Filsafat dan “Unanimous City”


Oleh: Herlianto A
Sumber: researchleap.com

Dalam satu kesempatan, saya bersama beberapa teman menikmati malam di warung kopi. Setelah nyeruput sedikit “kopasus”sebutan untuk kopi susu di Yogyakarta–dan membakar sebatang filter tiba-tiba datang seorang cewek, tepatnya dipanggil gadis karena masih muda namun juga bukan “cabe-cabean”. Dia berjilbab dan berkaca mata, tingginya sedang untuk ukuran orang Indonesia. secara keseluruhan, menurut ukuran saya pribadi, “cukup” cantik. Dara ini kemudian duduk di antara kami sembari meminta bantuan.

Beberapa teman yang masih jomblo cukup sumringah kelihatannya, tawanya menjadi lepas. Tanpa basa-basi, mereka langsung menerima gadis ini dengan begitu welcome, mempersilahkan duduk dan mengajukan diri tentang apa yang bisa dibantu. Teman-teman tiba-tiba menjadi baik semua. Sebagian lainnya kelihatan berbisik satu sama lain, saya yakin mereka sedang memberi penilaian akan seleranya masing-masing tentang gadis itu.

Dengan ceplas-ceplos, si gadis menceritakan bahwa dirinya sedang bekerja sebagai pegawai usaha virtual yaitu mencari komentar untuk sebuah video di youtube. Jadi, dia meminta kami dengan HP masing-masing agar memberi komentar pada sebuah video di youtube, kemudian komentar itu difoto sebagai bukti ke bosnya. Sebagian teman tidak komentar sendiri, malah menyerahkan HPnya ke gadis itu agar mempergunakan sesuai apa maunya, dan tak lupa minta nomer kontaknya. Saya tahu, ini trik ala jomblo!


Sejauh ini banyak teman yang bilang bahwa komentar di youtube itu adalah rekaan. Nah, kali ini saya melihat sendiri dan karenanya yakin bahwa komentar pada video youtube itu tidak murni, ada uang mengalir yang dibayarkan untuk itu. Lebih jauh, ternyata komentar pada beberapa website atau media-media online besarpun juga tidak murni, banyak tanggapan yang memang sengaja dibuat untuk menggiring opini. Yang lebih sadis, follower dan like bisa beli, ada agennya dan mesin yang memproduksinya. Sementara “kita” merasa begitu galau saat update status atau video yang diunggah tidak banyak mendapat like dan komentar. Ya, mungkin ini suatu kegilaan virtual dan itu kegilaan kita bersama.

Kegilaan lainnya adalah saat akun-akun medsos itu menyediakan fitur-fitur live dan camera yang dapat bekerja secara otomatis untuk mempercantik dan memperganteng objeknya. Kita semua lalu menjadi percaya diri. Seketika, video-video dan foto-foto yang diupdate begitu menarik, muka tembeb menjadi oval, muka bermutu (bermuka tua) menjadi 10 tahun lebih muda, jerawat sebesar biji jagung dapat diatasi. Jauh-jauh pergi ke pantai, merogok kocek lebih dalam untuk ke gunung, museum, candi, dst., hanya untuk mengunggah satu-dua foto saja. Setelah itu selesai. Domo.com mencatat di tahun 2017 setiap menitnya ada 4.333.560 video yang diunggah ke youtube, 97.222 video ke Netflix, 49.380 foto ke Instagram, ini belum atau update status ke facebook, twitter, dst. Ini satu sisi saja dari masyarakat virtual saat ini.

Belakangan kita geger IoT (Internet of Things) dan revolusi 4.0. Ini cukup beralasan, karena pengguna internat di Indonesia mencapai 150 juta orang per Januari 2019, di mana 94 persen dari pengguna itu mengakses internet melalui smartphone. Institusi-institusi berlomba beralih ke online, mulai lembaga pendidikan, ekonomi, kebudayaan hingga politik. Mereka riang gembira menyambut era paperless ini. Virtualitas begitu mendeterminasi dunia riil peradaban manusia di abad 21 ini. Belajar bisa lewat Google, berbelanja online, nonton seni tari di Youtube, bahkan untuk menjadi “radikal” cukup lewat online saja.

Konon, pada pertarungan Donald Trump dan Hillary Clinton di pilres Amerika Serikat, Trump menghabiskan triulinan dolar untuk mengacak-ngacak dunia virtual konstituennya. Salah satunya yang terungkap adalah Cambridge Analytica, konsultan politik Trump yang bekerja sama dengan oknum facebook untuk membobol sekitar 86 juta akun demi menyebarkan isu tentang citra baik donald bebek itu. Sedihnya, satu juta di antaranya termasuk akun orang Indonesia.

Mendengar ini, jajaran polisi sempat marah, menteri komunikasi dan informasi pun ikut angkat bicara. Tapi sampai hari ini tidak ada penjelasan dari facebook soal akun itu. Malah, mereka yang marah-marah itu melempem dengan sendirinya. Yang paling menyayat lagi adalah facebook yang penggunanya ratusan juta di Indonesia, artinya mencari uang di Indonesia, tidak bayar pajak pada negara begitu juga dengan Google, Instagram dst.  

Melihat era virtual ini filsafat meresponnya dengan serius, salah satu outputnya adalah Post-Truth. Bahwa teknologi informasi yang begitu cepat, luas, dan masif ini berisi lebih banyak kebohongan ketimbang yang benar. Menurut Pratama, doktor kajian media sekaligus alumni UGM, bahwa 95 persen dari informasi yang beredar adalah sampah, ngibuli, hoax, dan hanya 5 persen informasi yang benar dan bermanfaat.

Dominannya isu sampah ini, karena sejauh ini kontrol terhadap dunia virtual tidak bisa dilakukan. Setiap orang bisa membuat akun seenaknya, satu orang bisa miliki puluhan bahkan ratusan akun di medsos, lalu mengacaukan jagad maya dengan hoax. Semua akun itu terserah mau diberi identitas apa saja oleh pemiliknua. Artinya, semua akun itu tidak semuanya memiliki identitas yang jelas. Inilah yang disebut “unanimous city”, masyarakat kota tanpa identitas. Ketanpa-identitasan ini membuat semua orang mudah mengumpat di medsos, mencaci maki orang, menghina yang tak disukai, sombong, angkuh hingga berbuat jalang.

Negara boleh saja mengancam Google dan facebook, tetapi ancaman itu tak punya power. Kita tidak bisa mencegahnya, bisa dibayangkan jika Google ditutup di Indonesia ada berapa aktivitas online baik lembaga maupun pribadi yang akan mati, masyarakat jadi korbannya. Kita akan kembali pada yang manual, dan itu sangat sulit dibayangkan.

Lalu bagaimana? Sejauh ini kita tidak memiliki “literasi digital” yang mapan. Kita begitu saja dilempar ke dunia virtual, ke “unanimous city” oleh zaman, karena itu cukup beralasan jika ada kekagetan yang norak di media sosial kita. Untuk itu literasi digital menjadi harga mati yang harus dilakukan. Filsafat juga perlu hadir dalam hal ini, filsafat tidak cukup hanya mengkaji atau mendeskripsikan bagaimana dunia virtual beroperasi dan berproses dalam suatu rentang historis yang panjang.  

Tetapi perlu masuk lebih dalam lagi dan mengoyaknya pada sisi moralitas virtual (virtual morality) di mana prinsip-prinsip dasar di kota virtual dipreskripsikan. Ramuan pragmatisme yang menilai segala tindakan dari kemanfaatannya (utility) dapat diolah bersama deontologisme yang melihat kebaikan sebagai kesesuaian tindakan dengan aturan-aturan yang berlaku. Atau bisa juga ditambah dengan bumbu kontrak sosial (social contruct) di mana seperangkat tindakan sebagai upaya mematuhi konvensi-konvensi tertentu.

Mungkin ini terlalu prematur dan terkesan tergopoh untuk dibicarakan, namun dapat kita pahami manakala melihat merebaknya sikap polah virtualitas yang memuakkan. Orang-orang begitu saja “berak” di dunia maya tanpa sedikitpun canggung. Namun, juga terasa kurang applikatif manakala harus kembali pada preskripsi moralitas dunia nyata yang sejauh ini diformulasikan filsafat. Dengan demikian, filsafat perlu kembali merenung untuk memberikan jawaban yang lebih berterima secara virtual. Beigitulah, seharusnya unanimous city berkelindan dengan filsafat.   
         

"
"