Filsafat Itu Maskulin?


Oleh: Herlianto A
Sumber: fotolia.com

Apa yang Anda hipotesiskan begitu mengikuti kajian filsafat ternyata yang hadir mayoritas adalah laki-laki? Sekilas kita berpikir bahwa filsafat cenderung maskulin. Kita memang bisa menghadirkan lebih banyak fakta lagi di mana seolah maskulinitas erat dengan filsafat.

Sejarah filsafat sejak Yunani 6 SM hingga hari ini, yang disebut filsuf itu mayoritas adalah laki-laki. Memang dalam sejarah filsafat kita menemukan filosof perempuan namun dalam jumlah yang sangat sedikit. Artinya secara hitungan “demokratis” maskulin yang wakili oleh laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan.  

Kita coba bandingkan dengan beberapa bidang ilmu lainnya. Kalau Anda, misalnya, masuk di dalam kampus di jurusan pendidikan maka mayoritas mahasiswanya adalah perempuan, atau masuk di jurusang linguistik maka mayoritas juga perempuan. Bahkan di dunia Barat linguistik diidentikkan dengan feminim.

Tetapi, pada bidang-bidang lain misalnya teknik atau hukum biasanya dihuni oleh mayoritas laki-laki. Artinya, beberapa bidang keilmuan itu bernuansa maskulin atau feminin. Dan termasuk di dalamnya filsafat yang lebih dekat pada maskulin ketimbang feminin.


Lalu apa persoalannya? Baiklah. Jika kemudian maskulin lebih dekat pada laki-laki dan feminim pada perempuan, maka berarti filsafat bias gender. Karena secara tersirat filsafat memperuntukkan dirinya bagi laki-laki ketimbang perempuan, walaupun tidak ada larangan bagi perempuan untuk belajar filsafat. Tetapi apakah memang demikian?

Jika membahas maskulinitas dan femininitas kita akan masuk pada beberapa karakter yang menjadi pembeda antara keduanya. Salah satu perbedaan yang sangat mencolok adalah bahwa maskulinitas lebih menonjolkan sisi rasionalitas sementara femininitas lebih menonjolkan rasa atau perasaan. Di sisi lain, filsafat juga memiliki kekhasan rasional karena itu cocok dengan maskulinitas. Saya kira sampai di sini tidak ada persoalan.

Tetapi apakah sisi maskulinitas itu hanya ada pada manusia berjenis kelamin laki-laki, ini persoalan. Karena bukankah proposisi umumnya yaitu “manusia adalah mahluk rasional” dan bukan “laki-laki mahluk rasional”, artinya semua manusia memiliki aspek rasionalitasnya termasuk yang berjenis kelamin perempuan.

Otak dan hati diberikan pada laki-laki dan perempuan, dan bukan dipilah untuk salah satunya. Dengan kata lain, maskulinitas dan femininitas adalah dua kecenderungan yang ada pada manusia baik laki-laki atau perempuan. Tetapi kemudian memang konstruksi sejarah dan kebudayaan melakukan pembagian seolah maskulinitas itu adalah laki-laki dan femininitas itu adalah perempuan. Keduanya dilokalisir sedemikian rupa, sehingga tertutup upaya-upaya tafsir yang berbeda.

Bahkan beberapa tradisi tidak memiliki konstruksi feminin dan maskulin (jamal dan jalal). Itu misalnya dilihat dari bahasa yang digunakan untuk menjelaskan dua konsep itu. Misalnya, bahasa Indonesia tidak memiliki padanan untuk maskulin dan feminin tetapi langsung mengacu pada “laki-laki” dan “perempuan”.

Padahal, “laki-laki” dan “perempuan” adalah penanda kelamin antara penis dan vagina bukan kemaskulinan dan kefemininan. Dalam bahasa Inggris misalnya padan dengan kata “male” dan “female” bukan maskulin dan feminin. Dengan demikian, sebetulnya identitas maskulin pada laki-laki dan feminin pada perempuan adalah kategori historis dan tradisi.

Keduanya dibentuk melalui proses sejarah di mana perempuan menempati posisi yang tidak diuntungkan. Bahkan pendidikan dianggap tidak wajar diberikan pada perempuan. Hingga akhirnya sebagaimana kita menyadari pejuang-pejuang kesetaraan gender memberikan kontribusi.  

Akhir kata, hubungannya dengan filsafat adalah bahwa filsafat tetap maskunin coraknya tetapi bukan berarti filsafat hanya untuk laki-laki dan perempuan, karena maskulinitas atau sisi rasional itu ada pada semua manusia baik laki-laki ataupun perempuan. Pendeknya, filsafat tetap dibutuhkan oleh laki-laki atapun perempuan.
   

Post a Comment

0 Comments