Najwa Shihab, Kegelisahan Jurnalis

Oleh: Herlianto A
Sumber: piratest.com
Suatu hari ada teman protes lantaran apa yang dilakungan oleh golongannya diberitakan dari angle yang tak diinginkan oleh suatu media tertentu. Dia kemudian memaki-maki wartawan yang meliput kegiatan tersebut. “Wartawan itu emang inginnya merusak. Bad news adalah good news bagi wartawan,” gumamnya pesimis. Cara pandang rekan saya ini menjangkiti sebagian orang yang belum memahami bagaimana suatu berita itu diproduksi, hingga sampai ke hadapannya.

Apalagi setelah melihat berita-berita online belakangan ini yang judulnya saja bikin tangan nggak sabar ngelik, misalnya: Ayu Azhari Dibikin Nggak Bisa Tidur Oleh Pria Ini. Menggoda! Memang salah satu judul yang baik adalah yang membuat pembaca tertarik membaca. Karena itu kadang judul dibuat tidak hanya unik, tetapi juga kontroversial, dan dramatis. Sehingga dengan judul itu, pembaca merasa tergigit untuk melanjutkan membaca. Itu yang membedakan judul karya ilmiah dan jurnalistik. Sepertinya tulisan-tulisan essay online belakangan ini mulai menganut cara ini dalam membuat judul.

Lalu bagaimana dengan berita tadi? Sebelum menjawab pertanyaan ini. Menarik, kiranya, membicarakan sedikit apa yang menimpa jurnalis kondang Najwa Shihab yang belum lama ini menyudahi acaranya “Mata Najwa” dan sekaligus mundur dari Metro TV. Pilihan Najwa ini membuat banyak penggemarnya bertanya-tanya: apa gerangan penyebabnya? Masak iya gajinya kurang besar, sehingga memilih berhenti dan pindah stasiun televisi lain. Saya kira tidak mungkin orang sepenting dia gajinya setara UMR kota-kota tertentu hanya cukup “pipis” dan “kentut”.


Atau ingin memanfaatkan popularitasnya, seperti artis-artis yang sudah tak laku lalu nyalon dewan atau posisi kepala daerah lainnya, bergabung dengan PSI (Partai Solidaritas Indonesia) melengkapi kecantikan dan keanggunan Grace Natali, sang ketua umum. Tentu, alangkah mengasikkannya partai yang baru tumbuh ini, khususnya bagi “mata lelaki”. Ini mungkin saja, tetapi rasanya bukan waktunya bagi Najwa saat ini. Masyarakat masih membutuhkannya sebagai buldoser, dengan pertanyaan-pertanyaan tajam dan menukik, membongkar ketakbecusan pemangku jabatan dihadapan publik.

Ada banyak sepekulasi yang beredar namun yang cukup rasional adalah bahwa terkait tayangan wawancara ekslusifnya dengan Novel Baswedan di Singapura. Beredar isu, Nana, begitu dia disapa oleh para narasumbernya, tidak direstui MetroTV untuk mewawancarai Novel namun dia nekat. Konon keberangkatannya ke Singapura biaya sendiri dan membayar kameramen sendiri. Bahkan liputan ekslusif itu sempat ditolak untuk tayang, yang memicu perdebatan keras di arena redaksi TV berlogo kepala elang itu.

Hal ini, diduga membuat Najwa merasa tak sehaluan lagi dengan TV yang membesarkannya itu dan memilih keluar. Yang pasti pasca tayangan itu, Kapolri (Tito Karnavian) dipanggil Presiden (Jokowi) untuk memastikan kelanjutan kasus Novel yang sudah tak jelas juntrungannya. Di situ, saya kira nikmat yang dirasakan Nana sebagai jurnalis, menjadi juru bicara bagi yang teraniaya dan menginspirasi penegakan keadilan, meskipun pada akhirnya dia harus pergi untuk selamanya dari MetroTV. Tetapi setidaknya, sejarah kewartawanan nasional beserta ingatan kita semua telah mencatatnya, bahwa negeri ini pernah memiliki sosok jurnalis yang sesungguhnya.

Kembali ke pertanyaan di atas, kini menjadi terbuka bahwa berita hadir ke hadapan pembaca tak sesederhana yang dipikirkan. Setelah wartawan dapat berita dilapangan, dia harus mempertanggung jawabkannya di hadapan redaksi. Di situ diputuskan berita akan tayang atau tidak. Dan kemudian, redaktur punya hak mengolah sudut pandang berita sehingga layak tayang dan renyah dibaca. Di sini kadang terjadi mis antara hasil editan redaktur dan draf berita yang ditulis wartawan, dan  kadang membuat narasumber merasa tidak sreg. Jika begitu, tentu bukan kesalahan wartawan semata melainkan juga ada redaktur yang turut bertanggung jawab. Namun, setiap pihak yang dirugikan oleh pemberitaan tertentu juga ada mekanismenya untuk menggugat, yaitu melalui hak jawab dan itu sudah diatur.

Sebagaimana Najwa, dalam menjalankan tugasnya, wartawan kerap kali dihadapkan pada hal-hal yang tidak mengenakkan, keras dan binal. Baik dari perusahaan media pun saat liputan. Kita sering mendengar wartawan dipukuli oleh pihak yang kebusukannya terbongkar, kameranya dirampas, dsb. Ngenes! mengapa sampai sebegitu mempertaruhkan jiwanya, apa yang diharapkan? Dan berapa gajinya? Bagi wartawan nasional mungkin cukup gajinya. Tetapi coba lihat wartawan-wartawan lokal. Mereka hidup berkecukupan, sementara mereka perlu menyiapkan berita 4 hingga 7 berita setiap harinya untuk cetak, online bisa sampai belasan dengan postur berita rata-rata satu engle.

Untuk mendapatkan itu, wartawan perlu menyusuri jalan-jalan dan melakukan investigasi yang tak mudah. Lalu apa yang diharapkan dari pekerjaan yang hanya membuat bos medianya kaya? Tak ada yang diharapkan selainkan panggilan jiwa menjadi bagian dari penyampai kabar yang semestinya diketahui publik. Sesuatu yang ingin ditutupi atas nama kepentingan, materi dan kekuasaan diungkap. Di situ lezatnya yang kadang tak terternilai. Dan hanya wartawan idealis macam Najwa Shihab yang berani bertaruh untuk hal-hal semacam itu.

Wartawan lokal juga tak sedikit yang mempertahankan idealisme demi independensi berita yang akan ditayangkan. Tetapi juga ada “oknum” yang kemudian merusak citra kuli tinta ini. Kita mungkin pernah dengar kesaksian kepala Desa dalam kasus Tosan di Lumajang beberapa waktu lalu, bahwa dana juga mengalir pada oknum wartawan. Memang di situ idealisme wartawan sering mendapati dilema, ketika dihadapkan dengan “amplop” dan kondisi ekonomi yang kurang membaik. Tentu saja pilihan itu berpulang pada setiap diri wartawan. Karena itu, betapa zolim perusahaan media yang menyia-nyiakan wartawannya. Seperti yag dialami puluhan wartawan koran Sindo yang di PHK beberapa waktu lalu.

Kita semua masih berharap, bahwa pers yang disebut salah satu pilar demokrasi dalam negara modern betul-betul begitu adanya. Apa yang dialami Najwa Shihab semoga menjadi inspirasi bagi para generasi yang berniat menjadi wartawan hakiki di negeri ini. Wartawan bukan hanya soal bekerja dan dapat uang, tetapi juga dia ada dibarisan depan ketika ketidakadilan merebak, kesewenang-wenangan melanda sekalipun jiwa taruhannya.   
        



Post a Comment

0 Comments