Epistemologi dan Semiologi


Oleh: Herlianto A
Sumber: bukalapak.com

Sufiks “logi” pada berbagai disiplin ilmu tidak hanya tentang keangkuhan objektivisme (logosentris) abad modern tetapi tak kalah penting dari itu adalah pengkaplingan bidang studi-bidang studi. Saat ini, perwujudannya adalah “jurusan” atau program studi di kampus, atau setidaknya menjadi satu mata kuliah yang dibedakan dengan mata kuliah lainnya. Keterbelahan  epistemologi dan semiologi juga disebabkan arus logosenterisme itu.

Untuk mempelajari (secara formal) dua bidang ini, dua fakultas mesti dilalui: fakultas filsafat dan fakultas bahasa, atau jika tidak, dua mata kuliah yang berbeda: filsafat ilmu dan semiotika. Keduanya di letakkan secara berbeda karena fokusnya juga dianggap berbeda.Tetapi secara nonformal, bisa saja mengait-ngaitkan, menganalogikan, atau bahkan mensisi-dua-mata-uangkan antara epistemologi dan semiologi. Bahwa keduanya berelasi kuat. Tulisan ini, tanpa bermaksud menciptakan “semioepistemologi”, secara bebeas ingin membincang hal-ikhwal epistemologi dan semiologi.

Mendudukan Istilah

Epistemologi[1] atau kadang disebut theory of knowledge merupakan satu cabang filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan, baik berkaitan dengan sumber, alat, dan juga neracanya. Secara umum epistemologi dibelah dua antara huduri yaitu pengetahuan yang hadir secara langsung pada subjek penahu, pengetahuan ini bersifat ontologis-eksistensial atau acap disebut knowledge by present, kemudian husuli pengetahuan yang bersifat pemerolehan melalui sumber dan alat tertentu. Pada bagian kedua inilah yang akan banyak disinggungkan dengan semiologi.


Pengetahuan husuli ini akan bersentuhan dengan istilah-istilah penjelasnya, di antaranya: alam dan rasio sebagai sumber. Indera (empirisme), rasio (rasionalisme), dan intuisi (intuisionisme) sebagai alat, dan korespondensi, koherensi, dan pragmatis sebagai neracanya.[2] Inilah perangkat-perangkat yang menyertai studi epistemologi. Mengurai berbagai terminologi tersebut berarti sedang memasuki medan epistem lebih detail.

Kekhasan lain dari epistemologi (husuli) adalah bersifat triadik antara subjek penahu, konsep, dan realitas. Subjek menangkap realitas atau sumber sebagai pengetahuan menjadi konsep (abstraksi) lalu dipadatkan dalam satu istilah (kata). Pembicaraan kita tentang pengetahuan berputar di wilayah kata, konsep, dan realitas yang harus dibedakan satu sama lain. Kegagalan membedakan ketiganya, menjadi suatu kerumitan tersendiri dalam membincang epistemologi.

Sementara semiologi, merupakan satu cabang studi yang baru, berkembang di abad 20 berbeda dengan epistemologi yang sudah mengakar sejak Yunani klasik abad 6 SM. Tokoh penting semiologi adalah Ferdinan de Saussure (1857-1913), ahli bahasa Prancis, dengan karya pentingnya Course in General Linguistics.[3] Melalui karya ini Saussure mengatakan bahwa semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat sekaligus menjelaskan unsur yang menyusun tanda beserta cara kerjanya. Salah satu tanda yang paling nyata adalah bahasa, sehingga membahas tanda selalu berkait dengan bahasa, setidaknya bagaimana tanda itu dijelaskan adalah menggunakan bahasa.[4]


Bagaimana tanda bekerja? Menariknya, dalam menjelaskan kinerja tanda beberapa ahli semiologi macam Lyons, Morris, Odgen dan Richard, mengikuti pola triadik yang sebelumnya sudah disediakan oleh Saussure yaitu tanda (sign), penanda (signifier), dan penanda (signified).


Yang pertama berkaitan dengan citra akustik (bunyi kata “pohon”), yang kedua berkaitan dengan konsepnya (tanaman yang menjulang dan mengakar  ke tanah serta memiliki daun dan cabang), yang ketiga berkaitan dengan referennya atau penandaan (pohon itu sendiri). Lyons sebagaimana Odgen dan Richard kemudian menegaskan bahwa hubungan antara citra akustik dan referen tidak bersifat langsung (garis putus-putus), ia mesti dimediasi oleh konsep. Artinya, citra akustik tidak bisa langsung diacukan pada referen sebelum mendapati konsepnya. Jadi sebagaimana triadik epsitemologi, triadik semiologi juga perlu meletakkan secara jelas tentang konsep dari suatu kata (citra akustik) sebelum diacukan pada referennya (realitas).

Persinggungannya

Dari sekelumit pemaparan di atas, sudah dapat dijumpai simetrisitas antara epistemologi dengan semiologi, utamanya dalam hal konsep triadiknya. Artinya secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa antara epistemologi dan semiologi memiliki konsep penjelas yang sama saat memasuki ruang pemahaman manusia (subjek). Suatu kebenaran secara epistemologi mestilah berkelindan antara kata, konsep, dan realitas begitu juga dengan semiologi, antara citra akustik, konsep dan referen juga mesti berkelindan agar memberikan pemahaman ketandaan yang utuh.

Elaborasi lebih jauh, jika epistemologi dalam neracanya berupaya mengkorespondenkan antara konsep dan realitas maka semiologi juga tak ketinggalan menyelaraskan konsep dan referen. Ketakcocokan konsep dan realitas (setidaknya secara korespondensi) adalah suatu kekeliuran, pun ketaktepatan konsep dan referen adalah kesesatan ketandaan. Sampai disini, pada satu sisi, epistemologi dan semiologi dapat dipadankan.

Lalu bagaimana epistemologi diposisikan dalam semiologi atau sebaliknya? Apakah epistemologi mensubordinasi semiologi atau sebaliknya? Atau tak ada subordinasi, melainkan koordinasi? Sebelum menjawab beberapa pertanyaan ini, ada baiknya kembali pada proses pengetahuan. Secara kronologis, pengetahuan berawal dari mengakses sumber (alam) melalui perangkat indera, lalu kemudian diabstraksi, selanjutnya dikonsepsi, dan untuk menguji kesahihan konsepsi ini perlu diverifikasi (tasdik) lagi ke realitas. Misalnya, subjek melihat meja, maka akan diabstraksi bentuk meja itu, kemudian dikonsepsi sebagai meja (universal dengan ciri-ciri tertentu), lalu untuk memastikan bahwa konsepsi itu adalah benar-benar meja bukan yang lain perlu diverifikasi ke benda meja itu sendiri.

Nah, dalam proses penyerapan pengetahuan ini sebetulnya adalah proses ketandaan, yang mana meja adalah tanda dengan penandanya yaitu bidang datar berbetuk persegi atau persegi panjang memiliki empat kaki, dan petandanya adalah meja yang ada dalam rumah. Jadi proses empistemologi adalah proses semiologi atau ketandaan, lebih seru lagi perbincangan kita tentang epistemologi adalah perbincangan yang sama sekali ketandaan, pertukaran pemahaman akan pengetahuan adalah pertukaran ketandaan antar subjek. Namun begitu, epistemologi bukanlah semiologi, mereka tidak identik tetapi satu sama lain mengkonstruksi pengetahuan manusia dalam arti yang lebih luas.

Dengan demikian, beberapa pilihan istilah pada rentetan pertanyaan di atas tak ada yang cukup representatif menggambarkan romatisme epistemologi dan semiologi. Saya sendiri lebih suka menyebutnya “persenyawaan” sebagaimana kita pahami dalam ilmu kimia. Dalam persenyawaan tidak ada yang dihilangkan, misalnya H2O (air) yang merupakan persenyawaan dari O2 (oksigen) dan H2 (hidrogen). Pada H2O, O2 dan H2 tidak hilang melainkan melebur, sehingga tak ada yang mendominasi namun saling mengisi. Begitu juga epistemologi dan semiologi adalah dua hal yang berbeda tetapi sepadan dan saling melengkapi.

Akhirnya, epistemologi dan semiologi tak dapat dipisahkan. Pemisahan yang dilakukan di ruang kuliah hanyalah untuk kepentingan formal dan penamaan tertentu atau lebih jauh kepentingan pembubuhan titel yang sebetulnya asimetris dengan pengetahuan itu sendiri. Sebagai alternatif, menempuh jalan nonformal untuk meyandingkan epistemologi dan semiologi adalah jalan paling mulia.  
   


[1] Epistemologi berasal dari bahasa Yunani epistēmē yang berarti pengetahuan, lalu dikawinkan dengan logos yang berarti ilmu. Orang Yunani juga menggunakan istilah gnosis untuk menunjuk pada pengetahuan, sehingga kadang disebut gnoseologi.
[2] Istilah-istlah ini dapat ditelusuri lebih jauh dalam Herlianto. (2018). Berjabat Tangan Dengan Filsafat: Epistemologi, Ontologi, Etika dan Estetika. Malang: Dreamlitera., hal 53
[3] Karya ini sebetulnya merupakan kumpulan kuliahnya yang dirakit oleh dua mahasiswanya Ch. Bally dan Alb. Sechehaye, terbit pertama kali 1916.  
[4] Language is system of sign that express ideas, and is therefore comparable to system of writing, the alphabet of deaf-mute, symbolic rites, polite formulas, military signal, etci. Saussure. (1959)., hal 16.

Post a Comment

0 Comments