Mazhabkepanjen.com - Bagi kalangan aktivis gerakan, nomenklatur kiri[2]
bukan sesuatu yang baru. Istilah tersebut menjadi petanda semangat perlawanan,
anti kemapanan, anti kekuasaan, dan semangat revolusioner. Namun, secara
historis terminologi tersebut acap kali distigmatisasi sebagai
pembangkangan dan subversif. Agen-agennya dipersempit ruang geraknya oleh
penguasa, sebagian diculik dan dibunuh.
Buku-buku yang berbau kiri dibredel dan
dibumi hanguskan. Pada 19 April 2001 lalu, di Indonesia dilakukan pembakaran
buku-buku Marxis yang dinilai berbau kiri dan membahayakan kekuasaan.[3]
Tindakan fisik ini menunjukkan ketakmampuan diri, para musuh-musuh gerakan
kritis, untuk melawan dengan keterbukan pemikiran dan kejujuran
intelektualitas.
Tak berhenti disitu, kiri kemudian dicitrakan
sebagai “hantu” dengan segala variannya: Komunisme, Sosialisme, dan Marxisme
yang super duper ngeri karena muatan perlawanan yang dikandungnya. Streotype
ini dibangun oleh kemapanan (establishment), kuasa dan kelas borjuasi kapitalis
yang nyaman menikmati darah kelas proletar agar tetap langgeng dan mapan dan
selamanya menari diatas penderitaan orang lain (I’ll home par I’ll home).
Kenyataan ini dialami oleh mereka yang terlanjur dicap kiri, di beberapa negara
di dunia termasuk Indonesia lebih-lebih pasca tragedi 65. Sedihnya, tak sedikit
elemen masyarakat, yang mestinya berada di kiri, terlarut dalam stigmatisasi
tersebut hingga juga menghujat. Menurut Listiyono Santoso, ini “menunjukkan
minimnya pemahaman masyarakat atas berbagai bentuk (model) pemikiran, juga
menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan (fatal) dalam pemahaman masyarakat
atas terminologi kiri.” Karena hakikatnya, kiri merupakan pemikiran dan gerakan
sosial yang punya spirit kritis dan gerakan sosial perlawanan atas kemapanan yang
selama ini justru mendera kelas bawah.
Itulah substratum atau kerangka dasar kiri. Dengan
demikian, term itu tidak bisa dipersempit pada Marxisme dan komunisme saja, tak
sedikit pemikir dan aliran-aliran gerakan perubahan yang membawa misi kritis
dan semangat anti kemapanan, dengan begitu mereka juga kiri. Tak hanya pemikir
Barat, seperti K. Marx, F. Nietzsche, A.Gramsci, H. Marcuse dst,
pemikir Islam juga tak sedikit memiliki semangat kiri, sebut saja kritik
Epistemologi ala M. Arkoun, Oksidentalisme Hasan Hanafi, Gugatan
epistemologi-liberatif Asghar A Engineer, Kritik turas Abed Al Jabiri, dst.
Namun tulisan ini tidak bermaksud mengulas
keseluruhan epistem tokoh-tokoh tersebut. Pembahasan dikerucutkan pada
“Materialisme dialektis” sebagai epistem Marxisme. Pilihan ini didasarkan
selain ajaran ini paling banyak mendapati sorotan hampir di sepertiga dunia
disepanjang abad 18/19 hingga kini, juga lebih awal dari tokoh-tokoh lain yang
disebutkan diatas. Adapun rute pembahasan akan start dari soal konsepsi
epistemologi itu sendiri: bagaimana lahirnya epistemologi dan apa
varian-variannya? Kemudian berlanjut ke jejak dialektika: bagaimana sejarah
dialektika? Selanjutnya masuk ke materialisme dialektis: apa dan bagaimana
materialisme dialektis? Logika apa yang menjadikan materi dasar absolut? dan
bagaiman memposisikan materialisme dialektis?
Loop
Epistemologi
Secara sederhana epistemologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mengetahui
atau ilmu tentang pengetahuan. Dari definisi ini epistemologi paling tidak
meniscayakan tiga hal. Pertama, ada internal (yang mengetahui/subjek), ada
eksternal (yang diketahui/objek), dan keraguan yang memicu upaya internal
mengerti yang eksternal. Dari tiga kerangka inilah epistemologi menjadi
mungkin. Sehingga urutannya alam dan non manusia lainnya (eksternal) ditanggkap
indera lalu dikonsepsi dalam pikiran dan membentuk kriteria umum dalam pikiran
(internal).
Baca Juga: Filsafat Itu Maskulin
Jadi alam sebagai salah satu sumber pengetahuan yang diolah dalam
pikiran. Sayangnya tidak semua filsuf sepakat dengan pola alam-indera-rasio
sebagai satu rangkaian epistemologi manusia. Sebagian filsuf berhenti pada
indera dan melahirkan aliran empirisisme sebagai satu-satunya epistemologi
dengan begitu menangguhkan rasio. Sebagian lainnya hanya bertumpu pada rasio
dan memunculkan rasionalisme, dan mengganggap pengetahuan indera tidak utuh.
Immanuel Kant (1724-1804) sebenarnya sudah mencoba
untuk memadukan empirisisme dan rasionalisme, tetapi lagi-lagi masih menyisakan
residu idealisme dan berkubang dalam lumpur transendentalisme. Alih-alih
mengawinkan, Kant terjebak pada kriteria-kriteria pengetahuan (kategori) yang
tak menyentuh secara tepat pada problem empirisisme-idealisme.
Setelah memastikan “ada ekstenal” dan “ada internal,”
pertanyaan selanjutnya bagaimana memastikan bahwa “ada eksternal” itu ada tanpa
prasyarat atau jaminan apapun dari yang lain (ada internal). Bukankah adanya
semesta ini karena ada manusia yang mempersepsinya sebagai ada. Tanpa subjek
yang memikirkan, kemungkina semesta bisa dua: “ada eksternal” ada atau tiada?
Maka yang absolut internalitas, ini mengafirmasi cogito ergo sum ala Rene
Descartes. Lantas bagaiman yang ekternal material bisa absolut? Pertanyaan ini
akan dijawab di pembahasan selanjutnya.
Jejak
(Trace) Dialektika
Dialektika sebenarnya bukanlah barang baru dalam
dunia filsafat, zaman Yunani kuno sudah membicarakannya. Herakleitos (535-475
SM) adalah salah satu dedengkotnya. Dia menyatakan bahwa kontradiksi adalah
imanen dalam alam semesta (unity of opposite). “Kontradiksi bersemayam dalam
setiap “hal ada” dan inilah yang menjadi penyebab segala perubahan.”[4] Segala
sesuatu beropposisi biner: siang-malam, laki-laki-perempuan, tua-muda dst dan
karenanya memungkinkan unitas (unity) bukan singularitas ala Permedian, mazhab
Elea dan jajaran Monis lainnya.
Dengan demikian tidak ada yang konstan dalam
semesta, semuanya dinamis dan berubah. Diktumnya yang terkenal yaitu “seseorang
yang turun ke sungai tidak akan menyentuh air yang sama dua kali.” Dan sebab
itu kehidupan di alam ini terus berlanjut.
Dialektika menemukan momentumnya yang terakbar
ditangan GWF Hegel, filsuf mashur asal Jerman (1770-183). Dia merumuskannya
dengan lebih bernas, baginya kenyataan adalah sebuah proses dialektika. Dialektika
berarti segala sesuatu hanya benar apabila dilihat dalam keseluruhan
hubungannya, yaitu hubungan negasi. Maka, “pengetahuan adalah proses dimana
objek yang diketahui dan subjek yang mengetahui saling mengembangkan
(menegasikan), sehingga tidak pernah selesai satu sama lain.”[5] Ini berarti
bahwa pengetahuan adalah proses yang tak berkesudahan (on going process),
dimana apa yang kita ketahui hari ini akan disangkal (dinegasikan) oleh
pengetahuan besok yang lebih baru. Dan pengetahuan besok akan disangkal lagi
oleh pengetahuan hari berikutnya (lusa). Yang terjadi adalah negasi atas negasi
yang tak berkesudahan.
Namun demikian, setelah dinegasi, suatu pengetahuan
lama bukan berarti salah, melainkan berada dalam cahaya pengetahuan yang baru.
Negasi-negasi itu diangkat ke jenjang yang lebih tinggi, yang disebut dalam
istilah Jerman aufgehoben. Menurut Budi Hardiman, aufgehoben berarti diangkat
dan bukan peniadaan atau pembatalan, melainkan dua negasi yang beropposisi
diangakat ke taraf yang lebih tinggi dan kebenaran dari kedua negasi masih
dipertahankan.[6]
Dengan demikian memungkinkan adanya triadik: tesis,
antitesis, dan sintesis. Contoh sederhanya yang sering dipakai: Pulau adalah
tanah (tesis), tidak betul karena Cina juga tanah tetapi bukan pulau, pulau
bukan tanah melainkan air (antitesis). Pulau itu bukan air, melainkan tanah
yang dikelilingi air (sintesis). Dalam contoh ini “kebenaran pulau” melalui
proses dua kali negasi.
Hegel melihat alam tidak hanya real tetapi juga
sebagai roh atau yang absolut. Untuk sampai pada dirinya, roh harus
mengojektifikasi diri dalam alam, alam merupakan alienasi dari roh. Alam
menjadi sesuatu yang memungkinkan kesadaran manusia. Dengan demikian
pengetahuan manusia adalah pengetahuan akan yang absolut. Ajaran ini yang
membuat Hegel masuk dalam pemikir idealisme, yang berarti tindakan manusia
ditentukan oleh kesadarannya akan yang absolut. Tetapi, menurut Martin
Suryajaya, idealisme Hegel tidak hanya soal kesadaran menentukan hasil produksi
dan segala peradaban manusia, tetapi menambatkan argumen dasarnya yaitu “relasi
internal”.
Doktrin ini melihat identitas atau esensi dibentuk oleh kaitannya
dengan yang lain. Dan hukum ini berlaku universal pada semua benda apapun.
Misalnya, mengatakan buku bukan pulpen, berarti pulpen hadir secara negatif
dalam buku (negativitas internal). Relasi buku dengan pulpen bersifat
menentukan bagi identitas buku. Artinya buku identik dengan dirinya sendiri
sejauh ia identik dengan relasinya pada yang lain. Pola konstitusi demikian
terjadi pada semua hal. Setiap positivitas senantiasa ada negativitas.
Namun, negativifitas internal ala Hegel
mensyarakatkan positivitas mutlak yaitu sesuatu yang tak lagi membutuhkan
negativitas, dan ia adalah materialisme objektif itu sendiri, yang selanjutnya
menjadi dasar inti kritik Marx atas Hegel. Jika segala sesuatu berkorelasi maka
harus ada yang a-korelasi agar korelasi menjadi bermakna. Disini kita mulai
membuka batas idealisme, dan batas itu adalah realisme dimana Marx
mengembangkan kritik epistemologinya[7].
Epistemologi
Marxian
Menurut Listiyono, sebenarnya tak ada karya Marx yang secara khusus membahas
soal epistemologi, tetapi secara implisit dari keutuhan filsafatnya menyiratkan
konsep pengetahuannya. Terlebih setelah masuk dalam materialisme dialektis dan
kritiknya atas idealisme Hegelian. Listiyono secara sederhana meletakkan
materialisme dialektika Marxian dalam arti semata-mata dialektika yang
bersandar pada materi. Dia memulai dari mendefinisikan materialisme sebagai
teori yang memposisikan materi sebagai unsur dasar yang membentuk alam, dan
bahwa kesadaran manusia dan segala bentuk psikologis yang menempel padanya
dibentuk oleh mode materi.[8]
Lantas, dia menarik materi ini ke dalam
dialektika, bahwa dialektika adalah satu kesatuan dari segala hal yang
berlawanan (relasi interanal: positivitas dan negativitas) yang bersifat
materi. Dengan demikian, prinsip ini menolak prinsip ontologis dialektika
Hegelian yang berkesan mistik dan bernuansa rohaniah. Marx ingin membalik bahwa
pemahaman dialektika idealisme (kontradiksi dan relasi internal) hanya terdapat
dalam pikiran dan dunia yang abstrak, bahwa dialektika adalah sesuatu yang
bersifat empiris nyata dalam alam dan dapat diteliti secara ilmiah. Dengan
begitu Marx menegaskan bahwa hal-hal yang roh (kesadaran) itu muncul karena
dialektika materi. Dialektika itu nyata dalam kehidupan keseharian
bermasyarakat, sebagaimana ditulis Marx dalam Manifesto Partai Komunis bahwa:
“Sejarah
semua masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak,
patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang
pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas senantiasa ada dalam
pertentangan satu dengan yang lain.”[9]
Pernyataan lain yang secara implisit bisa dikutip
sebagai dialektika misalnya:
“Sudah
sejak berpuluh-puluh tahun sejarah industri dan perdagangan hanyalah sejarah
pemberontakan tenaga-tenaga produktif modern melawan syarat-syarat produksi
modern, melawan hubungan milik yang merupakan syarat-syarat untuk hidup bagi
borjuasi dan kekuasannya.”
Sampai disini Marx resmi menjadi antitesis dari
dialektika Hegelian, dan secara perlahan merobohkannya. Dalam Naskah-Naskah
Ekonomi dan Filsafat 1844, secara tegas Marx menyebut bahwa filsafat Hegelian
melihat hakikat manusia setara dengan kesadaran diri. Karena itu, setiap
perenggutan hakikat manusia tidak lain sebagai alienasi kesadaran diri. Namun
sayang, Hegelian menambatkan alienasi itu pada pikiran. Padahal alienasi yang
sesungguhnya, bagi Marx, adalah manifestasi dari alienasi itu sendiri yang
kemudian menyebabkan internalisasi ke dalam kesadaran diri. Marx menyatakan:
“Orang
yang menguasai keberadaan hakikinya hanyalah kesadaran diri yang menguasai
hakikat-hakikat objektifnya. Oleh karenanya, kembalinya objek ke dalam dirinya
adalah pemilikan kembali objek itu sendiri.”[10]
Sampai disini, teori relasi internal Hegelian, bahwa
positivitas sekaligus negativitas ditolak mentak-mentah. Artinya kontradiksi
internal itu hanya mungkin dalam pikiran, tetapi tidak mungkin dalam realitas
nyata. Bagaimana bisa kita menyebut buku sekaligus pulpen atau pria sekaligus
wanita, pernyataan ini tidak memiliki acuannya dalam realitas. Dalam pandangan
Aristoteles, kontradiksi internal ini menyalahi prinsip logika lainnya yaitu
non-identitas. Sehingga mustahil terjadi dalam realitas. Dengan kata lain Marx
mengajak kita pada batas akhir idealisme yaitu realisme itu sendiri.
Kerangka materialisme dialektis ini membawa
konsekuensi epistemologis bahwa segala sesuatu atau segala bentuk pengetahuan
harus dikonstitusi melalui materi secara dialektis. Dengan kata lain bahwa
pengetahuan manusia diperoleh melalui proses yang objektif-material. Dan
khasnya adalah kenyataan objektif ini berada dalam situasi yang dialektis satu
sama lain yang justru memungkinkan lahirnya pengetahuan. Pada titik ini Marx
tegas menyatakan bahwa bukan kesadaran yang membentuk kehidupan manusia,
melainkan hidup itu sendirilah yang menentukan kesadaran manusia.
Dasar
Logika Materialisme
Sampai pada gagasan diatas, rasanya cukup untuk
mengerti secara sederhana epistemologi dan kritik epistemologi Marx atas
Hegelian. Tapi mari jangan berpuas diri, kita perlu mengorek lebih filosofis kelahiran
materialisme dialektis Marx. Karena jika ditelisik lagi dasar materialisme
dialektis tidak sesederhana itu. Artinya ada alasan yang lebih mumpuni untuk
menjangkarkan materialisme sebagai dasar ontologis dan epistemologis. Kita akan
mulai dengan pertanyaan dasarnya yaitu bahwa bagaimana tanpa kesadaran (subjek)
yang objektif (semesta) itu bisa “ada”. Bukankah tanpa subjek yang mengetahui,
keber-ada-an semesta ini memiliki dua kemungkinan: “ada” dan “tiada”. Karena
memang, meminjam bahasa Martin Heidegger, hanya manusia (subjek/dasein) yang
membicarakan yang ada.
Dua kemungkinan tersebut muncul, menurut Martin
Suryajaya, karena subjek tidak mengeta-huinya. Misalnya, saat kita tidak berada
dalam ruangan ini, bisakah kursi-kursi ini kita sebut ada atau tidak ada, maka
jawabannya jelas bisa “ada” dan “tidak ada”. Jika demikian lantas bagaimana
Marx berpijak pada materi (eksternalitas) sebagai dasar teori epistemologisnya.
Artinya bagaimana Marx memastikan yang objektif itu “ada”. Dalam hal ini,
mestinya, Marx tidak serta merta berangkat dari kenyataan sejarah bahwa proses
produksi mengubah pola hidup dan pengetahuan manusia. Ada yang lebih mendasar
dari itu, dan ini sekaligus menjadi kritik filosofisnya terhadap Hegelian dan
siapapun yang berhenti di ranah roh-idealisme.
Dalam menjelaskan ini saya akan mengutip tiga tahap
renungan Martin Suryajaya. Ini sekaligus sebagai logika mencapai yang
eksternal. Perenungan pertama seperti dijelaskan diatas bahwa jika subjek tidak
ada, maka yang ekstenal bisa “ada” dan “tiada.” Artinya keberadaan eksternal
mungkin tidak mensyaratkan keberadaan subjek, juga mungkin mensyaratkan
keberadaan subjek. Yang kedua, bagaimana jika yang eksternal tidak ada, artinya
semesta, tata surya, beserta hiruk-pikuk sejarah dan peradaban tidak ada. Maka
tentu konsekuensinya manusia akan terjatuh dan entah berada dimana.
Sebagaimana
kita tidur dalam rumah lalu rumah itu menghilang. Jika semesta “tidak ada” maka
manusia (subjek) juga “tidak akan ada.” Lantas bagaimana subjek tahu akan
ketiadaannya tanpa yang eksternal? Bisa kita korek kembali dari perenungan
kedua bahwa eksternalitas ada yang tidak esensial terhadap keberadaan subjek.
Jika papan tulis, kursi, mobil dst tidak ada, maka tidak akan ada berpengaruh
terhadap keberadaan subjek. Tetapi apabila tidak ada air atau makanan, maka
secara perlahan subjek akan mati (tiada), dalam proses kematian itu subjek
dapat mengamati secara sadar bahwa tanpa yang eksternal, subjek tiada.
Tahap ketiga adalah mengamati relasi biologis berupa
respirasi (pernafasan), bahwa keberadaan oksigen tidak mensyaratkan adanya
relasi respirasi dengan subjek. Subjek bisa saja mengintuisikan menangguhkan
keberadaan oksigen (bisa makanan dan minuman), tetapi intusi penangguhan
oksigen ini tidak akan mengubah fakta bahwa pada saat subjek mengguhkan oksigen
dan makanan, dia akan mati (tiada). Maka kebenaran bahwa “tanpa oksigen subjek
akan turut tiada” tidak dihasilkan oleh intuisi. Ia ada secara independen.
Dengan begitu subjek sampai pada materialitas eksternal absolut yaitu
keberadaan oksigen niscaya tanpa keberadaan subjek[11]. Inilah yang menjadi
dasar materialis secara logis-filosofis, bahwa yang eksternal itu absolut,
sebagaimana epistemologi membutuhkannya, dan material.
Tak
Sekedar Epistemologi
Setelah menangkap materi sebagai eksternal absolut,
kita mencoba mengelaborasi Marx dalam ajaran materialismenya, sebagaimana
dituang dalam Jerman Ideologi bahwa perkembangan masyarakat ditentukan oleh
relasi materialnya, sebagaimana dia merumuskan tahapan masyarakat mulai dari
primitif, feodal dan kapitalis (dan rencananya komunis). Semua tahapan itu
dasarnya adalah relasi material berupa baik apa yang mereka produksi serta
dengan apa mereka memproduksinya. Dengan demikian:
“Produksi
ide, konsepsi, kesadaran (pengetahuan), pada mulanya berkaitan langsung dengan
aktivitas material dan hubungan material manusia−bahasa kehidupan yang nyata.
Pemahaman, pemikiran, dan hubungan mental manusia pada tahap ini tampil sebagai
akibat langsung dari prilaku material mereka.”[12]
Selain itu, menurut Nur Sayyid Santoso Kristeva,
materialisme dialektis Marx tidak sekedar memahami ada keterasingan manusia
dalam relasinya dengan materi. Namun juga bagaimana mengubah keterasingan itu
menjadi keadilan. Pada poin ini materialisme Marx berbeda dengan materialisme
Ludwig Feuerbach, yang hanya berhenti pada analisis bahwa manusia teralienasi
oleh keyakinan metafisisnya (agama).
Untuk itulah Marx menegaskan dalam Theses
on Feuerbach khususnya thesis ke sebelas bahwa “para ahli filsafat hanya
menafsirkan dunia dengan berbagai cara, tetapi persoalan sebenarnya adalah
bagaimana mengubahnya.” Dengan demikian jelas bahwa epistemologi materialisme
dialektis tidak hanya untuk memahami keterasingan tetapi bagaimana menghapuskan
keterasingan. Filsafat tidak hanya untuk mengerti adanya ketidakadilan,
penindasan, korupsi, nepotisme dan segala bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya,
melainkan yang terpenting adalah bagaimana memerangi itu semua.[13]
Penutup
Epistemologi kiri pada dasarnya adalah pengetahuan
yang menonjolkan semangat perlawanan terhadap kenyamanan dan gigantisme
kekuasaan. Epistemologi kiri menyediakan piranti analisa yang khas untuk
kemudian diterjemahkan dalam bentuk perlawanan konkrit. Marxisme dengan
bentuknya materialisme dialektika adalah salah satu bentuk aliran filsafat yang
mengawali secara serius dan detail tentang bagaimana epistemologi kiri lahir
dan ditempatkan. Dengan begitu harapan kita setelah mengerti kerangka epistemologi
kiri dapat menggunakannya tak sekedar epistemologi untuk mengetahui tetapi
bagaimana melakukan tindakan praktis nyata untuk perubahan. (tulisan ini pernah dimuat di Ragepublic.com, dimuat lagi untuk tujuan pendidikan).
#filsafatmazhabkepanjen
[1] Disampaikan dalam sekolah epistemologi kiri STF
Al Farabi Kepanjen.
[2] Ada yang menjelaskan istilah kiri berasal dari
tempat duduk legislatif dari kaum republik yang berada disisi kiri saat
menentang rezim sewenang-wenang Prancis. Karena kiri diidentikkan dengan
“melawan”. Tetapi rupanya, istilah kiri terus dinamis dengan segala bentuknya,
dengan begitu tak bisa lagi direduksi ke dalam konteks sejarah sempit
itu.
[3] Listiyono Santoso dkk. Epistemologi Kiri.
Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia. 2014., hal 16
[4] Budiono Kusumo Hamidjojo. Filsafat Yunani
Klasik: Relevansi Untuk Abda XI. Jogjakarta: Jalasutra. 2012., hal 62
[5] F Magnis Susesno. Pemikiran Karl Marx: Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 1999., hal 56
[6] F Budi Hardiman. Filsafat Modern: Dari
Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka. 2007.,hal 181
[7] Martin Suryajaya. Materialisme Dialektis: Kajian
Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Jogjakarta: Resist Book. 2012., hal
9
[8] Listiyono Santoso. Epitemologi Kiri., hal 39
[9] Karl Marx & Friedrich Engel. Manifesto
Partai Komunis (diterjemahkan DN Aidit). Jogjakarta: Cakrawangsa.2014., hal 35
[10] Karl Marx. Naskah-Naskah Ekonomi dan Filsafat
(diterjemahkan oleh Ira Iramanto). Jakarta: Hasta Mitra.1998., hal 156
[11] Martin Suryajata. Materialisme Dialektis., hal
336-338
[12] Karl Marx & Frederick Engel. Ideologi
Jerman (jilid I: dialihbahasakan oleh Nasikhul Mutamanna). Yogyakarta: Pustaka
Nusantara. 2013., hal 17-18.
[13] Nur Sayyid Santoso Kristeva. Negara Marxis dan
Revolusi Proletariat. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2011., hal 183
0 Komentar