Fashion Prasangka Seksual


Oleh: Herlianto A
Sumber: 1001topgambar.blogspot.com

Saya mulai dari pertanyaan: apa sebetulnya yang kita tutupi dari pakaian yang kita gunakan? Mula-mula ada dua peristiwa yang ingin saya ceritakan. Pertama, seorang teman perempuan mengungkapkan rasa dirinya begitu melihat laki-laki berpakaian “casual” dan badan cukup tegap. Dia bilang: “wow meleleh bang”. Kedua, seorang teman perempuan lainnya, juga menyatakan rasa dirinya begitu melihat lelaki bersarung, kemeja dan bersongkok nasional (ala Sukarno). Dia bilang: “saya melihat laki-laki bersarung itu gimana gitu ya”. Ada semacam hasrat yang bangkit.


Menurut saya, dua orang perempuan itu sedang menyatakan preferensi lawan jenis yang diinginkannya. Lebih jauh mengungkapkan preferensi hasrat seksualnya. Lebih-lebih mereka belum mengenal lelaki itu, jadi tak ada cinta di situ. Persoalannya, mengapa dua tampilan cowok yang berbeda itu menghasilkan preferensi seksual yang sama atau hampir sama? Padahal yang satu lebih terbuka (auratnya) dan yang satunya lagi jelas menutup rapat (auratnya).

Kasus yang sama mungkin saja terjadi pada kaum lelaki. Sebagian menjadi bersemangat begitu menjumpai perempuan menggunakan pakaian you can see. Hormon testosteronnya meningkat seketika. Tetapi mungkin saja bagi sebagian lelaki lainnya, perempuan semacam itu sama sekali tidak menggoda, malah justru yang bercadar yang membangkitkan gairahnya. Yang membuat mereka ingin segera berada di kamar.

Jadi, bagi para pengamat di atas baik perempuan atau laki-laki, ada rasa diri yang sama begitu melihat lawan jenisnya, yaitu tumbuhnya hasrat seksual. Hanya saja gambaran seksualitas yang diimajinasikan itu termanifestasi dalam aneka rupa tampilan (fashion) yang berbeda pada masing-masing individu.  Tentu saja, imajinasi seksual ini sedikit-banyaknya dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan, tradisi, agama, dan bahkan seni. Inilah yang melahirkan kriteria atau tipe pasangan ideal bagi setiap orang.

Dengan demikian, rupa-rupa fashion yang ada baik you can see, jilboob, daster, hingga cadar sama sekali tidak mengurangi preferensi hasrat seksual lawan jenis. Dibuka atau ditutupnya aurat tetap memunculkan penilaian seksual. Malah, justru semakin mengarahkan imaji binal penilainya pada sasaran yang memang diinginkan. Pengguna cadar menjadi sasaran para penyuka cadar, jilboob bagi penggemarnya, begitu juga pada gaya berpakaian lainnya.

Alih-alih membendungnya, fashion yang dikenakanlah yang justru membangkitkan hasrat seksual. Artinya, apapun model pakaiannya sama sekali tidak menghilangkan prangka seksual pada lawan jenis masing-masing. Atau malah membangkitkan. Itu semua terjadi, karena seksual berawal dari imaji, tidak ada yang bisa mengendalikan atau mengarahkan imaji seorang individu termasuk lebarnya cadar, ketatnya jilboob, dan sempitnya you can see. Jangan dikira setelah bercadar akan aman dari prasangka seksual, tidak saudara!, semua sudah ada segmennya.

Nah, kalau di atas merupakan prasangka dari penilainya, lalu bagaimana prasangka dari sisi pengguna fashionnya? Kaum becadar atau berkopyah boleh saja menggunakan agama sebagai alasan cara berpakaiannya. Dan you can see atau casual dengan alasan kebebasan. Tetapi sebetulnya, yang mereka praktikkan tetap saja kerangka seksual dari ideologi yang dianut itu. Artinya, secara seksual mereka ingin memprasangkakan diri sebagai orang agamis atau bebas.

Jadi fashion yang tampil itu, memang mungkin saja bagian dari pengabdian ideologis, tetapi lebih dalam tetaplah sebagai upaya mencitrakan preferensi seksual dirinya kepada publik. Dengan harapan dapat “berkumpul” bersama mereka yang memiliki preferensi seksual yang sama. Jadi jangan paksakan pria bersarung itu pada lawan jenis yang tidak punya tipe itu, begitu juga jangan paksakan prempuan you can see itu pada laki-laki yang tidak punya tipe tersebut.

Dengan demikian, secara prasangka seksual (bukan agama) pakaian menutup atau membuka aurat tidak ada bedanya. Semua sama tentang imaji seksual yang ingin dicapai bagi penilainya dan ingin ditampilkan bagi yang dinilai. Pendeknya, tidak ada yang perlu dinilai lebih baik dan lebih buruk antara cadar/sarung dan you can see/casual sebagai suatu corak fashion.

Karena itu, seorang feminis liberal dari Pakistan, Saba Mahmood, menyatakan dalam bukunya “Politics of Piety” bahwa sejauh ini feminis liberal keliru dalam menilai perempuan-perempuan bercadar. Bila selama ini dianggapnya perempuan bercadar itu sebagai yang tidak bebas, terkekang,  dan agensinya di kehidupan sosial hilang, ternyata ini keliru. Dan tidak demikian adanya.

Dalam buku yang meneliti para pengguna cadar itu, Saba justru menunjukkan bahwa perempuan bercadar itu dalam rangka mewujudkan kebebasannya dan keaktorannya di kehidupan sosial. Hal ini tak ubahnya kaum perempuan-perempuan liberal lainnya. Mereka bukan terkucil secara seksual dengan pakaian yang digunakan, justru melalui pakaian yang dikenakan mereka ingin mengidentifikasi dan menunjukkan diri seksualnya kepada publik.

Temuan ini, semakin menguatkan bahwa sebetulnya, fashion berkaitan erat dengan preferensi seksual pada segmentasi yang berbeda. Maka, perkembangan fashion yang kian “menggila” tak lebih sebagai upaya bagi penggunanya untuk memvisualkan citra seksual dirinya kepada publik.
Renungan terminal, 29/08/2019     

Post a Comment

0 Comments