Prabowo Presiden, Orde Baru is Back?

Oleh: Herlianto. A

Prabowo Subianto. Foto/dok

Mazhabkepanjen.comApakah Orde baru akan kembali jika Prabowo jadi presiden? Menjadi pertanyaan banyak orang, atau tepatnya kekhawatiran banyak orang. Bahkan orde baru is back tak hanya bacaan pengamat di Indonesia, pengamat asing juga punya kekhawatiran itu.

Salah satunya misalnya, pakar dari Council  Foreign Relation Joshua Kurlantzick. Dia mengatakan bahwa jika Prabowo jadi presiden maka akan menghancurkan demokrasi Indonesia? Benarkah demikian, kita akan membahasnya.

Mula-mula kita akan membahas pendapat tiga pakar politik Asing yang meyakini bahwa demokrasi Indonesia akan rusak bila Prabowo jadi presiden. Pertama, Joshua Kurlantzick. Dia mengatakan bahwa potensi besar otoritarianisme Prabowo karena karena mantan menantu Suharto itu adalah bekas tentara dan punya kedekatan dengan tentara.

Baca Juga: Keberanian dan Kelicikan dalam Filsafat Machiavelli

Dia meyakini bahwa Prabowo akan banyak memasukkan unsur tentara di struktur kepemimpinannya nanti jika jadi presiden. Belum lagi misalnya, Prabowo ingin menghapus pemilihan langsung di daerah pada tahun 2014 melalui rancangan UU Pilkada.

Kemudian, profesor politik Asia tenggara dari National War College di Washinton bernama Zachary Abuza, juga punya kekhawatiran yang sama. Bahwa akan banyak militer yang masuk terlebih UU ASN membolehkan militer menjabat di posisi jabatan sipil tertentu. Itu yang kita lihat misalnya, kemarin yang ramai itu Basarnas, lembaga sipil  yang dipimpin oleh militer.  

Jadi kekhawatiran dua pengamat ini adalah kembalinya dwi fungsi ABRI, sekarang berarti dwi fungsi TNI. Kemudian, analis Asia Tenggara dari perusahaan intelijen Verisk Maplecroft bernama Laura Schwartz, juga menyatakan yang sama. Yang menarik dari ketiga pengamat ini, punya keyakinan bahwa persoalan HAM tidak akan selesai di Indonesia.

Baca Juga: Filsafat Politik Al Farabi

Ini jelas kaitannya yang sering dituduhkan banyak orang bahwa Prabowo dianggap menjadi aktor penculikan aktivis 1998 melalui tim yang dibentuk Kopassus, yang kita kenal tim Mawar. Sehingga dia harus diberhentikan dari militer.

Tapi pertanyaannya masih sama, benarkah Prabowo akan otoriter jika jadi presiden sebagaimana Suharto di era Orde Baru, yang mana banyak orang tak mau mengulangi sejarah kelam masa lalu itu?

Pertanyaan itu akan membawa kita pada bagaimana sebenarnya reformasi? Apakah reformasi itu sosok, dalam arti berubah sosok di kepemimpinan atau berubahnya sebuah sistem. Dua hal ini menurut saya berbeda.

Secara sosok saya kira reformasi gagal, bukan gagal, belum berhasil. Karena yang ada di pucuk kepemimpinan adalah alumni orde baru semua. Apalagi nantinya Prabowo jadi presiden, berarti mereka balik lagi.

Tetapi secara sistem, saya kira berubah. Misalnya, pemilihan umum sudah dilakukan secara langsung, yang itu tidak pernah terbayangkan di era orde baru. Kemudian ada KPK dan MK, itu juga tidak terbayangkan di era Orde Baru.

Kalau reformasi itu adalah sistem yang demikian, mungkin agak susah juga untuk menjadi otoriter, perlu banyak perubahan pada sistem yang memungkinkan seseorang memimpin secara otoriter.

Tetapi apakah itu mungkin? Ya mungkin saja. Karena kekuasaan selalu punya cara untuk mengubah keadaan. Dulu mungkin kita tidak pernah membayangkan bagaimana bisa dinasti politik terjadi era awal-awal reformasi. Tetapi ketentuan bisa diubah macam-macam, akhirnya dinasti itu mungkin. Jika mengacu pada ini, bukan tidak mungkin Prabowo mengerek negeri ini ke rezim otoriter lagi.

Makanya itulah mungkin yang mendasari Aksi Kamisan menolak Prabowo jadi presiden. Aksi Kamisan ini adalah para aktivis yang peduli kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang sampai saat ini belum ada keadilan bagi keluarga korbannya.

Jadi, menurut saya, jejak kasus HAM akan terus menghantui Prabowo di sepanjang kepemimpinannya sebagai Presiden. Anda mungkin menganggap itu sudah kasus lama yang selalu dimunculkan, memang benar karena belum terselesaikan. Minimal nasib para korban aktivis 98 yang hilang itu ketahuan ada di mana, masih hidup atau sudah mati.

Memang pembelaan atas catatan sejarah kelam ini juga ada. Misalnya Hasan Nasbi yang sering memberikan pembelaan itu. Dia membandingkan dengan Sukarno yang juga dianggap punya catatan kelam, pernah menjadi mandor pengiriman orang Indonesia sebagai pekerja Romusha ke Singapura. 

Tapi mungkin bedanya, itu diakui oleh Sukarno kalau kita baca auto biografinya, Penyambung Lidah Rakyat.  Persoalannya apakah Parbowo mau mengakui sebagaimana Sukarno mengakuinya dan meminta maaf.

Yang lagi ramai saat ini, ada upaya mendorong Prabowo dengan mantan istrinya, Titik Suharto, untuk rujuk. Dijodohkan lagi, muncul tagline di medsos dipisahkan mertua disatukan rakyat. Ini jika benar rujuk, menarik. Pasalnya, negara beberapa kali sengketa dengan anak-anak Suharto untuk rebutan aset negara yang masih dimiliki oleh mereka.

Misalnya, mulai dari penyitaan TMII pada tahun 2021 lalu, penyitaan Gedung Granadi dan villa sebagai aset yayasan Super Semar pada tahun 2018.  Nah ini nanti kira-kira bagaimana Prabowo akan memosisikan diri jika penyitaan-penyitaan seperti terjadi?

Namun demikian, jika hukum ditegakkan dengan baik. Produk-produk hukum reformasi dijalankan, sistem bernegara tidak dirusak, mungkin saja Prabowo akan memimpin lebih baik daripada mertuanya di era orde baru.

Post a Comment

0 Comments