Filsafat dan Kucing Hitam

Oleh: Herlianto. A

Ilustrasi Filsafat dan Kucing Hitam. (Foto: Istimewa)

Mazhabkepanjen.com - Belakangan beredar meme yang menjelaskan dalam suatu analogi cara kerja filsafat, metafisika, teologi dan sains. Awalnya saya kira, itu hanya gurauan. Tetapi, dalam acara bedah buku Secangkir Kopi Filsafat  di STF Al Farabi, Rabu (8/12/2021), meme tersebut direspon dengan antusias oleh para peserta.

Analogi meme itu begini: kerja filsafat itu seperti mencari kucing hitam dalam ruang gelap. Kerja metafisika laksana mencari kucing hitam yang tidak ada di ruang gelap.

Teologi mencari kucing hitam yang tidak ada di ruang gelap tetapi dia bereteriak: aku menemukannya! Sementara sains mencari kucing hitam di ruang gelap dengan menggunakan senter.

Ini adalah analogi sarkastik yang entah dibuat oleh siapa, tetapi sepertinya pegiat filsafat, metafisikus, dan teolog tidak akan membuat meme seperti ini. Yang mungkin pembuatnya adalah kaum saintis atau golongan yang keluar dari kajian filsafat dan teologi karena merasa keduanya sudah tidak bermanfaat.

Meme tersebut ingin menunjukkan betapa sains tampak realistik, sederhana dan masuk akal dalam pencarian objek-objek pengetahuan. Berbeda dengan filsafat yang tak punya alat (metode) jelas, dan sia-sianya metafisikus karena mencari yang tidak ada serta kaum teolog yang suka ngarang, yang tidak ada diada-adakan. Tentu sindirian pada teolog ini adalah soal Tuhan yang dianggap tidak ada.

Meme ini menonjolkan kembali perbedaan atau “pertikaian” antara filsafat, agama dan sains. Yang memang belakangan ini kembali memanas di Indonesia.

Merespon hal tersebut, pertama yang perlu ditegaskan adalah penggunaan analogi sebagai argumentasi. Para pelajar logika tentu menyadari argumentasi demikian, bahwa analogi (tamsil) adalah argumentasi yang paling lemah dari sekian cara berargumentasi yang ada, misalnya dibanding induksi dan deduksi.

Analogi membandingkan hukum suatu objek dengan menggunakan hukum yang ada pada objek lain, yang bisa jadi sama sekali kedua objek tersebut tidak berhubungan sama-sekali. Karena itu, analogi lebih dekat  dengan deskripsi bukan argumentasi.

Perbandingan dua hal yang dianalogikan diambil secara mana suka (sewenang-wenang), artinya analogi juga bisa diotak-atik sesuai keinginan kita sebagai deskripsi serangan balik atas analogi sebelumnya. Termasuk dalam kasus “Filsafat dan Kucing Hitam” ini.

    Baca Juga:

Jika dianalogikan filsafat seperti mencari kucing hitam di ruang gelap, maka dengan melanjutkan analogi ini, filsafat dengan kreativitasnya bisa menemukan kucing hitam itu. Ada banyak cara yang bisa dilakukan filsafat di ruang gelap.

Misalnya bisa menyiapkan jebakan kucing, menyediakan makanan, atau memanggil kucing tersebut, bahkan bisa jadi filsafat menggunakan senter sebagaimana sains.

Karena sebetulnya senter yang digunakan sains adalah milik filsafat yang dipinjam dan belum dikembalikan. Jadi filsafat dalam mencari kucing hitam di ruang gelap bisa menggunakan apa saja untuk memastikan apakah kucing itu ada atau tidak.

Itu yang terlihat dalam sejarah filsafat. Bahwa filsafat tidak pernah menolak sains dan malah menggunakannnya untuk mencapai kesimpulan filosofis lebih lanjut. Karena sejatinya, antara filsafat dan sains adalah tahapan yang linear bukan pertentangan.

Dalam perjalanan hidupnya, manusia tidak cukup hanya menemukan sesuatu, menemukan benda-benda terkecil, menegetahui gerak cahaya, mengetahui gravitasi, dst. Artinya manusia tidak cukup hanya dengan sains an sich. Manusia selalu dan perlu memaknai setiap temuannya. Maka, menemukan dan memaknai temuan tersebut adalah satu kesatuan tak terpisahkan dalam hidup manusia.

Dengan demikian, filsafat akan mengatakan ada kucing hitam jika memang ada setelah melakukan sekian pengecekan, dan sebaliknya mengatakan tidak ada jika memang tidak ada.

Bagaimana dengan teologi? Untuk itu, biarlah kaum teolog yang menjawab. Karena sebetulnya teologi tidak pernah mencari kucing hitam, yang dicari oleh teolog adalah udara yang tidak bisa dilihat tetapi bisa dirasakan.

Ada satu penjelasan yang menarik dari Bertrand Russell dalam buku Sejarah Filsafat Barat. Russell mendefinisikan filsafat sebagai tanah tak bertuan yang menjembatani antara agama dan sains.

Agama datang dengan dokumen, sementara sains datang dengan sekian temuan-temuan. Karena itu, pada agama ada kepakeman sementara pada sains ada kebaruan. Maka, kata Russell, filsafat akan menyediakan ruang takwil atas teks (dokumen) sehingga tidak berlawanan dengan sains. Takwil atau tafsir sebagai upaya rekontekstualisasi suatu teks adalah hal yang absah dan wajar.

Jadi, dengan demikian, filsafat tidak ada soal dengan pencarian kucing hitam di ruang yang gelap, dan filsafat bisa menggunakan perangkat apa saja yang bisa memastikan keberadaan kucing tersebut.  

"
"