Arti Angkringan bagi Mahasiswa Jogja

Oleh: Herlianto. A
Gerobak angkringan di Yogyakarta. (Foto: bisniswaralaba.id)

Mazhabkepanjen.com - Salah satu penjual makanan yang khas di Yogjakarta adalah angkringan. Penjual ini bisa dibilang “pengecer makanan”. Pasalnya, menghidangkan jualannya dalam bungkusan-bungkuaan kecil, baik nasi, rokok, ataupun camilan lainnya. Menikmati sebungkus makanan di angkringan  seperti mencicipi dua sendok makanan dalam sepiring, tidak akan kenyang dan tidak akan puas. Kecuali mencicipinya hingga berbungkus-bungkus.

Tidak ada menu utama, apalagi favorit di angkringan, semua makanan yang disediakan sama saja statusnya. Kita bisa ke angkringan hanya beli camilana saja atau sebatang rokok dan kopi, teh, atau juga nasi yang besarnya hanya sekepal tangan orang dewasa. Lalu ngobrol ngalor-ngidul. Rata-rata, sejauh pengamatan saya, pembelinya berasal dari anak kos baik yang sudah bekerja, lebih-lebih mahasiswa. Saya termasuk, meski bukan pelanggan berat, yang suka makan di angkringan.

Dengan model menu dan harga yang “cukup” murah, ada beberapa kelebihan yang didapatkan makan di angkringan. Misalnya uang 3 ribu rupiah sudah cukup dapat satu bungkus nasi dan segelas es teh. Atau ditambah seribu lagi sudah plus sebatang rokok. Alhamdulillah, hidup sudah terasa merdeka sejenak. Memang tidak membuat kenyang tetapi setidaknya cukup mengganjal perut yang keroncongan tak ketulungan, apalagi di tengah suasana “perekonomian” pribadi yang fluktuatif dan tak henti-hentinya defisit.


Bayangkan jika makan di tempat yang ‘agak mewah dikit”, uang 3 ribu hanya cukup buat bayar parkir, sisa seribu. Memang rasanya tidak seenak di tempat makan mewah, tetapi soalnya bagi anak kos yang penting perut terisi dan kehidupan di Yogjakarta dapat terus berlangsung. Tentu saja ini buat anak kos (mahasiswa) yang berkecukupan secara finansial, dan tidak bagi mereka yang high class. Mungkin saja mereka ke angkringan satu dua kali tetapi itu hanya untuk mencari suasana yang beda.

Selain alasan ekonomis di atas, secara pribadi saya menaruh perhatian yang terbilang istimewa pada angkringan ini. Saya mengenal angkringan sejak 4 tahun yang lalu, meskipun mulainya mungkin sudah puluhan tahun lalu, sampai sekarang polanya tetap sama sekalipun model ritel-ritel modern terus menggempur kawasan Yogjakarta. Abang-abang angkringan tetap saja berdiri tegak di sudut-sudut kota dengan gerobak berbalut terpal dan lampu agak remang di malam hari.

Pengapiannya juga tetap menggunakan arang dengan bau asapnya yang khas. Secara “nyinyir”, bertahannya angkringan ini bisa dilihat dari sisi bahwa memang tidak ada pekerjaan yang dapat menghasilkan lebih besar sehingga mau tak mau bertahan di angkringan. Tetapi secara lebih ideal angkringan bukan hanya soal ekonomi dan kalkulasi materi, tetapi juga soal tradisi, kerekatan sosial dan budaya Yogjakarta sendiri yang perlu terus dipertahankan.

Bila agen-agen kapital besar begitu rakus dengan berupaya memonopoli semua lini perdagangan, tetapi angkringan sama sekali tidak punya niatan mendominasi, apalagi menghabisi yang lain. Mereka dengan kerendahan hati masing-masing sembari berharap ridha ilahi berbagi satu sama lain. Dengan penghasilan yang mungkin tak seberapa, mereka tetap menjadi penanda budaya yang unik bagi Yogjakarta yang terlanjur bergelar kota budaya. 

Kemanapun kita pergi di kawasan kota pelajar ini, angkringan tetap menjadi “warna sosial” tersendiri yang tak mungkin ditemukan di kota lain. Atau bahkan, teman dari sekian ribu mahasiswa yang kini telah sukses menata karir di bidang masing-masing semenjak keluar dari Yogjakarta.

Upaya mengkloning suasa angkringan ke dalam pasar-pasar kapital besar seperti ke dalam mal atau pusat perbelanjaan lainnya mungkin sudah dilakukan. Misalnya, menjual model angkringan di mal dengan tetap membawa grobak angkringan, dan menu yang dihidangkan lebih bervariasi tentu harganya selangit. 

Tetapi tetap saja itu palsu. Seberapapun upaya kloning ini dilakukan maka ia tetap tidak sama dengan mereka yang berada di pojokan kota Jogja. Suasana yang sesungguhnya tidak akan pernah hadir di sana di mal.

Begitulah arti angkringan bagi mahasiswa di Yogjakarta. Semoga angkringan tetap menjadi jawaban bagi ratapan perekonomian negara yang kian bernuansa kapitalis. Dan tetap setia menemani para pelajar papa yang datang dari segala penjuru untuk meraih mimpi-mimpi besarnya di Kota Yogyakarta.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Belajar agar tidak tamak, melatih kesabaran perut, tidak boros dan rajin menabung...pesan di balik sekepal nasi angkringan... Jangan lupa sunnah pakai 3 jari, pasti makannya tambah lama dan niqqqmaaattt...hehe

    BalasHapus
  2. hahaha.. mon tiga jari nggak kenyang2 bro..

    BalasHapus