Mahfud MD, Cawapres yang Disikat Bansos

Oleh: Herlianto. A

Prof Mahdu MD, cawapres asal Madura. Foto/dok

Mazhabkepanjen.com - Begitu suara Mahfud MD dan Ganjar tercecer di Pilpres 2024, banyak orang yang mengatakan eman sekali Prof Mahfud. Dia dianggap salah circle. Anggapan ini muncul dari treck record Prof Mahfud yang selama ini ditunjukkan, dia punya keberanian dan kejujuran dalam konteks bernegara yaitu penegakan hukum.

Tapi kali ini dia kurang beruntung, dalam politik atau tepatnya kontestasi merebut kekuasaan tidak cukup bermodal keberanian dan kejujuran saja. Perlu ada hal-hal di luar itu yang harus dipersiapkan.

Sejauh ini perolehan suara Ganjar-Mahfud masih posisi buncit. Yang agak miris, perolehan suara Mahfud di Madura sebagai tanah kelahirannya, bahkan mungkin tanah yang sering diperjuangkan.  Di Madura, di semua kabupaten, di empat kabupaten, Kabupaten Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan, suara Mahfud MD ada di posisi buncit semua.

Baca Juga: Prabowo Presiden, Orde Baru is Back?

Mengapa sedemikian tragis, kita akan membicarakannya dalam kesempatan ini.

Mahfud Cetak Sejarah

Mula-mula saya harus mengatakan bahwa Mahfud MD berhasil mencetak sejarah menjadi satu-satunya orang Madura yang berhasil menjadi wakil calon presiden Indonesia, walaupun belum berhasil. Prof Mahfud satu dari sekian orang Madura yang spesial dalam ketatanegaraan Indonesia.

Bukan hanya dia seorang ahli tata negara, tetapi dia punya pengalaman menjadi menteri bolak-balik mulai dari era Gus Dur, DPR, ketua Mahkamah Konstitusi juga pernah (trias politika lengkap). MK yang melambungkan namanya, karena saat itu dia membuat keputusan-keputusan penting, salah satunya yang saya ingat adalah bisa nyoblos cukup dengan KTP.

Rentetan prestasi ini, saya belum pernah menemukan berhasil diraih oleh orang dari Madura, kecuali Mahfud MD. Saya ingin mengatakan bahwa apa yang dialami Mahfud ini, bahwa dalam merebut kekuasaan tidak cukup hanya dengan modal kejujuran. Sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan selalu butuh tumbal.

Termasuk peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, ada peristiwa 65 yang lukanya masih perih sampai hari ini. Begitu juga, ketika Suharto harus lengser 1998 darah kembali tumpah. Atau sedikit mundur, Amangkurat I mempertahankan kekuasaannya dengan membunuh banyak para tokoh agama.

Amangkura II dengan memberikan hampir separuh tanah kekuasaannya pada VOC agar membantu menangkap pangeran Trunojoyo dan membunuhnya. Sri Sultan Hamengkubowono ke V dibunuh oleh istrinya sendiri dalam suatu gejolak kekuasaan yang kemudian menjadi suatu misteri. Atau kalau mau jauh lagi ke 2.400 tahun lalu.

Era kemunculan demokrasi itu sendiri yaitu di Athena, Yunani. Ternyata sudah menumbalkan seorang bijak, bernama Sokrates. Begitulah politik untuk kekuasaan itu. Yang kemudian ditangkap dengan baik oleh seorang filsuf awal abad Modern, Nicollo Machiavelli. Bagi dia bahwa realitas politik akan menghalalkan apa pun demi meraih kekuasaan.

Baca Juga: Filsafat Politik John Locke

Mungkin banyak tidak setuju dengan itu, karena di atas politik masih ada kemanusiaan, katanya. Tetapi faktanya sejarah tentang kekuasaan adalah sejarah penumbalan, kejujuran dan kebenaran seringkali kalah di hadapan kekuasaan. Makanya ada istilah “segenggam kekuasaan lebih berarti daripada sekeranjang kebenaran”. Inilah mungkin mengapa dinamisme kekuasaan selalu erat dengan penumbalan dan darah.

Tumbal Kekuasaan

Pertanyaanya, di Pemilu 2024 ini apa yang ditumbalkan? Pertanyaan yang sangat menarik? Kalau biasanya yang dijadikan tumbal adalah sapi, kambing atau kerbau, tapi kali ini tumbalnya adalah banteng.

Iya banteng dijagal dan dirobohkan, oleh seseorang yang badannya kurus. Ini bahwa kekuasaan menghalalkan segala cara. Tapi bisa jadi ini suatu keberhasilan bagi aktornya. Secara nurani dan mungkin kebangsaan, ini miris, menyedihkan. Bagimana bisa? begini.

Saya akan kutip pengamat politik Ray Rangkuti. Coba Anda coba bayangkan. Ada orang bukan saudaranya, bukan kerabatnya dan bukan siapa-siapa. Dia datang mau nyalon wali kota, dilayani, lalu mau nyalon gubernur dilayani, presiden dua periode dilayani, menantunya mau jadi wali kota dilayani, anaknya mau jadi wali kota juga dilayani.

Terus habis itu, rumah yang sering melayani ini dibakar. Ini tentu suatu kengerian dalam politik. Walaupun ada yang mengatakan bahwa ada ucapan tuan rumah yang menyakitkan hati dengan mengungkit kebaikannya. Tetapi tetaplah kurang sepadan dengan apa yang telah dia terima dari tuan rumah tersebut. Ini yang kata Ray itu persoalan moral.

Lalu tumbal berikutnya adalah berupa bansos. Bagi-bagi sembako dan uang bantuan. Bayangkan Rp80 triliunan menjelang Pemilu diedarkan, dibagi-bagikan. Ada ujar-ujar, dengan 80 triliun ini, jangankan Megawati, Sukarno dibangkitkan lagi tidak akan menang lawan Jokowi.

Seberapa berpengaruh bansos ini? Dalam psikologi ada istilah ingatan terdekat. Orang yang paling kita ingat adalah orang yang memberi paling belakangan, makanya ada istilah serangan fajar, yaitu uang diberikan menjelang mencoblos.

Di Thailand ada istilah a night barking dog. Ini juga bagi-bagi uang politik di malam sebelum pemilihan, karena di sana di depan rumah orang ada anjingnya, maka saat pembagian uang politik itu banyak anjing yang menggong-gong.

Begitulah bansos itu menjadi senjata. Sedihnya, hanya beberapa hari dari pembagian bansos, harga sembako naik semua. Harga beras mahal, cabai mahal, dst. Bagaimana ceritanya, ya begitulah ceritanya.

Mahfud Md tidak punya kekuatan itu. Bahkan sebagaimana saya katakana di awal, di Madura tempat lahir Mahfud di semua kabupaten kalah. Di setiap kabupaten dimenangkan Prabowo-Gibran, ini berdasarkan real count sementara.

Memang kalau mau kita cek demografi di Madura, kecenderungan keagamaannya kuat, keagamaan dalam frame Nahdlyin atau NU. Sementara PDIP sepertinya agak dikontraskan dengan kondisi demografi ini, makanya pada pemilihan Gubernur Jatim 2019 lalu pasangan PDIP, Puti Sukarno, dan Gus Ipul juga tidak signifikan suaranya di Madura.

Namun demikian di Sumenep Bupati Fauzi diusung PDIP. Artinya, PDIP punya power di sana, selain itu ada sosok Said Abdullah, tokoh PDIP yang kini jadi ketua banggar. Dia adalah tokoh kuat secara politik di Sumenep. Tapi sayangnya di Pemilu kali ini, tak berdaya di Sumenep. Nyatanya, Ganjar-Mahfud di sana kurang bagus perolehan suaranya.

Walaupun banyak yang mengatakan ada anomali, karena perolehan suara partai PDIP tinggi, sementara suara Ganjar-Mahfud anjlok, ada dugaan mesin-mesin non partai yang bergerilya. Ini lagi-lagi di luar nalar kejujuran politik.

Jadi saya harus katakana bahwa politik itu keras Prof Mahfud. Kejujuran dan keberanian memang modal tapi itu bukan segalanya, ada banyak penentu lain, yang mungkin itu bertentangan dengan hati nurani atau bahkan mencederai demokrasi.

Jika benar-benar kalah, saya kira tak ada yang perlu disesalkan. Meminjam bahasa Minke dalam Novel Bumi Manusia, “Anda sudah melawan dengan sehormat-hormatnya.”  

Post a Comment

0 Comments