Terkuak! Kisah Asmara Agama dan Negara


Oleh: Herlianto A

Ibarat sepasang kekasih, “percintaan” antara agama dan negara mengalami dinamisasi bergelombang, kadang mengharukan, menegangkan, sekaligus mengasikkan dalam sejarah umat manusia. Di jagad Eropa perjanjian Westphalia pada 1945 menandai era baru retaknya rumah tangga agama dan negara sekaligus berakhirnya perang agama (Protestan dan Katolik) yang berlangsung selama 30 tahun dengan sejumlah kehancuran.

Sejak diteken perjanjian itu, batas kedaulatan negara tak lagi ditentukan oleh persebaran pengikut suatu agama, melainkan oleh batas-batas wilayah secara geografis. Kedaulatan negara juga berarti batas teritori suatu negara. Di situlah kedaulatan daerah kekuasaan Belanda dan Konfederasi Swiss diletakkan yang sejauh itu bergejolak.

Dunia mengalami apa yang disebut modernisasi negara, negara-negara kemudian membuat “border” serta mencoba mengubah posisi agama di bawah negara. Berbeda dengan abad tengah, kini agama diatur oleh negara. Inilah sekulerisasi di mana negara dan agama tak lagi sekamar. Masing-masing mendapat surat cerai dan mengurus tugasnya sendiri: yaitu, negara bersentuhan dengan urusan publik keduniawian, sementara agama pulang ke ranah pribadi dan keukhrawiannya.

Sejak abad ke 15 M (renaisance) hingga awal 20 M, kita melihat bagaimana Barat menjadi dirigen suatu simfoni sekulerisasi ini. Pengaruhnya merasuk kemana-mana, tak hanya di bidang ketatanegaraan, tetapi juga berhembus ke lokus-lokus pengetahuan, melalui suatu ikhtiar berlabel ilmiah, Tuhan beserta doktrin agamanya terus dipaksa mundur. Begitulah kalau kita menelusuri gerak epistemiologi dan sosial sejak Descartes hingga Nietzsche.

Semua negara-negara Eropa dan Amerika bersuka cita menyambut pupusnya dominasi Gereja yang berlangsung ratusan tahun sebelumnya. Mereka menemukan kebebasannya dalam hidup, mereka dapat melakukan apa saja tanpa takut pada kutukan agama: lari telanjang, naik sepeda telanjang, dan bentuk kebugilan lainnya. Sssttt…! tetapi, mereka tidak cabul dan tak ada pelecehan seksual.

Retaknya kehidupan asmara agama dan negara juga merembet ke negara-negara timur tengah yang merupakan kawasan Islam. Kejayaan Umayyah dan Abbasiah tak lagi menarik bagi masyarakat muda muslim di sana. Mereka mengutuk dua dinasti ini sebagai monarki absolut yang dosa-dosanya diumbar oleh Farag Fouda dalam buku “Kebenaran Yang Hilang”. Sayang, publik Mesir terburu-buru membunuhnya, dia dibedil pada 9 Juni 1992.

Model monarki peninggalan Islam itu betul-betul habis, setelah Mustafa Kemal Attartuk seperti orang kesetanan mengakhiri tradisi kekhalifahan Ustmaniyah. Tahun 1924 dia merobohkan kekhalifahan Ottoman Turki dengan serangkaian undang-undang, khalifahnya kabur ke Swiss. Pria bergelar “Al Ghazi” itu melakukan werternisasi di mana-mana, orang-orang berlabel ulama dihabisi perannya dalam urusan negara.

Di Iran juga terjadi hal yang sama, Dinasti Qajar juga dirobohkan oleh teman seangkatan Attartuk, Reza Shah Pahlevi, pada 1935 melalui kudeta militer. Kendati demikian para ulama masih diberi peran di ketatanegaraan, tetapi baratisasi juga tetap berlangsung masif. Menurut Akhmad Satori dalam buku Sistem Pemerintahan Iran Modern, sekulerisasi ini dimanfaatkan oleh Amerika dan Inggris menyusup ke dalam kekuasaan rezim Pahlevi. Mereka lalu mandi kekayaan minyak dengan menjadikan Shah sebagai boneka berbienya. Demokrasi yang dipasang adalah demokrasi bebas-sebebasnya, yang ternyata menyebabkan guncangan sosial dan agama dalam negeri.

Dua peristiwa ini merupakan puncak pengaruh besar sekulerisasi Barat ke dalam dunia Islam. Walaupun pada 1932, Ibn Saud memproklamirkan Kerajaan Arab Saudi yang Islamis ala Muhamman bin Abdul Wahab. Negara hasil memberontak terhadap Ottoman itu menganut Islamis (wahabi). Tetapi secara umum dunia Islam takjub terhadap janji manis demokratisasi.

Tak terkecuali di Indonesia, karena itu piagam Jakarta yang awalnya berbunyi “ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “ketuhanan yang maha esa” oleh panitia 9 pada 1945. Di satu sisi ini merupakan penghargaan Islam pada keberagaman, karena A.A. Maramis yang non Islam protes kala itu. Namun di sisi lain, ini menutup format dominasi agama (Islam) atas negara. Artinya Islam tetap diatur oleh negara sebagaimana agama-agama yang lain, jadi secara spirit tetap modernis.

Seiring berjalannya waktu sekulerisasi berlipstik demokrasi dan berbedak kebebasan mendapat banyak kritik. Tak sedikit negara yang berupaya merujukkan kembali agama dan negara, mumpung masih sama duda-janda, meskipun dalam format yang berbeda-beda setiap negara. Ada yang tampak signifikan, juga ada yang tampak minor dan terkesan masih malu-malu. Pada tahun 1979, secara mengejutkan Iran melakukan revolusi Islam, merobohkan rezim sekuler Pahlevi. Dan mengembalikan kemesraan agama dengan negara.

Melalui tokoh revolusionernya, Khumaini, Iran menerapkan konsep wilayatul faqih yang mana tokoh agama mengambil peran penting di atas tiga lembaga trias politikanya: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Wilayatul faqih menjadi semacam lembaga penyelaras atau kontrol terhadap kehidupan bernegara agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip keberagamaan (Islam). Turki dan Mesir juga berupaya mencegah sekulerisasi yang berlebihan, meskipu tidak seperti yang dilakukan Iran, tetapi mereka kembali menggalang romantisme antara agama dan negara.

Di Indonesia gejala-gejala mulai bosan dengan demokrasi sekuler juga sudah mulai tampak. Tetapi bentuknya masih sangat rabun dan malah berbahaya. Seperti upaya penegakan negara khilafah oleh HTI, tak rasional, alhasil gagal. Tetapi label-label syariah kian digenjot, meskipun masih ditunggangi oleh semangat kapitalis.

“Ulama-ulama” berupaya terlibat dalam politik untuk menanamkan nafas Islam dalam bernegara. Namun masih kabus, lantaran tak terkonsep dengan matang. Yang tampak sebatas seperti orang ingin klimaks saja, itulah yang terlihat dalam politik bela “ulama”, dan politik ijtima’ “ulama”. Doa kita bersama adalah semoga ikhtiar yang telah dilakukan menemukan format terbaik bagaimana sebaiknya agama dan negara kelonan di dalam kamar bernama Indonesia.      


"
"