Materialisme Dialektis: Konsep Pengetahuan Marxisme Sebagai Epistemologi Kiri

Oleh: Herlianto. A, penikmat kajian sosial dan filsafat STF Al Farabi Malang

Mazhabkepanjen.com - Bagi kalangan aktivis gerakan, nomenklatur kiri[2] bukan sesuatu yang baru. Istilah tersebut menjadi petanda semangat perlawanan, anti kemapanan, anti kekuasaan, dan semangat revolusioner. Namun, secara historis terminologi tersebut acap kali distigmatisasi sebagai pembangkangan dan subversif. Agen-agennya dipersempit ruang geraknya oleh penguasa, sebagian diculik dan dibunuh. 

Buku-buku yang berbau kiri dibredel dan dibumi hanguskan. Pada 19 April 2001 lalu, di Indonesia dilakukan pembakaran buku-buku Marxis yang dinilai berbau kiri dan membahayakan kekuasaan.[3] Tindakan fisik ini menunjukkan ketakmampuan diri, para musuh-musuh gerakan kritis, untuk melawan dengan keterbukan pemikiran dan kejujuran intelektualitas.

Tak berhenti disitu, kiri kemudian dicitrakan sebagai “hantu” dengan segala variannya: Komunisme, Sosialisme, dan Marxisme yang super duper ngeri karena muatan perlawanan yang dikandungnya. Streotype ini dibangun oleh kemapanan (establishment), kuasa dan kelas borjuasi kapitalis yang nyaman menikmati darah kelas proletar agar tetap langgeng dan mapan dan selamanya menari diatas penderitaan orang lain (I’ll home par I’ll home). 


Kenyataan ini dialami oleh mereka yang terlanjur dicap kiri, di beberapa negara di dunia termasuk Indonesia lebih-lebih pasca tragedi 65. Sedihnya, tak sedikit elemen masyarakat, yang mestinya berada di kiri, terlarut dalam stigmatisasi tersebut hingga juga menghujat. Menurut Listiyono Santoso, ini “menunjukkan minimnya pemahaman masyarakat atas berbagai bentuk (model) pemikiran, juga menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan (fatal) dalam pemahaman masyarakat atas terminologi kiri.” Karena hakikatnya, kiri merupakan pemikiran dan gerakan sosial yang punya spirit kritis dan gerakan sosial perlawanan atas kemapanan yang selama ini justru mendera kelas bawah.


Itulah substratum atau kerangka dasar kiri. Dengan demikian, term itu tidak bisa dipersempit pada Marxisme dan komunisme saja, tak sedikit pemikir dan aliran-aliran gerakan perubahan yang membawa misi kritis dan semangat anti kemapanan, dengan begitu mereka juga kiri. Tak hanya pemikir Barat, seperti  K. Marx, F. Nietzsche,  A.Gramsci, H. Marcuse dst, pemikir Islam juga tak sedikit memiliki semangat kiri, sebut saja kritik Epistemologi ala M. Arkoun, Oksidentalisme Hasan Hanafi, Gugatan epistemologi-liberatif Asghar A Engineer, Kritik turas Abed Al Jabiri, dst.

Namun tulisan ini tidak bermaksud mengulas keseluruhan epistem tokoh-tokoh tersebut. Pembahasan dikerucutkan pada “Materialisme dialektis” sebagai epistem Marxisme. Pilihan ini didasarkan selain ajaran ini paling banyak mendapati sorotan hampir di sepertiga dunia disepanjang abad 18/19 hingga kini, juga lebih awal dari tokoh-tokoh lain yang disebutkan diatas. Adapun rute pembahasan akan start dari soal konsepsi epistemologi itu sendiri: bagaimana lahirnya epistemologi dan apa varian-variannya? Kemudian berlanjut ke jejak dialektika: bagaimana sejarah dialektika? Selanjutnya masuk ke materialisme dialektis: apa dan bagaimana materialisme dialektis? Logika apa yang menjadikan materi dasar absolut? dan bagaiman memposisikan materialisme dialektis?

Loop Epistemologi

Secara sederhana epistemologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mengetahui atau ilmu tentang pengetahuan. Dari definisi ini epistemologi paling tidak meniscayakan tiga hal. Pertama, ada internal (yang mengetahui/subjek), ada eksternal (yang diketahui/objek), dan keraguan yang memicu upaya internal mengerti yang eksternal. Dari tiga kerangka inilah epistemologi menjadi mungkin. Sehingga urutannya alam dan non manusia lainnya (eksternal) ditanggkap indera lalu dikonsepsi dalam pikiran dan membentuk kriteria umum dalam pikiran (internal). 


Jadi alam sebagai salah satu sumber pengetahuan yang diolah dalam pikiran. Sayangnya tidak semua filsuf sepakat dengan pola alam-indera-rasio sebagai satu rangkaian epistemologi manusia. Sebagian filsuf berhenti pada indera dan melahirkan aliran empirisisme sebagai satu-satunya epistemologi dengan begitu menangguhkan rasio. Sebagian lainnya hanya bertumpu pada rasio dan memunculkan rasionalisme, dan mengganggap pengetahuan indera tidak utuh.


Immanuel Kant (1724-1804) sebenarnya sudah mencoba untuk memadukan empirisisme dan rasionalisme, tetapi lagi-lagi masih menyisakan residu idealisme dan berkubang dalam lumpur transendentalisme. Alih-alih mengawinkan, Kant terjebak pada kriteria-kriteria pengetahuan (kategori) yang tak menyentuh secara tepat pada problem empirisisme-idealisme.

Setelah memastikan “ada ekstenal” dan “ada internal,” pertanyaan selanjutnya bagaimana memastikan bahwa “ada eksternal” itu ada tanpa prasyarat atau jaminan apapun dari yang lain (ada internal). Bukankah adanya semesta ini karena ada manusia yang mempersepsinya sebagai ada. Tanpa subjek yang memikirkan, kemungkina semesta bisa dua: “ada eksternal” ada atau tiada? Maka yang absolut internalitas, ini mengafirmasi cogito ergo sum ala Rene Descartes. Lantas bagaiman yang ekternal material bisa absolut? Pertanyaan ini akan dijawab di pembahasan selanjutnya. 
    
Jejak (Trace) Dialektika

Dialektika sebenarnya bukanlah barang baru dalam dunia filsafat, zaman Yunani kuno sudah membicarakannya. Herakleitos (535-475 SM) adalah salah satu dedengkotnya. Dia menyatakan bahwa kontradiksi adalah imanen dalam alam semesta (unity of opposite). “Kontradiksi bersemayam dalam setiap “hal ada” dan inilah yang menjadi penyebab segala perubahan.”[4] Segala sesuatu beropposisi biner: siang-malam, laki-laki-perempuan, tua-muda dst dan karenanya memungkinkan unitas (unity) bukan singularitas ala Permedian, mazhab Elea dan jajaran Monis lainnya. 

Dengan demikian tidak ada yang konstan dalam semesta, semuanya dinamis dan berubah. Diktumnya yang terkenal yaitu “seseorang yang turun ke sungai tidak akan menyentuh air yang sama dua kali.” Dan sebab itu kehidupan di alam ini terus berlanjut.

Dialektika menemukan momentumnya yang terakbar ditangan GWF Hegel, filsuf mashur asal Jerman (1770-183). Dia merumuskannya dengan lebih bernas, baginya kenyataan adalah sebuah proses dialektika. Dialektika berarti segala sesuatu hanya benar apabila dilihat dalam keseluruhan hubungannya, yaitu hubungan negasi. Maka, “pengetahuan adalah proses dimana objek yang diketahui dan subjek yang mengetahui saling mengembangkan (menegasikan), sehingga tidak pernah selesai satu sama lain.”[5] Ini berarti bahwa pengetahuan adalah proses yang tak berkesudahan (on going process), dimana apa yang kita ketahui hari ini akan disangkal (dinegasikan) oleh pengetahuan besok yang lebih baru. Dan pengetahuan besok akan disangkal lagi oleh pengetahuan hari berikutnya (lusa). Yang terjadi adalah negasi atas negasi yang tak berkesudahan.

Namun demikian, setelah dinegasi, suatu pengetahuan lama bukan berarti salah, melainkan berada dalam cahaya pengetahuan yang baru. Negasi-negasi itu diangkat ke jenjang yang lebih tinggi, yang disebut dalam istilah Jerman aufgehoben. Menurut Budi Hardiman, aufgehoben berarti diangkat dan bukan peniadaan atau pembatalan, melainkan dua negasi yang beropposisi diangakat ke taraf yang lebih tinggi dan kebenaran dari kedua negasi masih dipertahankan.[6]  


Dengan demikian memungkinkan adanya triadik: tesis, antitesis, dan sintesis. Contoh sederhanya yang sering dipakai: Pulau adalah tanah (tesis), tidak betul karena Cina juga tanah tetapi bukan pulau, pulau bukan tanah melainkan air (antitesis). Pulau itu bukan air, melainkan tanah yang dikelilingi air (sintesis). Dalam contoh ini “kebenaran pulau” melalui proses dua kali negasi.

Hegel melihat alam tidak hanya real tetapi juga sebagai roh atau yang absolut. Untuk sampai pada dirinya, roh harus mengojektifikasi diri dalam alam, alam merupakan alienasi dari roh. Alam menjadi sesuatu yang memungkinkan kesadaran manusia. Dengan demikian pengetahuan manusia adalah pengetahuan akan yang absolut. Ajaran ini yang membuat Hegel masuk dalam pemikir idealisme, yang berarti tindakan manusia ditentukan oleh kesadarannya akan yang absolut. Tetapi, menurut Martin Suryajaya, idealisme Hegel tidak hanya soal kesadaran menentukan hasil produksi dan segala peradaban manusia, tetapi menambatkan argumen dasarnya yaitu “relasi internal”. 


Doktrin ini melihat identitas atau esensi dibentuk oleh kaitannya dengan yang lain. Dan hukum ini berlaku universal pada semua benda apapun. Misalnya, mengatakan buku bukan pulpen, berarti pulpen hadir secara negatif dalam buku (negativitas internal). Relasi buku dengan pulpen bersifat menentukan bagi identitas buku. Artinya buku identik dengan dirinya sendiri sejauh ia identik dengan relasinya pada yang lain. Pola konstitusi demikian terjadi pada semua hal. Setiap positivitas senantiasa ada negativitas.

Namun, negativifitas internal ala Hegel mensyarakatkan positivitas mutlak yaitu sesuatu yang tak lagi membutuhkan negativitas, dan ia adalah materialisme objektif itu sendiri, yang selanjutnya menjadi dasar inti kritik Marx atas Hegel. Jika segala sesuatu berkorelasi maka harus ada yang a-korelasi agar korelasi menjadi bermakna. Disini kita mulai membuka batas idealisme, dan batas itu adalah realisme dimana Marx mengembangkan kritik epistemologinya[7]. 
       
Epistemologi Marxian

Menurut Listiyono, sebenarnya tak ada karya Marx yang secara khusus membahas soal epistemologi, tetapi secara implisit dari keutuhan filsafatnya menyiratkan konsep pengetahuannya. Terlebih setelah masuk dalam materialisme dialektis dan kritiknya atas idealisme Hegelian. Listiyono secara sederhana meletakkan materialisme dialektika Marxian dalam arti semata-mata dialektika yang bersandar pada materi. Dia memulai dari mendefinisikan materialisme sebagai teori yang memposisikan materi sebagai unsur dasar yang membentuk alam, dan bahwa kesadaran manusia dan segala bentuk psikologis yang menempel padanya dibentuk oleh mode materi.[8] 


Lantas, dia menarik materi ini ke dalam dialektika, bahwa dialektika adalah satu kesatuan dari segala hal yang berlawanan (relasi interanal: positivitas dan negativitas) yang bersifat materi. Dengan demikian, prinsip ini menolak prinsip ontologis dialektika Hegelian yang berkesan mistik dan bernuansa rohaniah. Marx ingin membalik bahwa pemahaman dialektika idealisme (kontradiksi dan relasi internal) hanya terdapat dalam pikiran dan dunia yang abstrak, bahwa dialektika adalah sesuatu yang bersifat empiris nyata dalam alam dan dapat diteliti secara ilmiah. Dengan begitu Marx menegaskan bahwa hal-hal yang roh (kesadaran) itu muncul karena dialektika materi. Dialektika itu nyata dalam kehidupan keseharian bermasyarakat, sebagaimana ditulis Marx dalam Manifesto Partai Komunis bahwa:

“Sejarah semua masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain.”[9]

Pernyataan lain yang secara implisit bisa dikutip sebagai dialektika misalnya:

“Sudah sejak berpuluh-puluh tahun sejarah industri dan perdagangan hanyalah sejarah pemberontakan tenaga-tenaga produktif modern melawan syarat-syarat produksi modern, melawan hubungan milik yang merupakan syarat-syarat untuk hidup bagi borjuasi dan kekuasannya.”

Sampai disini Marx resmi menjadi antitesis dari dialektika Hegelian, dan secara perlahan merobohkannya. Dalam Naskah-Naskah Ekonomi dan Filsafat 1844, secara tegas Marx menyebut bahwa filsafat Hegelian melihat hakikat manusia setara dengan kesadaran diri. Karena itu, setiap perenggutan hakikat manusia tidak lain sebagai alienasi kesadaran diri. Namun sayang, Hegelian menambatkan alienasi itu pada pikiran. Padahal alienasi yang sesungguhnya, bagi Marx, adalah manifestasi dari alienasi itu sendiri yang kemudian menyebabkan internalisasi ke dalam kesadaran diri. Marx menyatakan:

“Orang yang menguasai keberadaan hakikinya hanyalah kesadaran diri yang menguasai hakikat-hakikat objektifnya. Oleh karenanya, kembalinya objek ke dalam dirinya adalah pemilikan kembali objek itu sendiri.”[10]

Sampai disini, teori relasi internal Hegelian, bahwa positivitas sekaligus negativitas ditolak mentak-mentah. Artinya kontradiksi internal itu hanya mungkin dalam pikiran, tetapi tidak mungkin dalam realitas nyata. Bagaimana bisa kita menyebut buku sekaligus pulpen atau pria sekaligus wanita, pernyataan ini tidak memiliki acuannya dalam realitas. Dalam pandangan Aristoteles, kontradiksi internal ini menyalahi prinsip logika lainnya yaitu non-identitas. Sehingga mustahil terjadi dalam realitas. Dengan kata lain Marx mengajak kita pada batas akhir idealisme yaitu realisme itu sendiri.  


Kerangka materialisme dialektis ini membawa konsekuensi epistemologis bahwa segala sesuatu atau segala bentuk pengetahuan harus dikonstitusi melalui materi secara dialektis. Dengan kata lain bahwa pengetahuan manusia diperoleh melalui proses yang objektif-material. Dan khasnya adalah kenyataan objektif ini berada dalam situasi yang dialektis satu sama lain yang justru memungkinkan lahirnya pengetahuan. Pada titik ini Marx tegas menyatakan bahwa bukan kesadaran yang membentuk kehidupan manusia, melainkan hidup itu sendirilah yang menentukan kesadaran manusia.

Dasar Logika Materialisme

Sampai pada gagasan diatas, rasanya cukup untuk mengerti secara sederhana epistemologi dan kritik epistemologi Marx atas Hegelian. Tapi mari jangan berpuas diri, kita perlu mengorek lebih filosofis kelahiran materialisme dialektis Marx. Karena jika ditelisik lagi dasar materialisme dialektis tidak sesederhana itu. Artinya ada alasan yang lebih mumpuni untuk menjangkarkan materialisme sebagai dasar ontologis dan epistemologis. Kita akan mulai dengan pertanyaan dasarnya yaitu bahwa bagaimana tanpa kesadaran (subjek) yang objektif (semesta) itu bisa “ada”. Bukankah tanpa subjek yang mengetahui, keber-ada-an semesta ini memiliki dua kemungkinan: “ada” dan “tiada”. Karena memang, meminjam bahasa Martin Heidegger, hanya manusia (subjek/dasein) yang membicarakan yang ada.

Dua kemungkinan tersebut muncul, menurut Martin Suryajaya, karena subjek tidak mengeta-huinya. Misalnya, saat kita tidak berada dalam ruangan ini, bisakah kursi-kursi ini kita sebut ada atau tidak ada, maka jawabannya jelas bisa “ada” dan “tidak ada”. Jika demikian lantas bagaimana Marx berpijak pada materi (eksternalitas) sebagai dasar teori epistemologisnya. Artinya bagaimana Marx memastikan yang objektif itu “ada”. Dalam hal ini, mestinya, Marx tidak serta merta berangkat dari kenyataan sejarah bahwa proses produksi mengubah pola hidup dan pengetahuan manusia. Ada yang lebih mendasar dari itu, dan ini sekaligus menjadi kritik filosofisnya terhadap Hegelian dan siapapun yang berhenti di ranah roh-idealisme.

Dalam menjelaskan ini saya akan mengutip tiga tahap renungan Martin Suryajaya. Ini sekaligus sebagai logika mencapai yang eksternal. Perenungan pertama seperti dijelaskan diatas bahwa jika subjek tidak ada, maka yang ekstenal bisa “ada” dan “tiada.” Artinya keberadaan eksternal mungkin tidak mensyaratkan keberadaan subjek, juga mungkin mensyaratkan keberadaan subjek. Yang kedua, bagaimana jika yang eksternal tidak ada, artinya semesta, tata surya, beserta hiruk-pikuk sejarah dan peradaban tidak ada. Maka tentu konsekuensinya manusia akan terjatuh dan entah berada dimana. 


Sebagaimana kita tidur dalam rumah lalu rumah itu menghilang. Jika semesta “tidak ada” maka manusia (subjek) juga “tidak akan ada.” Lantas bagaimana subjek tahu akan ketiadaannya tanpa yang eksternal? Bisa kita korek kembali dari perenungan kedua bahwa eksternalitas ada yang tidak esensial terhadap keberadaan subjek. Jika papan tulis, kursi, mobil dst tidak ada, maka tidak akan ada berpengaruh terhadap keberadaan subjek. Tetapi apabila tidak ada air atau makanan, maka secara perlahan subjek akan mati (tiada), dalam proses kematian itu subjek dapat mengamati secara sadar bahwa tanpa yang eksternal, subjek tiada.

Tahap ketiga adalah mengamati relasi biologis berupa respirasi (pernafasan), bahwa keberadaan oksigen tidak mensyaratkan adanya relasi respirasi dengan subjek. Subjek bisa saja mengintuisikan menangguhkan keberadaan oksigen (bisa makanan dan minuman), tetapi intusi penangguhan oksigen ini tidak akan mengubah fakta bahwa pada saat subjek mengguhkan oksigen dan makanan, dia akan mati (tiada). Maka kebenaran bahwa “tanpa oksigen subjek akan turut tiada” tidak dihasilkan oleh intuisi. Ia ada secara independen. Dengan begitu subjek sampai pada materialitas eksternal absolut yaitu keberadaan oksigen niscaya tanpa keberadaan subjek[11]. Inilah yang menjadi dasar materialis secara logis-filosofis, bahwa yang eksternal itu absolut, sebagaimana epistemologi membutuhkannya, dan material.

Tak Sekedar Epistemologi

Setelah menangkap materi sebagai eksternal absolut, kita mencoba mengelaborasi Marx dalam ajaran materialismenya, sebagaimana dituang dalam Jerman Ideologi bahwa perkembangan masyarakat ditentukan oleh relasi materialnya, sebagaimana dia merumuskan tahapan masyarakat mulai dari primitif, feodal dan kapitalis (dan rencananya komunis). Semua tahapan itu dasarnya adalah relasi material berupa baik apa yang mereka produksi serta dengan apa mereka memproduksinya. Dengan demikian:

“Produksi ide, konsepsi, kesadaran (pengetahuan), pada mulanya berkaitan langsung dengan aktivitas material dan hubungan material manusia−bahasa kehidupan yang nyata. Pemahaman, pemikiran, dan hubungan mental manusia pada tahap ini tampil sebagai akibat langsung dari prilaku material mereka.”[12]

Selain itu, menurut Nur Sayyid Santoso Kristeva, materialisme dialektis Marx tidak sekedar memahami ada keterasingan manusia dalam relasinya dengan materi. Namun juga bagaimana mengubah keterasingan itu menjadi keadilan. Pada poin ini materialisme Marx berbeda dengan materialisme Ludwig Feuerbach, yang hanya berhenti pada analisis bahwa manusia teralienasi oleh keyakinan metafisisnya (agama). 

Untuk itulah Marx menegaskan dalam Theses on Feuerbach khususnya thesis ke sebelas bahwa “para ahli filsafat hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, tetapi persoalan sebenarnya adalah bagaimana mengubahnya.” Dengan demikian jelas bahwa epistemologi materialisme dialektis tidak hanya untuk memahami keterasingan tetapi bagaimana menghapuskan keterasingan. Filsafat tidak hanya untuk mengerti adanya ketidakadilan, penindasan, korupsi, nepotisme dan segala bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya, melainkan yang terpenting adalah bagaimana memerangi itu semua.[13]

Penutup   

Epistemologi kiri pada dasarnya adalah pengetahuan yang menonjolkan semangat perlawanan terhadap kenyamanan dan gigantisme kekuasaan. Epistemologi kiri menyediakan piranti analisa yang khas untuk kemudian diterjemahkan dalam bentuk perlawanan konkrit. Marxisme dengan bentuknya materialisme dialektika adalah salah satu bentuk aliran filsafat yang mengawali secara serius dan detail tentang bagaimana epistemologi kiri lahir dan ditempatkan. Dengan begitu harapan kita setelah mengerti kerangka epistemologi kiri dapat menggunakannya tak sekedar epistemologi untuk mengetahui tetapi bagaimana melakukan tindakan praktis nyata untuk perubahan.  (tulisan ini pernah dimuat di Ragepublic.com, dimuat lagi untuk tujuan pendidikan).

#filsafatmazhabkepanjen

[1] Disampaikan dalam sekolah epistemologi kiri STF Al Farabi Kepanjen.
[2] Ada yang menjelaskan istilah kiri berasal dari tempat duduk legislatif dari kaum republik yang berada disisi kiri saat menentang rezim sewenang-wenang Prancis. Karena kiri diidentikkan dengan “melawan”. Tetapi rupanya, istilah kiri terus dinamis dengan segala bentuknya, dengan begitu tak bisa lagi direduksi ke dalam konteks sejarah sempit itu.  
[3] Listiyono Santoso dkk. Epistemologi Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia. 2014., hal 16
[4] Budiono Kusumo Hamidjojo. Filsafat Yunani Klasik: Relevansi Untuk Abda XI. Jogjakarta: Jalasutra. 2012., hal 62
[5] F Magnis Susesno. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1999., hal 56
[6] F Budi Hardiman. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka. 2007.,hal 181
[7] Martin Suryajaya. Materialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Jogjakarta: Resist Book. 2012., hal 9 
[8] Listiyono Santoso. Epitemologi Kiri., hal 39
[9] Karl Marx & Friedrich Engel. Manifesto Partai Komunis (diterjemahkan DN Aidit). Jogjakarta: Cakrawangsa.2014., hal 35
[10] Karl Marx. Naskah-Naskah Ekonomi dan Filsafat (diterjemahkan oleh Ira Iramanto). Jakarta: Hasta Mitra.1998., hal 156
[11] Martin Suryajata. Materialisme Dialektis., hal 336-338
[12] Karl Marx & Frederick Engel. Ideologi Jerman (jilid I: dialihbahasakan oleh Nasikhul Mutamanna). Yogyakarta: Pustaka Nusantara. 2013., hal 17-18.
[13] Nur Sayyid Santoso Kristeva. Negara Marxis dan Revolusi Proletariat. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2011., hal 183

Post a Comment

0 Comments