Mengapa (Anda) Beragama?


Oleh: Herlianto A
Sumber: archive.rimanews.com

Berawal dari pertanyaan seorang kawan: “tanggal berapa kamu masuk Islam?” Saya tak bisa menjawab dengan pasti pertanyaan itu, dan mungkin sebagian pembaca juga tak bisa menjawab. Tak ada dokumen yang bisa saya ditunjukkan atau sebatas catatan orang tua di pilar langgar, rumah, dapur, atau di buku-buku lusuh saat pertama kali bersyahadat. Terlebih orang tua memang uneducateduntuk tak menyebut buta huruf. Yang saya ingat, sudah sejak kecil belajar membaca Alquran (ngaji) dipandu oleh kakak.

Juga pergi ke rumah guru untuk ngaji bersama teman-teman setiap sore. Di situ mulai mengenal huruf hijaiyah, hingga ayat-ayat pendek. Tiba-tiba juga guru ngaji meminta menghafalkan doa-doa salat beserta gerakannya, menghafalkan beberapa salawat, dan beberapa ayat-ayat pendek Alquran. Saat itu, saya belum menyadari bahwa apa yang menjadi rutinitas itu adalah sebuah prosesi agama. Mungkin keluarga dan kehidupan sosial saat itu sedang “mewariskan” agama dalam relung bawah sadar saya.

Lalu, masuk Sekolah Dasar (SD). Satu pelajaran penting yang diberikan adalah agama Islam. Saya diajari fiqih sederhana, seperti bagaimana berwudlu, tayamum, membaca qunut, menjadi makmum, dst. Tak kalah pentingnya penekanan ibadah salat dengan ancaman neraka dan reward surga. Saya dibimbing dengan kitab “Sullamut Taufiq” dan “Safinatun Najah”. Enam tahun berlalu, duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), mulai dikenalkan berbagai mazhab fiqih. Jika waktu SD wudlu batal karena “ngentut” atau bersentuhan dengan lawan jenis (bukan muhrim), maka kini ada mazhab yang tidak membatalkan wudlu karena “ngentut” dan bersentuhan dengan lawan jenis. Jika saat SD qunut subuh “dikira” suatu keharusan, kini ada yang membolehkan tidak qunut.


Tiga tahun berlalu, pindah ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Mata pelajaran agama Islam memberikan wawasan historis tentang Islam, utamanya prosesi kenabian Muhammad SAW. Kisah-kisah keanggunan, kebesaran hatinya, kewibawaan karismanya, keteguhan prinsipnya, berintegritas, pemberani, dan penyayang. Tak lupa sejarah kebudayaan Islam lainnya, peralihan kepemimpinan dari satu sahabat ke sahabat lain, dari Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Pecahnya umat pasca perang Shiffin antara Syiah dan Sunni. Terbunuhnya Usman, ditusuknya Ali, dan dipenggalnya kepala Husein. Lalu merambat ke dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kemudian kecamuk teologi yang berkembang pasca kenabian macam Mu’tazilah, Murji’ah, Ahlussunnah, dst. Hingga berakhirnya dinasti Islam setelah Turki Usmani runtuh.

Lima tahun berikutnya, menjejakkan kaki di bangku kuliah. Kompleksitas realitas keagamaan makin rumit. Lingkungan sosial yang awalnya homogen, kini beragam, multikultur, lintas budaya, tradisi, dan plural secara agama. Sejarah yang awalnya terbelah dua antara jahiliyah (sebelum kenabian) dan yang tercerahkan (era hadirnya Muhammad SAW, 7 M), rupanya tak sesederhana itu. Ada peradaban yang lebih tua yang sebetulnya juga sudah cerdas. Itulah yang ditunjukkan peradaban Yunani 6 SM, Cina 4000 SM, Babilonia. Dari sisi pengetahuan, skeptisisme lalu merangsek masuk, menggoyang kemapanan apa yang saya ketahui sebelumnya.

Puspa ragam gagasan-gagasan keagamaan dipertanyakan. Peristiwa bercabangnya aliran teologi digugat, ia bukan lagi soal keilahian melainkan soal keperpihakan politik di seputar perebutan kepemimpinan Islam. Ritual dan ibadah (salat) tak lagi melulu soal ketundukan pada Tuhan, motif lain yang dominan adalah dimensi sosial. Ikut salat berjema’ah karena menghargai ajakan teman, bangun subuh dan beragkat ke masjid agar identitas relijiusnya terasa setara secara sosial dengan masyarakat di sekitarnya. Ibadah haji dilakukan, agar setelah itu dipanggil “pak haji” dan naik satu hingga dua tingkat strata sosialnya. Berlomba dalam sadaqoh, biar loudspeaker masjid melolongkan nama dan titelnya. Senang dipanggil ustad lantaran “salam tempelnya” tebal pasca ceramah.

Sebagian menggunakan agama untuk berebut perempuan, menambah dua, tiga, hingga empat istri, demi Islam kaffah katanya. Mengelus jengggot, sembari mendeham dan berucap: Alhamdulilah. Menikahi anak usia 12 tahun (di bawah umur), Nabi juga melakukan hal yang sama katanya. Mengsikat hiburan malam, menggeledah penjual minuman keras, merampas makanan di warung saat bulan Ramadan dan merusak fasilitas sang pemilik, melawan yang mungkarnya tegasnya. Merancang senjata, membikin bom, lalu bunuh diri di pintu rumah ibadah agama lain di mana orang sekitarnya menjadi korban, dalam rangka jihat pekiknya. “Inikah wujud keberagamaan itu?” sang skeptisis menendang. Adakah determinasi keagamaan pada perilaku sosial pemeluknya sehingga beragama berarti dengan sendirinya menjadi agamis? Atau keagaamaan adalah variabel independen terhadap prilaku sosialnya, sebagaimana nyaman beribadah pasca mengkorupsi uang negara?

Wah itu mah, mestinya yang di jadikan sample determisme agama atas prilaku sosial adalah orang-orang baik macam Gus Dur, Gus Mus, Quraish Shihab, dst. Soalnya, adalah variabel umumnya (sebab) sama: beragama, tetapi mengapa dampaknya (akibat) berbeda. Apa yang merentang antara variabel umum dan variabel dependen sehingga dampaknya berbeda? Itu karena perbedaan mereka dalam menafsir teks, ada yang terlalu tekstual dan kontekstual, dst. Okay, berarti ini jembatannya adalah pemahaman, pengetahuan, atau ilmu, missing linknya di situ. Pendeknya, keberagamaan tidak bersifat otomatis menjadi penentu prilaku sosial yang agamis, melaikan perlu dibaluri oleh suatu proses pencarian pengetahuan (yang rupanya perih). Artinya, harus ada porsi usaha manusia dalam menentukan sikap beragamaannya. Hanya berteriak Allahu Akbar di jalanan tidak akan mengubah prilaku keagamaannya tanpa dibarengi dengan proses belajar.

Kemudian, kita coba buka dari pintu yang lain. Adakah perbuatan “baik” yang tidak dilandasi oleh agama? Bahwa ada anak kecil yang jatuh, apakah masih memerlukan pertanyaan apa agamamu untuk menolongnya? Kalau tidak perlu, berarti ada benarnya yang dinyatakan teori altruisme dalam psikologi, bahwa untuk berbuat baik tak perlu identitas apapun termasuk agama. Karena menolong orang adalah baik pada dirinya, bukan menolong menjadi baik lantaran terdapat dalam agama. Dasar-dasar argumen ini mendorong ke pemisahan antara agama dan Tuhan.

Bahwa bertuhan tak mesti beragama, ini pilihan kedua bagi atheis setelah tak mampu menjadi atheis yang kaffah karena sulitnya membuktikan ketiadaan Tuhan. Bahwa agama tak lain hanyalah institusionalisasi dari gagasan atas keyakinan tertentu, yang tugasnya seperti tukang stempel yaitu memberi hukum saja: haram, halal, makruh, mubah, dst atas suatu perkara. Inilah yang banyak dipraktikkan di medsos dan televisi belakangan ini oleh “ustad-ustad”. Ditambah majunya ilmu dan teknologi di mana yang awalnya suatu peristiwa diyakini sebagai intervensi Tuhan kini tak lebih sebatas peristiwa alam yang bisa ditangkal. Itulah yang dibuktikan Benjamin Franklin setelah berhasil memahami peristiwa petir dan menemukan penangkalnya. 

Dalam situasi ini, saya kembali pada diri saya dan bertanya “mengapa beragama?” Keharusan apakah itu yang membuat saya beragama? Tanya ini membuat sadar bahwa selama ini taken for granted atas prosesi agama, dan lupa mempertanyakan hal yang mendasar, yang sebetulnya menjadi fondasi sebelum salat didirikan, sebelum doa dipanjatnya, dan ibadah-ibadah lainnya ditunaikan. Pencarian atas jawaban ini, kira-kira dimulai sejak menjadi bagian dari komunitas filsafat Al Farabi Kepanjen yang kini menjadi STF Al Farabi dan Pesantren Luhur Baitul Hikmah.

Di tempat sederhana inilah, saya menelusuri bagaimana agama dipraktikkan dan dirasionalisasi sejak abad peradaban Yunani, Cina, Islam, modern dan pasca modern. Memang tak ada jawaban yang tunggal, tetapi setidaknya bahwa pencarian argumen atas keberagamaan adalah upaya universal yang juga turut dilakukan oleh manusia-manusia yang bahkan hadir sebelum Islam. Sejatinya hakikat manusia adalah beragama, mahluk yang tidak hanya rasional tetapi juga spritual. Lalu, manusia perlu bersosial dan diterima di komunitasnya dengan identitas tertentu, karena itumau diapakan saja manusia ituspritualitasnya akan tetap terejawantah dalam suatu pelembagaan yang bernama agama. Jika agama adalah suatu pelembagaan atas suatu gagasan tertentu, maka gagasan atheis juag golongan bertuhan tanpa agama akan memiliki lembaga keyakinannya juga saat mereka berkumpul dengan anggota-anggotanya.

Dengan kata lain, agamaapapun bentuknya dari tidak percaya tuhan, cukup percaya, sangat percaya, dst.tetaplah memiliki dimensi universal (keilahiannya) dan sosial (keummatannya). Karena itu, beragama itu melekat pada diri manusia dengan berbagai puspa ragam pengejawantahan yang berbeda karena faktor keluarga, faktor pemahaman, faktor sosial, dan “mungkin” hidayah.

Sampai di sini sebetulnya, masih bisa dibantah tentang alasan mengapa beragama. Tetapi, jawaban atas pertanyaan itu juga akan berkembang seturut dengan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh saya peroleh. Untuk sementara catatan pencarian ini cukup sekian yang bisa diungkapkan. Sekarang, pertanyaan baliknya adalah “Mengapa Anda beragama?” Silahkan dijawab, jika memang gentle ditulis jawabannya.
"
"