Pencabulan, Korupsi dan Agama

Oleh: Tim Redaksi

Ilustrasi korban pelecehan sesksual. (Foto: Unplash)

Mazhabkepanjen.com - Ada keheranan di sebagian kalangan ketika melihat geliat pencabulan dan korupsi yang menjerat “kaum suci” di lingkungan beragama. Mengapa mereka yang berlabel suci justru menjadi pelaku kejahatan yang paling bejat? Mana perlindungan yang dijanjikan agama terhadap kejahatan dalam hal ini?

Sebelum membahas, mari kita review kejahatan seksual yang dilakukan oleh beberapa “agamawan”. Yang terbaru dan paling menyayat adalah yang dilakukan Herry Wirawan, predator seks berkedok rumah tahfid. Dia memperkosa 13 santriwatinya dan sebagian ada yang telah melahirkan.

Kita masih bisa menyebut puluhan lainnya kasus pencabulan yang dilakukan agamawan baik dari Islam, maupun agama-agama lainnya.

Begitu juga kasus korupsi, Kementerian Agama menjadi salah satu lembaga terkorup di Indonesia. Dana haji dikorupsi, bantuan sekolah Madin dikemplang, dst. Miris, kementerian agama rupanya jauh dari praktik beragama yang benar.

Pertanyaannya mengapa label agama justru menjadi alat untuk berbuat jahat? Mengapa pengetahuan agama yang dimiliki tidak cukup untuk mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar?

Berangkat dari hakikat manusia. Hobbes memberi jawaban begini bahwa manusia pada dasarnya adalah buruk, banal, pencuri, dan predator. Karena itu, agar tidak mengganggu manusia lainnya mereka perlu diatur. Salah satunya, selain melalui negara, adalah melalui agama.

Jadi sebetulnya, dalam fungsi ini agama untuk mencegah perbuatan buruk manusia. Pencegahannya melalui janji-janji kebahagiaan dan ancaman kesadisan (surga-neraka). Tetapi, pada sebagian komunitas masyarakat mewujudkan pola pencegahan agama ini ke dalam aturan bernegaranya. Karena itu, kadang hukum suatu negara sangat berbau aturan agama tertentu.

Dari pandangan ini, terlihat bahwa agama tidak inherent dalam perbuatan manusia. Ia hanya mendorong secara eksternal, begitu manusia mengabaikannya maka agama tak lagi memiliki kekuatan apapun pada perbuatan manusia. Malah, bisa jadi agama sebagai tabir yang digunakan untuk menyembunyikan kejahatan manusia.

Artinya, ada kehendak atau ego yang menguasai diri manusia. Karena aturan apapun mestinya tidak hanya mengubah prilaku manusia, tetapi lebih dahulu harus mengubah egonya. Jadi yang mengarahkan perbuatan manusia sebetulnya bukan aturan yang berupa syariat ataupun undang-undang melainkan kehendaknya.

Ada jarak yang cukup lebar sebetulnya antara pengetahuan cognitif manusia dengan kehendaknya. Kehendak berkaitan dengan penguasaan diri, sementara inteleksi berkaitan dengan penguasaan luar diri.

Penguasaan diri bisa dilalui dengan terutama penguasaan atas di luar diri. Namun, ini tidak menjamin. Potensi tergelincirnya cukup besar. Karena itu, jalan penguasaan perlu disertakan untuk membentuk perbuatan manusia. Dalam hal ini, moksa dan sufisme menjadi perlu dipertimbangkan.

Moksa dan Sufi, dua jalan dari tradisi agama berbeda tetapi orientasinya sama yaitu membentuk kehendak manusia secara eksternal. Melatih manusia menguasai dirinya. Orang yang sudah berada pada jalan ini sebetunya, untuk mengarahkan perbuatannya tidak lagi perlu aturan dan syariat. Karena sebetulnya aturan-aturan itu justru membuat hidup semakin terkekang.

Dari sini dapat dipahami bahwa sebetulnya pelaku kejahatan oleh “orang suci” itu bukan kekeliuran agama. Tetapi, mereka tidak menguasasi dirinya sehingga segala perangkat suci termasuk agama dijadikan kedok dan modus untuk merealisasikan kebanalan dirinya sendiri.

Post a Comment

0 Comments