Sidang Isbat dan Kebenaran Konvensional

Oleh: Herlianto. A

Ilustrasi hilal. (Foto: Pinterest)

Mazhabkepanjen.com – Jika penetapan dimulainya puasa dianggap kebenaran, maka sidang isbat adalah proses konvensi penetuan kebenaran. Artinya, tanggal satu Ramadan adalah kebenaran konvensional, kebenaran berdasarkan kesepakatan.

Bagaimana mungkin? Kita bisa lihat dari proses penentuan awal Ramadan itu. Ada dua metode yang disepakati yaitu hisab dan rukyah. Hisab menggunakan metode perhitungan rasional astronomis, sementara rukyah menggunakan penghitungan penginderaan. Apa yang dihitung dan apa yang diindera ialah hilal atau fase bulan sabit dari bulan baru.

Tentu untuk melakukan itu ada ilmunya tidak sembarang orang melakukannya. Artikel ini juga tidak dalam rangka nempersoalkan metode yang digunakan dalam dua cara penentuan hilal itu. Tetapi lebih kepada bagaimana hasil dua pendekatan itu dikonversi menjadi kebenaran yang disepakati.

Tahun hijriyah memang mendasarkan perhitungannya pada perputaran bulan, berbeda dengan tahun Masehi yang berdasar pada perhitungan perputaran matahari. Maka awal kemunculan bulan sangat penting dan itulah yang dihisap dan dirukyah.

Persoalannya, seberapa tinggi hilal berada di atas ufuk yang kemudian dijadikan standar bahwa saat itulah awal bulan yang baru di mulai dalam kalender hijriyah. Di sini ada kesepakatan. Dulunya, hilal berada di posisi dua derajat dianggap sebagai awal bulan baru, tetapi rupanya dinaikkan menjadi 3 derajat.

Namun demikian, perubahan standar ini tidak akan mengubah keadaan objektif bulan yang terus bergerak melalui fase-fasenya. Jadi, ada bau subjektivitas yang itu disepakati sebagai kebenaran. Yang subjektif bukan temuan hisab dan rukyahnya. Temuan hisab mengatakan tanggal 1 Ramadan 1443 jatuh pada tanggal 2 April 2022, tetapi pendekatan rukyah tidak mendukung hasil ini, lantaran tidak semua pengamatan melihat hilal berada di atas standar yaitu 3 derajat di atas ufuk.

Maka, dilakukan musyawarah sidang isbat untuk kemudian bersepakat bahwa awal Ramadan akan dimulai pada tanggl 3 April 2022.

Lalu bagaimana sisi objektif pada rukyah? Sisi objektifnya tidak berubah. Misalnya, saat menggunakan teropong lalu melihat bulan berada pada 2 derajat di atas ufuk, ya itulah hasil objektifnya. Tentu saja teropong tidak bisa subjekti, tidak punya perasaan dan kepentingan. Hasilnya itu tidak akan berubah seperti apun kesepakatan yang akan lahir.

Jadi, dengan demikian kajian saintifik dengan metode hisab atau melalui rukyah dengan menggunakan teropong berteknologi canggih memiliki fakta objektinya, tetapi tidak menghilangkan kebenaran konvensional yang dilakukan dan diamini oleh manusia.

Dalam hal ini, sidang isbat adalah kebenaran konvensional berdasar pada temuan sains untuk menentukan kepentingan agama tertentu. Inilah mungkin salah satu relasi yang paling menarik antara, sains, filsafat dan agama.

Karena hasil penetapan awal Ramadan ini berkaitan dengan konvensi, tentu banyak aspek yang dipertimbangkan yang bisa jadi aspek itu di luar yang objektif, atau tidak objektif. Karena yang objektiflah yang hanya menunjukkan fakta, tetapi bagaimana fakta itu digauli bergantung pada setiap kelompok individu yang menggauli fakta tersebut.

Baca Juga:

 Itu terlihat misalnya, perbedaan sikap atas permulaan bulan Ramadan. Biasanya Muhammadiyah, memilih untuk menggunakan metode hisab. Karena dianggap perhitungannya lebih tepat dan hemat, karena tidak perlu mengadakan sidang isbat yang menggunakan anggaran negara cukup besar.

Pada tahun 2013 lalu, Muhammadiyah melalui Din Syamsudin (ketua PP Muhammadiyah saat itu) menyebutkan dana untuk sidang isbat sebesar Rp 9 miliar, dan itu diambil dari uang rakyat. Ini yang menjadi salah satu pertimbangan Muhammadiyah untuk tidak setuju dengan sidang isbat sebagai penentuan awal Ramadan.

Dilihat dari ini, maka sama sekali alasan tersebut tidak diasalkan pada penemuan fakta ilmiah tentang hilal. Artinya, pentingnya metode rukyat tidak lantas hilang untuk menguatkan awal Ramadan hanya karena anggaran. Rukyat harusnya tetap dilakukan dengan biaya yang murah.

Tetapi, alasan dana itu juga suatu petimbangan yang masuk akal dari segi kemanfaatannya. Uang sebesar itu, betapa bermanfaatnya bagi jutaan warga miskin Indonesia yang tidak punya cukup uang untuk memulai Ramadan yang menggembirakan.

Tetapi apapun alasannya, masing-masing telah mengambil jalannya sendiri dengan pertimbangannya sendiri. Keputusan Muhammadiyah menolak sidang isbat dengan alasan penghematan anggaran itu juga kebenaran yang konvensional.

Jadi, kebenaran konvensional masih kita gunakan dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari justru karena bukan kita menolak kebenaran objektif, melainkan agar yang objektif itu menjadi lebih bermakna dan berguna bagi manusia itu sendiri.

Post a Comment

0 Comments