Seutas Benang Silaturrahmi di Medsos


Oleh: Herlianto A
Sumber: setegar-batu-karang.blogspot.com

Gejolak politik sungguh telah membuat kita habis-habisan menguras tenaga untuk mengumbar kebencian, utamanya di media sosial. Jagad maya seperti sedang kebakaran oleh api amarah, sumpah serapah, kebencian dan sederet caki maki lainnya, yang asapnya menggelap sikap toleran kita. Laksana gelombang, kita seakan tak pernah kehabisan alasan untuk menyusun setumpuk makian dan kata-kata jorok lainnya untuk merendahkan orang lain yang tak sepaham, bahkan tak sepilihan.

Aforismenya jadi begini: tak ada kebaikan yang tak bisa dicari keburukannya. Tindakan baik selalu menyisakan sudut pandang buruk yang bisa dieksploitasi seradikal mungkin, atau malah sengaja dicari sudut kejelekannya. Sehingga dapat membalik kebaikan itu bercitra buruk. Itulah sebabnya, tak pernah ada persepsi kebaikan yang diterima oleh semua. Jika dinilai baik dari tinjauan pengetahuan, maka dicari lemahnya dari sudut dalil agama. Jika dipersepsi baik secara agama, maka dicari kelemahannya dibilik ekonomi dan politik, dan begitu seterusnya hingga kebaikan itu betul-betul dikaburkan.

Setelah ustad A membolehkan suatu perkara berdasar argumen dan tafsir kitab sucinya, tak puas lalu dicari ustad B yang tak sepakat dan mengharamkannya atau paling tidak memakruhkannya. Ekonom C setuju dengan pembangunan dan kebijakan ekonomi yang berjilid-jilid, tapi posisinya tak sesuai kebutuhan, maka dicarilah ekonom D yang kontra pembangunan dengan sedikit  memiliki keahlian memaki. Ahli politik E menyatakan bukan pencitraan, namun ditolak karena tak menguntungkan dengan menghadirkan ahli politik F yang menyebut pencitraan, dst.


Masing-masing pernyataan komentar ahli tersebut diolah oleh media cetak, dikutip oleh media online, lalu dikutipan ini dikutip lagi oleh media online yang lain, dst. Media online terkahir kebingungan karena semuax telah dikutip, lalu menggunakan prinsip ATM (Amati Tiru dan Modifikasi) dengan sedikit bumbu kontraversial. Alhasilnya, pendapatn “google adsen”-nya melonjak.

Lalu bagian depan pernyataan dipotong dibuat meme oleh satu kubu, kubu sebelahnya juga memotong bagian belakang. Argumentasi yang panjang ditransformasi menjadi dua-tiga frase bermuatan kebencian. Beginilah gaya bermedsos kita di setiap tahun politik datang.

Perihnya lagi tanpa dipahami, jempol kita begitu mudah tekan tombol share, dengan caption kurang lebih begini: “iniloh faktanya, masih mau memilih si anu?”. Kebencian itu lalu menyebar secara tak terbatas dan menjadi bahan bakar terbakarnya peradaban maya kita.

Beberapa orang yang merasa tidak nyaman lalu memilih “unfriend” atau paling tidak “unfollow” akun tertentu meskipun itu adalah teman baiknya sendiri. Mirisnya lagi, tidak lagi saling sapa dan saling tegur di medsos, hanya karena persoalan perbedaan sosok pilihan yang sebetulnya tak pernah peduli dengan hutang-hutang kita, motor kita disita debt collector, ngopi hanya bisa bawa korek sementara rokok punya teman, kuliah semester 12, dan segala persoalan yang mengkerangkeng tubuh kita. Medsos mendadak menjadi pisau sadis yang tanpa ampun memotong tali persaudaraan. Silaturrahmi hampir terbelah dan kini tinggal seutas benang yang masih tersambung, yang apabila ditarik sedikit lagi maka pertemanan dan silaturrahmi itu benar-benar putus dan sirna.

Belantara medsos yang bertabur kebencian ini sangat disayangkan karena menyelingkuhi semangat awal dibuatnya medsos. Belum pudar diingatan kita dan pendirinya juga masih hidup bagaimana Mark Zuckerberg menceritakan motif mendirikan “facebook”. Bahwa, tak lain hanya ingin memperpanjang dan memperluas pertemanan, persahabatan, dan silaturrahmi. Ada keeratan sosial yang ingin dijaga sekalipun terbentang oleh jarak geografis yang jauh. Tak sedikit orang bertemu dengan kawan lamanya di medsos termasuk dengan jajaran mantannya, ada juga yang balikan dan membina rumah tangga. Tak ketinggalan menjalin bisnis, usaha, dan berbagai relationship positif lainnya.

Namun takdir suatu perkara bak dua sisi koin, tak hanya memiliki kemungkinan baik tetapi juga kemungkinan buruk. Dan itu semua berpulang pada si pengguna akun untuk apa. Tetapi penggunaan yang baik tetap kembali kepada semangat awal lahirnya medsos tersebut. Tak ada satupun medsos yang ada diciptakan untuk tindak keburukan termasuk kebencian, permusuhan, penipuan, dsb. Bias sosiallah yang mengubahnya menjadi buruk, maka jika bias sosial ini melampui ekspektasi awalnya, sudah selayaknya kita kembali ke posisi awal atau kita “uninstall” saja medsos itu.

Terkait silaturrahmi yang hampir putus, masih terbuka ruang bagi kita untuk mengikatnya kembali. Atau menggantinya dengan tali yang lebih kuat dan tahan putus. Mengikatnya dengan mengimbangi komunikasi medsos melalui tatap muka, ngopi bareng, liburan bareng, nongkrong bareng. Silaturrahmi terbaik tetap dengan tatap muka, tak ada umpatan, semua terklarifikasi. Tak ada nuansa anonimous yang menjadi senjata para pengumpat, kita mendengar langsung jawaban dan argumen-argumen teman. Pada akhirnya, perbedaan adalah rahmah, bahkan berkah dan bukan kebencian.

Post a Comment

0 Comments