Khilafah, Dibanting Pecah

Oleh: Herlianto A
Sumber: Salafynews.com

Masihkah khilafah menjadi jawaban atas persoalan masyarakat, keummatan dan kenegaraan di abad modern ini? Pertanyaan ini menjadi rumit untuk dijawab lebih-lebih melihat perkembangan belakangan, khususnya setelah salah satu pengusung khilafah (HTI) resmi ditamatkan riwayatnya oleh negera. Ormas (atau partai belum jelas) tersebut tidak memiliki antibodi untuk merekoveri diri dan menyelamatkan sistemnya. Satu-satunya yang dimiliki adalah kemampuan cuci otak (brain wash) atas generasi unyu-unyu yang ingin segera pesta seks di surga dan menikmati segala level orgasme.

Mengapa demikian? Khilafah merupakan salah satu sistem yang menolak demokrasi. “Demokrasi adalah sistem kafir,” pekiknya dalam setiap pertemuan dan seminar-seminar. Baginya tak ada demokrasi dalam Alquran, Nabi juga dianggap tidak demokratis, sejarah Islam juga anti demokrasi. Bagi mereka beri-Islam adalah ketundukan total—akalpun dikerangkeng dalam terali besi kecuali akalnya sang kholifah—pada fatwa-fatwa sang kholifah, yang sayangnya juga manusia yang tidak maksum.

Nalarnya demikian: tidak ada Islam tanpa jama’ah, tidak ada jamaah tanpa kholifah, tidak ada kholifah tanpa baiat, dan tidak ada baiat tanpa ketundukan. Jadi Islam sama dengan ketundukan buta. Setidaknya itu ajaran yang diinfiltrasikan ke dalam otak hadirinnya oleh Khilafatul Muslimin, regu lain yang juga mengusung khilafah dan kholifahnya saat ini adalah Abdul Qadir Hasan Baroja’. Regu ini sama saja regu HTI. Nah jika masih ada yang berteriak demokrasi, pasti itu kafir, liberal, dan komunis. Lambemu cak!



Persoalannya, bagaimana sistem ini dapat diterima dalam suatu negara tanpa prakondisi demokratis? Bisakah pada negara yang terlanjur otoriter menawarkan khilafah dan mengutuk kepemimpinannya. Saya rasa, khilafah dijamin tamat. Artinya, demokrasi justru syarat wajib bin mutlak bagi pengusung khilafah agar ajarannya dapat disebarkan ke masyarakat. Tanpa pra syarat itu sangat sulit ajaran dan pengikutnya dapat masuk dalam suatu negara. Wajar jika di era Suharto (otoriter yang sebentar lagi jadi pahlawan), rombongan khilafah sama sekali tidak menemukan ruang. Baru setelah kran demokrasi dibuka mereka bernafas lega dan berselancar di jagad nusantara untuk “meneteskan air liur” di mana-mana.

Namun tanpa tahu berterimakasih, sistem ini balik mengutuk demokrasi yang telah ikhlas memberinya jalan, demokrasi yang perjuangannya telah menewaskan puluhan martir. Sementara mereka datang tanpa lecet dan noda sedikitpun di dasternya, duduk manis mengelus jenggot dan minum kopi. Mereka kemudian bebas berteriak kofar-kafir, togat-togut, liberalis, komunis dan sejumlah sumpah serapah lainnya bagi yang tidak sejalan dengan pandangannya.  

Sialnya, nyawa organisasi ini kini sudah ada diujung leher—walaupun ajarannya bisa jadi masih perkasa—setelah lahirnya Perpu No 2 Tahun 2017. Mereka resmi dibubarkan. Disini dapat dilihat seberapa mereka membutuhkan demokrasi. Tak pelak, lewat pengacaranya HTI menyatakan tidak anti pancasila, dan hanya organisasi dakwah, dan sejumlah kiasan lainnya (untuk tidak mengatakan bohong). Karena itu semua bertentangan dengan yang ada diwebnya resmi, yang kini sudah ditutup.

Upaya selanjutnya adalah judicial review ke Mahkamah Konstitutsi. Oh… rupanya mereka masih membutuhkan lembaga-lembaga demokrasi. Lembaga yang disebut togut dan kafir. Masak percaya sama hasil togut dan kafir. Aneh bin ajaib, namun nyata. Ini pelajaran penting bagi para penganut khilafah, bahwa betapa demokrasi telah bermurah hati padanya. Betapa demokrasi menampung dirinya sekalipun yang ditampung anti terhadap demokrasi. Bagaimana jika sistem khilafah yang digunakan, dimana ruang demokrasi dikebiri. Tak pelak yang akan terjadi seperti yang dikisahkan oleh Farag Faouda dalam Kebenaran Yang Hilang, sungguh mengerikan.

Dengan demikian terbukti bahwa khilafah merupakan sistem yang tidak memiliki antibodi. Tidak bisa merekoveri dengan menggunakan sistem sendiri, masih mensyaratkan sistem lain yaitu demokrasi yang itu dikutuk. Sungguh sistem yang bunuh diri. Kini kita tahu bahwa khilafah tidak tahan banting. Khilafah dibanting pecah.  



Post a Comment

0 Comments