Peradaban, Filsafat dan Penerjemahan

Oleh: Herlianto. A

Ilustrasi. (Foto: Unplash)

Mazhabkepanjen.com - Saya ingin mengatakan bahwa motor bagi gerak peradaban adalah filsafat atau (ilmu) pengetahuan, sementara salah satu bagian penting dalam filsafat itu adalah penerjemahan (translation). Tak ada perkembangan pemikiran dalam sejarah filsafat dunia yang tidak melibatkan penerjemahan. Bisa dilihat transformasi Yunani ke Islam, begitu juga Islam ke Eropa. Dalam rangkaian ini, berarti, penerjemahan harus dipandang serius dan penting.

Dalam konteks itulah, saya ingin meletakkan hasil terjemahan Achmad Khoiron Nafis (Bung Nafis, saya memanggilnnya) atas buku “Falsafatuna” kaya Baqir Shadr, salah satu pemikir kontemporer dari Irak. Yang diberi sebutan Tarjamatuna (terjemahan kita). Buku Shadr ini memang salah satu buku yang banyak diperbincangkan utamanya bagi pengkaji filsafat Islam kontemporer. Walaupun di Indonesia tidak banyak yang mengkajinya.

Dalam amatan saya, di Indonesia yang serius membincang buku ini adalah JAKFI (Jaringan Aktivis Filsafat Islam) yang berpusat di Rausyan Fikr Yogyakarta, yang biasanya dikaji hingga ratusan sesi. Kemudian, para mahasiswa di STFI Shadra Jakarta. Selebihnya, mungkin saja mengkaji atau membicarakannya dalam “forum amatir” seperti yang pernah teman-teman STF Al Farabi Kepanjen lakukan, di mana di dalamnya termasuk Bung Nafis.

Tidak diketahui dengan pasti, buku yang cukup populer di timur tengah ini, bahkan konon menjadi buku panduan mahasiswa magister filsafat di Iran, justru di Indonesia kalah populer dibanding buku-buku yang ditulis, misalnya Muhammad Arkoun, Abed Al Jabiri, Hassan Hanafi, dst. Tentu saja, jawaban atas persoalan ini perlu melibatkan banyak hipotesa, baik dari sisi kecenderungan filsafat di Indonesia, signifikansi isi buku, bahkan hingga kemungkinan sekte tertentu yang bagi sebagian orang dianggap “tabu”.

Namun dari “diskusi amatir” yang pernah saya lakukan termasuk dengan Bung Nafis, saya melihat buku ini sangat penting, terutama untuk menilik epistemologi Islam di mana yang ilahi menjadi salah satu objek epsitemnya. Memang dalam menempatkan posisi epistemologi ini, Baqir Shadr harus berbenturan dengan tradisi filsafat barat macam Cartesianisme, Kantianisme, Marxisme hingga Humisme yang pengaruhnya sudah sedemikian besar di abad modern.

Dalam menghadapi aliran-aliran besar epistemologi itu, menurut hemat saya, Baqir Shadr cukup mencerahkan menempatkan perbedaan epistemologi Islam sehingga distinct bila dibanding dengan mzahab-mazhab besar itu. Bahkan, Shadr juga mengkritisi aliran-aliran tersebut, namun oleh beberapa pembaca dianggap sudah tidak terlalu signifikan karena kritik yang sama telah bertebaran dilakukan oleh para pemikir barat sendiri.

Tetapi yang khas menurut saya adalah bagaimana Baqir Shadr memformulasi epsitemologi yang tepat sehingga pengetahuan atas yang ilahi dimungkinkan. Ini mirip dengan upaya Kant yang ingin menjadikan yang metafisika sebagai ilmu. Perbedaannya, Kant berangkat dengan mempersoalkan syarat-syarat ilmu pengetahuan, sementara Shadr dengan menggali kekayaan filsafat Islam sendiri, terutama Ibn Sina dan Mulla Shadra.

Dalam hal ini, posisi filsafat Shadr dapat dikatakan memperkuat Ibnu Sina dan Mulla Shadra, dua pemikir Islam yang masyhur, dari sudut pandang pergolakan filsafat kontemporer. Karena itu, pendasaran atas eksistensi (wujud) menjadi salah satu poin mendasar di dalam buku ini.

Hubungannya apa dengan penerjemahan ulang ini Begini, selama ini, kita mendapati dua terjemahan buku Falsafatuna yaitu versi Rausyan Fikr dan Mizan. Dua terjemahan ini diterjemahkan dari versi Inggrisnya “Our Philosophy” yang ditulis Sham C Inati bukan dari versi Arabnya. Rupanya ada beberapa pemadanan istilah yang tidak tepat bila ditilik dari versi Arabnya. Dan itu sangat mengganggu bahkan bisa menyesatkan. Bung Nafis dalam uraian pengantarnya telah memberikan banyak kasus ketidaktepatan penerjemahan itu.

Memang menerjemah itu tidak mudah. Kerja-kerja terjemahan membutuhkan prasyarat, tidak hanya penguasaan atas bahasa (teks) sumber (source language) dan bahasa target (target language) tetapi juga penguasaan atas bidang kajian yang sedang diterjemahkan. Dalam hal ini, penerjemah filsafat tidak cukup hanya menguasai bahasa Inggris atau Arab saja, tetapi juga perlu menguasai filsafat itu sendiri.

Saya beri contoh begini, dan ini salah satu kasus yang ada dalam penerjemahan buku Shadr ini, yaitu kata ‘aradh (Arab) diterjemahkan menjadi accident (Inggris) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kecelakaan (di versi Mizan). Memang dalam kamus, padanan itu ada. Tetapi bukan itu maksudnya dalam filsafat, dan ini fatal menurut saya.

Karena sebetulnya ada padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk konteks filsafat yaitu “aksiden” yang biasanya dilawankan dengan “substansi” (subsatnce, Ingris atau jauhar, Arab). Saya tidak tahu apakah penerjemah dalam hal ini sudah mengenal filsafat atau belum.

Ini hanya satu kasus, padahal Bung Nafis menemukan beberapa kasus, maka urgensi penerjemahan ulang sangat diperlukan terlebih lagi posisi buku Shadr ini bagi para pembelajar filsafat Islam kontemporer. Kendati demikian, kita menyadari sepenuhnya, bahwa buku hanyalah panduan dalam belajar filsafat, karena hakikat berfilsafat bukan seberapa banyak menghafal pemikiran orang melainkan sejauh mana gagasan-gagasan kita diuji secara rasional. Tetapi, panduan yang ditulis dengan penerjemahan yang presisi akan sangat memudahkan pembacanya menyelam di samudra ilmu yang ada dalam buku tersebut.

Namun demikian, penghargaan dan apresiasi yang tinggi tetap perlu diberikan pada penerjemah buku Shadr baik dalam versi Rausyan Firk maupun Mizan. Karena atas usaha merekalah, Bung Nafis tergerak melakukan penerjemahan lagi. Bahkan mungkin terbantu pada beberapa paragraf lain yang telah diterjemahkan dengan padanan yang presisi. Begitulah rangkaian kerja-kerja intelektual utamanya filsafat semestinya bergerak.

Semengat penerjemahan teks filsafat ini perlu terus digaungkan agar buku-buku filsafat kian mewarnai bacaan-bacaan generasi muda yang cenderung malas berpikir dan terjatuh dalam balada pragmatisme yang akut. Sekalipun penghargaan atas penerjemah tidak maksimal di negeri ini. Padahal, sejarah besar filsafat tidak terlepas dari penghargaan yang tinggi pada para penerjemahnya.

Kita bisa lihat penerjemah-penerjemah besar di era Abbsiyah abad 7-8 M, seperti Hunain bin Ishak bersama anaknya Ishak Ibn Hunain yang menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab terutama buku-buku Aristoteles dan buku kadokteran. Konon apresiasi atas penerjemah saat itu, yang dicatat Philip K Hitti, adalah emas yang ditimbang sama berat dengan banyaknya buku yang telah diterjemahkan. Penghargaan yang luar biasa.

Namun demikian, minimnya apresiasi atas kerja intelektual penerjemahan ini tidak seharusnya meluruhkan semangat para pengukir ilmu ini, karena sejatinya kerja-kerja intelektual yang dihayati adalah pelipur lara yang tiada gantinya. Sumbangsih yang akan terus dicatat dalam sejarah filsafat Indonesia bahkan sejarah peradaban itu sendiri.

Semoga buku terjemahan ini, memberi warna yang lebih terang dan indah tentang pentingnya belajar filsafat bagi generasi muda.       

Post a Comment

0 Comments