kini. Disitulah lahir terorisme, radikalisme, dan isme yang tak berprikemanusiaan lainnya. Modernisme, beserta kompleksitasnya, dianggap satu tatanan yang juga merenggut tradisi kejayaan itu. Dalam kacamata fundamentalis, itulah lawan yang sebenarnya (Islam menjadi tidak mengenal modernisme). Tiada ampun baginya, cap “kafir” pun terlontar kemudian.

Tetapi Al Jabiri mencoba memberi pemahaman sangat kontekstual yang sema sekali baru terhadap makna modernisme bagi Islam. Modern tidak lagi ditempatkan sebagai an sichperkembangan teknologi dan radikalisasi individualisme sebagaimana Barat memaknainya. Sehingga sanatnya denga turas terputus begitu saja, dan itu tidak mungkin. Bagi Al Jabiri, modernisme dalam Islam adalah upaya melampaui pemahaman “tradisi yang terjebak dalam tradisi” untuk memperoleh pemahaman yang lebih kontekstual tentang tradisi. “Modern bukan untuk memutus masalalu melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan modern.”[2]

Dengan begitu modernitas adalah dorongan dan motivasi untuk merekonstruksi dan menghidupkan kembali mentalitas serta norma-norma budaya tradisional, dan melakukan pembacaan ulang atasnya sembari merancang visi modernitas yang baru. Inilah cara paling ampuh untuk mempengaruhi kalangan intelektual dan masyarakat secara keseluruhan dalam memenuhi misi kebudayaan. Jika tidak, modernitas Islam tak jauh beda dengan Barat yang memaknainya sebagai individualisme narsis. Dan sialnya, membawa manusia pada pengasingan dan marginalisasi diri[3]. Dan pengamatan Al Jabiri, justru itulah yang terjadi hingga abad 21 ini.

Kekeliruan Metodologis

Dari pembacaan itu, Al Jabiri tidak antimodernisme, ia berupaya untuk meletakkan modernisme dan bahkan postmodernisme pada tempat yang layak. Sehingga langkah selanjutnya bagaimana mode of thinggking (pola pikir) dan motodeloginya, agar ada pencapaian yang berbeda dari yang dilakukan pemikir Islam sebelumnya. Hal ini pulalah yang menjadi kritik ilmiah Al Jabiri atasnya nalar Arab.

Al Jabiri membagi tiga kerakteristik pembacaan turasPertama, pembacaan tradisi tanpa mengenal dasar kognitif sebagai pijakannya. Padahal yang terpenting bukanlah berbagai tesis apa yang dapat dipertahankan, melainkan bagaimana pola pikir yang diikuti. Tanpa itu, kritik yang diajukan akan melahirkan kritik ideologi semata dan tidak menghasilkan hipotesis yang berarti.

Kedua, pembacaan yang mengabaikan perspektif historis. Ketiga, pembacaan ala fundamentalis yaitu meletakkan “subjek terserap ke dalam objek, sembari objek menggantikan posisi subjek sebelumnya. Posisi subjek, serta peninggalan darinya, terpaksa harus berlindung mencari naungan ke masa lalu, sembari mencari dukungan dari para nenek moyang. Melalui perantara leluhur, sang subjek mampu mengembalikan harga dirinya.”[4]

Ketiga pembacaan turas ini pada dasarnya menggunakan metodelogi yang sama yaitu apa yang dikenal dengan qiyas al-gayb ala asy-syahid (analogi yang tak diketahui dengan yang diketahui). Melacak hal-hal yang tidak diketahui (the unknown) yaitu masa depan yang diimpikan oleh berbagai mazhab melalui yang diketahui (the known) yaitu kejayaan peradaban yang pernah terjadi. Motode ini telah mengakar kuat dalam penerapan nalar Arab, khsusunya dalamyurisprudensi (fiqih) bahkan sudah menjadi satu-satunya tindakan mental (mental act) dalam proses produksi pengetahuan pemikir Arab.

Bahayanya, banyak para pemikir yang seenaknya melakukan qiyas ini dalam menghukumi suatu perkara tertentu. Padahal, metodelogi qiyas ini memiliki prasyarat yang ketat sebagaimana Asy Syafi’i mempraktekkannya. Mulai dari penelitian secara mendetail terhadap kesamaan kualitas serta karakteristik antara kejadian dengan analoginya. Serta membutuhkan proses motode verifikasi yang memiliki kemiripan pula. Itu tidak mudah. Apalagi umumnya para ahli fiqih (fuqaha) mendasarkan produksi hukumnya pada kaidah umum yaitu akhir dari legalitas opini adalah menegedepankan kemaslahatan daripada yang mudarat.

Melalui pertimbangan ini, secara semena-mena lahir hukum dari satu kasus, padahal menurut Al Jabiri, satu hukum dari kasus tertentu belum tentu relevan pada kasus yang sama tetapi berada di daerah dan budaya berbeda. Satu contoh hukum cambuk di Arab, tentu tidak sesuai diterapkan di Indonesia yang memiliki kultur dan struktur masyarakat yang berbeda dengan Arab. Pengambilan hukum yang demikian inilah, menurut Al Jabiri, tradisi yang terjebak dalam tradisi.

Dekonstruksi-Rekonstruksi Nalar

Setelah mengetahui ada kekeliuran metodelogis, maka langkah Al Jabiri selanjutnya membongkar struktur nalar yang telah diwarisi itu. Bahwa qiyas macam itu adalah warisan abad kemunduran yang harus segera dikubur. Kalau tidak, Islam akan tetap bergerak dalam ranah epistemologis yang keliru. Harus ada amputasi epistemologis. Dalam amputasi ini bukan berarti memutus diri dari turas melainkan mengubah diri dari sebagai “budak tradisi” menjadi “penguasa tradisi”. 


Ini berarti “personalitas tradisi yang membentuk satu sistem dengan perbagai komponennya sendiri yang memungkinkan bagi seseorang  untuk dapat menemukan keanggotaannya dalam personalitas yang lebih luas, yakni personalitas dari komunitas yang telah mewarisi tradisi ini.”[5] Dalam arti bahwa apapun metodeloginya, termasuk qiyas, tidak akan memiliki makna yang berarti jika tidak ada pemisahan antara objek dan subjek, seperti yang terdapat dalam tradisi itu sendiri. Sehingga tantangan dekontruksi nalar selanjutnya bagaimana memisahkan subjek dari objek dan objek dari subjek.

Pemisahan ini dalam rangka untuk memperoleh pembacaan yang objektif atas tradisi. Menurut Al Jabiri persoalan paling esensial dalam pemikiran Arab adalah saat mencari metode ilmiah yang memadai sebagai sarana untuk mengandaikan hubungan metode tersebut dengan tradisi. Karena pemikir Arab telah “tercebur” ke dalam tradisi dan tunduk terhadap kehadirannya. Dalam arti bahwa tradisi telah menyerap dan mencerabut kemandiriannya. Memang tak sedikit pemikir Arab yang mengkaji tradisi, tetapi hanya sekedar evokatif (kegairahan) semata dan tanpa ada eksplorasi dan penalaran yang mendalam.

Yang muncul upaya defence pada tradisi terhadap munculnya berbagai realitas kekinian yang terus bergejolak. Dengan demikian tidak ada alasan lain selain melepaskan subjek dari tradisi. Artinya, penelitian harus mengabaikan penafsiran makna teks sebelum dia memahami materi serta muatannya. Dan menjauhkan diri dari seluruh kolam pemahaman yang dibangun berdasarkan bias-bias tertentu, sebagai cangkokan dari tradisi serta pelbagai syahwat kekinian. Inilah metode modernisme dalam arti Al Jabiri.

Ideologisasi Mazhab

Setelah melakukan kritik metodelogis atas filsafat Arab-Islam. Al Jabari membuka jendela pemikiran filosofis dan ideologis Islam. Ia mengorek tradisi filsafat yang berkembang dalam Islam. Sekalipun ia meragukan otentisitas filsafat Islam sebagai filsafat Yunani yang ditulis dalam bahasa Arab saja. Memang harus diakui bahwa pada abad ke 8 M, dinasti Abbasiyah dibawah komando Al Ma’mu terjadi transliterasi besar-besaran dari pemikiran Yunani ke dalam Islam. Karya Plato dan Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Aktivitas translation ini dilakukan di pusat pengetahuan Baitul Hikmah.

Beberapa pemikir yang menjadi komentator pemikir Yunani di antaranya Al Khindi, Al Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusdy, sekalipun nanti Al Jabiri mengintip perbedaan antara Ibnu Rusdy dengan ketiga tokoh lainnya itu. Masa-masa ini yang disebutnya kodifikasi (tadwin). Al Jabiri melihat kebangkitan ini tidak murni sebagai upaya kecintaan umat Islam pada pengetahuan dan peradaban, tetapi jauh menukik dibalik itu adalah kepentingan kekukuhan kekuasaan melalui penerapan mazhab-mazhab tertentu.

Dia menjelaskan lahirnya berbagai mazhab itu tak lain adalah penguatan ideologis, yang dinilai satu senjata paling kuat. Pertarungan ideologis ini, dapat dilihat dari rezim Umayyah yang Hanafian dengan rezim Abbasiyah yang Malikian. Malikian, mazhab resmi Umayyah, menentang ideologi beserta mazhab hukum lainnya, seperti ajaran dogmatis-teologis dan ajaran esoterisme atau gnostisisme lainnya. Begitu sebaliknya yang dilakukan mazhab Abbasiyah. Tidak hanya berhenti dalam dua kubu, lahirnya kubu-kubu selanjutnya juga semakin mewarnai pertarungan ideologis berbau aqidah dan fiqhiyah.

Hingga muncul Negara Muwahhidun (al Mohad) yang lahir dari pemberontakan Muhammad Ibnu Tumart, yang disebut-sebut sebagai Mahdi. Al Mohadmenekan lawannya yaitu negara Al Murabbitun (al Moravits), didirikan oleh Yusuf Ibn Tasfin, yang menganut Malikiyah. Konon Al Mohad yang mengutus secara langsung Ibn Rusdy untuk membahasan kembali tulisan-tulisan Yunani dan menolak taklid terhadap yang sudah ada ala Ibn Sina, Al Khindi, dan Al Farabi dan Malikiyah. Sehingga muncul dua corak komentator fisuf Islam atas Yunani.

Untuk menjelaskan dua corak ini, Al Jabiri mula-mula membagi Islam ke dalam dua wilayah, Barat (magrib) bermula dari Andalusia (spanyol) dan Timur (masyrik) sekitar Mesir. Menurut Al Jabiri ada perbedaan mendasar tafsir dan pengadopsian filsafat Yunani ke dalam Islam yang dilakukan oleh para pemikir Islam. 

Faylasuf Timur cenderung mencampur dengan tradisi esoterisme (sufisme): teosofi. Sehingga yang lahir adalah iluminasionisme ala Suhrawardi dan emanasi alfaid dalam gagasan Al Farabi. Al Khindi dan Ibn Sina tak jauh berbeda, sama berkutat pada esoterisme. Hal ini, lanjut Al Jabiri, tak lebih baik dari ajaran Plotinus yang mencoba mempertemukan idealisme (alam ide) dan memesis (alam tiruan), atau mempertemukan metafisika dan fisika, yang digagas Plato.

Ibnu Rusdy: Kritik Gnostisisme

Untuk mendudukkan dua kecenderungan ini, secara mentah-mentah Al Jabiri mengajukan pemikiran Ibn Rusdy. Dalam pemetaan itu Averros, sebutan Barat Ibn Rusdy, perlu menanggapi Ibn Sina (Avicenna) yang gnostis dan Al Ghazali yang menyerang filsul dan filsafat. Secara umum problem filsafat Islam adalah bagaimana yang tanzih bertemu dengan yang hadist, yang trandental dengan yang imanen. 

Oleh sebab itu Ibn Sina dan Al Farabi menjawab dengan emanasionisme atau proses pemancaran, yaitu bahwa proses penciptaan dari wujud hakikat kesadaran (absolut) yang menyadari dirinya sendiri, lalu muncul wujud pertama, kemudian wujud pertama ini menyadari diri dan relasi dengan yang wujud absolut, kemudian muncul wujud kedua, begitu seterusnya hingga wujud kesepuluh (akal faal) dimana bumi beserta isinya tercipta. Dari sini dapat dikatakan bahwa pluralitas (the many) bersifat nisbi terhdap singularitas (the one).

Bagi Ibn Rusdy penjelasan penciptaan ini hanyalah dogeng rekaan yang tidak konsisten dari para teologian. Hal ini, lanjutnya, belum keluar dari dualitas antara yang banyak dan yang satu, antara alam ide dan mimesis sebagaimana filsuf terdahulu mendiskusikannya. Untuk menjawab ini, Ibn Rusdy memulai dari teori Hylemorphisme Aristoteles, yaitu aktualitas terjadi hanya karena bentuk (form) bertemu dengan materi (hyle). 

Ikatan keduanya itulah yang memberikan keberadaan. Dan karenanya menjadi niscaya bahwa hanya satu Ada yang eksis, dan hanya Ada yang menyalurkan satu pemberian tindakan kekuatan untuk mengubah potensi menjadi aktual. Dengan begitu semua Ada mendapatkan eksistensinya yang mengarah pada kesatuan primer (Tuhan)[6].

Sementara untuk Al Ghazali, Ibn Rusdy juga memberi jawaban yang penting. Sebagaimana kita tahu dalam Tahafut Al Falasifah Al Ghazali mengkafirkan filsuf yang menyatakan tiga hal: bahwa alam adalah kekal, Tuhan tidak mengetahui yang partikular, dan dalam peradilan eskatologis jasab yang diadili.

Soal kekelan alam, Ibn Sina sebelumnya menjawab bahwa “alam diciptakan dalam dirinya yang abadi dalam waktu.”[7] Menurut Ibnu Rusdy pernyataan Ibn Sina ini mengandung problem yang ilusif, karena menyerupakan awal dunia secara keseluruhan. Yang dimaksud dengan “awal” adalah diciptakan dalam waktu dari dari ketiadaan (creatio ex nihilo). 

Mengatakan dunia memiliki awal itu berkaitan dengan tindakan Tuhan, dan pasti tindakan-Nya tidak terkait dengan waktu dan tidak dibatasi olehnya. Maka pastinya tindakannya juga tidak dibatasi oleh waktu dan tidak mengambil tempat dalam waktu. Sehingga tidak bisa ditentukan kapan awal penciptaan itu, “maka para filsuf untuk membedakan awal dunia dan awal dari hal-hal yang duniawi inilah dengan mengatakan bahwa dunia ini abadi.”[8]

Soal Tuhan tidak mentahui yang partikular, Ibn Rusdy menjawab sebagaimana kita tahu dalam bukunya Tahafut At Tahafut, bahwa pengetahuan Tuhan itu absolut dan tidak berubah. Sementara sesuatu yang sifatnya partikular itu berubah seiring waktu. Maka jika Tuhan mengetahui yang partikular maka konsekuensi logis pengetahuan Tuhan juga berubah. 

Dan itu bertentangan dengan kekuasaannya. Dengan begitu Tuhan secara absolut mengetahui yang universal. Atau dalam terminologi Ibn Sina, bahwa “Tuhan mengetahui segala sesuatu dari atom paling kecil sampai tubuh paling besar dan hal ini diketahui-Nya secara universal.”[9] Sementara untuk kritik Al Ghzali yang terakhir, Ibn Rusdy menjawab bahwa Tuhan maha suci sehingga tidak mungkin berurusan dengan jasad yang kotor dan dekil. Demikian kritik Al Jabiri atas nalar filsafat Islam.

Sebagai catatan akhir dari bukunya itu Al Jabiri, menguak tatanan masyarakat utama (madinatul fadilah) yang digagas oleh Al Farabi kemudian ditimpali dengan gagasan Ibn Khaldun. Bahwa masyarakat utama adalah yang berdasarkan kekerabatan dan solidaritas kesukuan (al asabiyyah). Dari sini Al Jabiri juga menjustifikasi adanya ketentuan hukum untuk mencipta tatanan masyarakat yang baik, sebagai perwujudan modern dari tradisi (turas) yang ditafsiri secara baru dan dengan proses metode dan epistemologi yang benar. 

Pada akhirnya Al Jabiri menggiring umat Islam untuk mandiri secara pemikiran, jika Barat lepas total dari tradisi, maka Islam menempuh jalan berbeda, yaitu meletakkan tradisi secara baru. Dengan demikian Al Jabiri mencoba keluar dari perangkap posotivisme-metode ilmiah yang di barat juga sudah berada di usia senja. 

1] Muhammad Abed Al Jabiri. Kriti Kontemporer Atas Nalar Arab Islam., Hal 2
[2] ibid., Hal 2
[3] ibid., Hal 6
[4] ibid., Hal 24
[5] ibid., Hal 34
[6] ibid., Hal 149
[7] ibid., Hal 130
[8] ibid., Hal 130
[9] ibid., Hal 141


"
"