Oleh: Herlianto A
Sumber: anakbertanya.com |
Belum lama ini, saya berkesempatan bersinggungan dengan bidang kajian linguistik sosial atau yang akrab diistilahkan sosiolinguistik. Salah satu kajian makro linguistik ini terbilang arena baru kebahasaan yang bergejolak sejak medio abad ke 20. William Labov disebut-sebut sebagai pemantik bidang ini melalui risetnya The Social Stratification of (r) in New York City Department Stores yang terbit 1966. Dalam risetnya, Labov mengungkap bahwa ada perbedaan pengucapan huruf (r) antara masyarakat yang stratifikasi sosialnya tinggi dan rendah. Orang-orang high class cenderung tidak terlalu membunyikan (r) saat bicara, sementara low class cukup jelas terdengar.
Penelitian yang mengambil sampel
di pusat-pusat perbelanjaan ini kemudian menyimpulkan bahwa bahasa memiliki
keterkaitan erat dengan keadaan sosial seseorang. Artinya, peristiwa sosial
memiliki andil besar dalam mempengaruhi gerak bahasa. Konklusi ini, tak ayal
lagi, memproblematisasi tesis Noam Chomsky yang ditulis sembilan tahun sebelumnya
yaitu Syntactic Structure 1957. Chomsky mendaku grammar atau struktur
sebagai bagian primer dari bahasa dan bukan peristiwa sosial. Karena itu,
penelitian linguistik haruslah dialamatkan pada sejauh mungkin independensi
grammar.
Kuatnya pengaruh Chomsky pada
saat itu sempat meragukan karya Labov hanya sebagai pengembangan dari kemendasaran
gramatika. Namun begitu, alih-alih sebagai variasi Chomskian, menurut Cornips
& Gregersen dalam The Impact of Labov’s Contribution to General
Linguistic Theory sama sekali berbeda, malah Labov membentuk ruang baru
bagi linguistik yaitu sosiolinguistik, serta menggugah kembali
antropo-linguistik.[1]
Basis historis inilah yang
menjadi salah satu pijakan kajian sosiolinguistik tempat saya belajar saat ini.
Tokoh-tokoh sosiolinguis macam Meyerhoff, Holmes, Wardhaugh, Mesthrie, dan
konco-konconya menjadi panutan dalam pengantar bidang ini. Kami diajak untuk
melihat pecahan-pecahan pemikiran Chomsky yang diaggap tak lagi kontekstual
atau bahkan runtuh, sembari menyeru ironi: “kita harus berterimakasih pada
Chomsky, karena kalau tidak sosiolinguistik tak akan muncul”.
Selain ironi, beberapa
“streotype” juga dialamatkan pada tokoh yang kini sudah gemar politik itu. Misalnya,
diidentikkan dengan pengusung generatif struktur yang dimaknai dengan bahwa
bahasa diturunkan secara genetis, sebagaimana bentuk tubuh bapak yang mungkin
diturunkan ke anaknya. Identifikasi lainnya adalah Chomsky terpengaruh oleh
behaviorisme yang saat itu juga tengah berjaya. Sementara, amunisi kritik yang
acap kali terdengar ialah menggunakan balik kalimat Chomsky sendiri: colorless
green ideas sleep furiously (ide-ide hijau tak berwarna tidur dengan marah).
Kalimat ini, secara agak
tendensius, dianggap petaka bagi tesis Chomsky berkaitan dengan independensi
grammar. Pasalnya, meski benar secara gramatika tetapi rupanya dianggap impossible
secara semantik. Maka, tesis kemendasaran gramatika seakan tak lagi bermakna
dan useless. Sayangnya, kami
tidak disuguhi argumen lebih detail dalam diskusi tentang bagaimana Chomsky
sampai pada tesisnya.Tulisan ini, bermaksud untuk mendiskusikan selangkah lebih
lebar saja terkait independensi gramatika dalam bahasa dengan mengacu pada
bagian awal buku Chomsky Syntactic Structure.[2]
Dalam buku fenomenal ini, dia
membuka babnya dengan The Independence of Grammar. Klausul umumnya yaitu
bahwa bahasa dapat diciutkan pada persoalan kalimat baik dalam arti yang
terbatas (finite) maupun yang tak terbatas (infinite). Terbatas
karena setiap bahasa memiliki fonem dan bagian-bagian kalimat yang terbatas.
Saat menggunakan bahasa tertentu kita tidak bisa melampui fonem dan bagian
kalimat yang dimiliki bahasa tersebut. Sementara tidak terbatas, berkaitan
dengan produksi ragam kalimat yang bisa dibuat dalam jumlah yang tak bisa
ditentukan.
Karena bahasa berkaitan dengan
kalimat, maka, tugas seorang linguis adalah memastikan susunan gramatikal suatu
kalimat. Lalu, apakah gramatika itu sendiri ada secara independen dari hal-hal
di luar bahasa yang memungkinkannya. Menurut Chomsky kegramatikalan suatu
kalimat tidak bisa dilihat dari sisi arti (meaningful) atau makna (significant)
kalimat tersebut. Artinya bisa jadi ada susunan kata yang gramatikal tetapi
kurang bermakna secara semantis.[3] Untuk menjelaskan
ini Chomsky mengajukan contoh kalimat:
- Colorless green ideas sleep furiously.
- Furiously sleep ideas gree colorless.
Dua kalimat ini tidak pernah ada
dalam bahasa Inggris, tetapi orang yang mengerti bahasa Inggris dapat memahami
bahwa kalimat (1) benar secara gramatikal, sementara kalimat (2) tidak. Kendati
begitu, keduanya sama-sama tidak make sense secara semantik. Pembaca
Inggris akan membaca kalimat (1) dengan intonasi kalimat yang benar, sementara
pada kalimat (2) dibaca dengan intonasi frase-frase yang tidak berelasi,
terpisah satu sama lain. Kalimat (1) masih mungkin diujarkan meski jauh dari
koteks tetapi yang ke (2) sudah pasti tidak mungkin.
Artinya, meskipun secara semantik
kalimat (1) terbilang imposible, tidak memiliki sense, tanpa
reference, dan standart kebenarannya (truth) tidak jelas, tetapi ia tetaplah
gramatikal. Pendeknya, tegas Chomsky, kemampuan seseorang dalam
mengidentifikasi ujaran ataupun kalimat gramatikal bukan berdasarkan ukuran
semantiknya. Apalagi hanya dengan ukuran posibilitas dan imposibilitas kalimat
yang berkutat pada perkiraan statistikal (statistical approximation)
yaitu tingkat keseringannya digunakan secara sosial.
“Structural
analysis can not be understood as schematic summary developed by sharpening the
blurred edges in the full statistical picture,” (analisis struktural tidak
bisa dipahami sebagai kesimpulan skematik dengan memperjelas batas yang blur
lewat gambar statistik), ujar Chomsky.
Jadi, kegramatikalan tidak
berkaitan dengan keseringan secara statistik. Seberapapun sering suatu kalimat
yang tidak terstruktur dilisankan atau ditulis, tidak akan mengubah statusnya lalu
menjadi dianggap terstruktur. Namun begitu, dia sama sekali tidak menolak arti
penting semantik. Tinjauan semantik tetaplah diperlukan dalam kajian bahasa,
tetapi itu bersifat sekunder atas gramatika. Semantik tidak bisa menggugurkan
kemendasaran gramatikal dalam bahasa. Meskipun kalimat (1) kurang semantis
tetapi ia tetaplah gramatikal. Inilah independensi gramatika dari hal-hal di
luar bahasa, termasuk budaya. Chomsky menulis:
I think
that we are forced to conclude that grammar is autonomous and independent of
meaning and that probabilistic models give no particular insight in to some of
the basic problems of syntactic structure.[4] (Saya kira kita
harus menyimpulkan bahwa gramatika adalah otomatis dan independen dari makna,
dan karenanya model probabilistik tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap
persoalan dasar strutur sintaksis).
Dengan demikian, untuk
mendapatkan pemahaman secara semantik pada suatu tuturan, pengujar dan teman
ujarnya (interlocutor) haruslah punya pemahaman yang sama akan gramatika
bahasa yang sedang digunakan. Misalnya, seorang mahasiswa datang ke warung nasi
dan bilang: “ibu, saya ayam,” dan si mengangguk dan memberikan sebungkus nasi
dengan lauk ayam. Pada kalimat: “ibu saya ayam,” sama sekali tidak gramatikal,
tetapi dapat dipahami. Namun, pemahaman itu tidak sekonyong-konyong karena
konteksnya, tetapi memang kedua orang tersebut memiliki konstruksi kalimat yang
lengkap dalam dirinya yaitu: “ibu saya mau beli nasi menggunakan lauk ayam”.
Tetapi ujaran ini tidak mengemuka ke keluar, inilah yang disebut oleh Chomsky
sebagai deep structure (struktur dalam), yang dibedakan dari struktur
luar yang terujarkan.
Ketidak-gramatikalan kalimat yang
terdengar itu sama sekali bukan alasan untuk menegasikan kemendasaran gramatika.
Tetapi justru karena ada pahaman gramatika yang sudah ada secara intuitiflah–yang mendahului konteks
percakapan tersebut–yang
memungkinkan kedua orang tersebut dapat saling memahami dan komunikasi terjadi
dengan baik.
Dengan demikian, mengajukan colorless
green ideas sleep furiously yang dikritik dari sisi semantikalitasnya,
sebagai serangan balik atas tesis Chomsky sepertinya kurang tepat sasaran. Karena
sebetulnya, struktur kalimat itu digunakan untuk membuktikan independensi
gramatika. Dan memang faktanya tidak dapat mengubah fakta bahwa susunan kata
itu benar secara gramatikal sekalipun tidak semantis. Dan kritik dengan argumen
semantis sudah dijawab lewat deep structure. Beginilah kira-kira diskusi
ini dibuat. Di kesempatan yang lain kita akan diskusikan soal bahasa sebagai
genetif dan pengaruh behaviorisme yang juga menjadi kenyinyiran atas Chomsky.
[1]
Leonie Cornips & Frans Gregersen. The Impact of Labov’s Contribution to
General Linguistic Theory. Jurnal of Sociolinguistics. University of
Copenhagen. 2016
[2]
Chomsky menulis banyak buku dan jurnal tentang bahasa di antaranya: Aspects
of The Theory of Syntax (1965), Cartesian Linguistics (1966), Language
and Mind (1968), The Logical Structure of Linguistic Theory (1975), Reflections
on Language (1976), Language and Responsibility (1977), Lectures
on Government and Binding (1982), Knowledge of Language: Its Nature,
Origin and Use (1986), Language and Problems of Knowledge (1988), Language
and Thought (1993), The Minimalist Program (1995), The
Architecture of Language (2000), On Nature and Language (2002).
[3]
Noam Chmsky. Syntactic Structure. Paris: Mouton Publisher. 1957., hal 15
[4]
Syntactic Structure. hal 17
0 Comments