Kritik Antropologis Atas Agama

 Oleh: Herlianto A, penikmat kajian sosial
Sumber: multisides.blogspot.com
Jika agama turun sebagai jalan keselamatan bagi manusia, bagaimana mungkin agama menjadi alat dan legitimasi untuk membunuh manusia? Pertanyaan sederhana ini selalu menghantui penulis saat melihat sekian fenomena keagamaan belakangan ini. Selintas benak menjawab: tidak mungkin agama menyarankan pembantaian atas manusia. Semua yang mencederai kemanusiaan akan dengan sendirinya berkontradiksi dengan tujuan agama yang turun bagi kebaikan manusia itu sendiri.

Tetapi rupanya jawaban hipotetis ini kurang tepat saat melihat fenomena keagamaan belakangan ini. Mulai dari pembakaran etnis muslim di Rohingya (Myanmar), pembantaian di Aleppo yang entah siapa pelakunya, bom bunuh diri di Thailand, hingga pelemparan bom molotov yang menewaskan anak kecil di Samarinda. Serta sejumlah bom bunuh diri di tanah air yang ditujukan untuk mencelakai orang lain. 

Mirisnya, sadisme itu terjadi dengan diembeli membela suatu kebenaran agama tertentu. Dengan begitu agama menjelma menjadi raksasa (ideologi) yang kejam nan tak berperasaan. Bayangkan begini: nambrak satu kucing di jalan pengendara motor merasa bersalah dan berdosa sehingga dibarengi dengan penyesalan. Tetapi membunuh puluhan hingga jutaan manusia (beda agama) merasa akan dibalas dengan syahwat bidadari di surga kelak. Pada titik ini agama menjadi mengerikan penuh ranjau kematian. Para penganut agama menjadi generasi nekrofili (cinta kematian) bukan biofili (cinta kehidupan).

Geneologi Pertikaian Agama

Pertumpahan darah atas nama agama bukan hal baru dalam sejarah dunia ini. Dua kholifah umat Islam (Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) tewas dibunuh karena suatu alasan agama. Cucu Nabi Muhammad, Husain dipenggal di Karbala, Hasan diracun oleh istrinya sendiri. Memang ulama beda pendapat soal ini apakah kejadian mengerikan itu atas nama agama atau kepentingan politik. Namun sekalipun itu bukan kepentingan agama, tetapi pelakunya telah mengatasnamakan agama. Artinya agama memiliki potensi untuk disalahgunakan.

Di abad pertengahan perang salib (crussade war) berlangsung hingga 3 ratus tahun antara muslim dan nasrani. Keduanya saling membantai, dan entah berapa juta umat kehilangan nyawa. Perang ini dalam konteks modern dilanjutkan oleh konflik antara Palestina dan Israel yang juga telah membuat banjir darah di kawasan tanah dijanjikan itu.

Bagaimana itu bisa terjadi? Faktor terbesarnya adalah eksklusifisme (tertutup) terhadap konsepsi keyakinannya yang melahirkan fundamentalisme. Sehingga menutup ruang diskusi dan membuat kebenaran menjadi tunggal bagi dirinya. Perbedaan bukan lagi khazanah mencari kebenaran yang lebih tinggi, melainkan ancaman yang mesti segera dibumihanguskan. Cara pandang ini memungkinkan diselipkannya kepentingan politik. Karena itu, fundamentalis membuat diri tidak mampu membaca kepentingan politik yang memang disematkan pada gerakannya.

Fundamentalisme dan eksklusivisme mentransendensi agama sedemikian rupa sehingga pada tingkat tertentu agama malah jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Konsepsinya tentang agama dan Tuhan “diterbangkan ke langit” meninggalkan tatanan kemanusiaan itu sendiri. Padahal konsepsinya tentang agama dan Tuhan bukanlah agama dan Tuhan itu sendiri. Tuhan tetap pada zatnya.

Jika demikian, maka perang yang terjadi bukanlah membela Tuhan dan agama melainkan membela pikiran dan konsepsinya sendiri tentang agama dan Tuhan. Karena hakikatnya meminjam bahasa Gus Dur "Tuhan tidak perlu dibela" manusia tak mungkin menjangkau langit.

Kritik Antropologis

Melihat situasi modus beragama yang terjadi ini, maka memberi pertimbangan atau kritik antropologis atas agama menjadi penting. Kritik antropologi menawarkan cara pandang atas agama dan Tuhan dari sudut manusia, dan bukan dari sudut Tuhan. Sampai kapanpun manusia tidak akan pernah mampu membaca pikiran Tuhan. Jadi membicarakan keadilan atas manusia bukan Tuhan atau menurunkan teodisi (keadilan Tuhan) menjadi antropodisi (keadilan manusia).
Kritik antropologis dalam sejarah agama juga bukan hal baru.

Bahkan pada abad 5 SM sudah lahir Sokrates yang mencoba menawarkan pandangan antropologis atas agama politeisme Yunani. Sayangnya Yunani masih terlalu eksklusif atas Dewanya sehingga orang paling bijaksana itu dihukum mati lantaran dianggap merusak keyakinan kaum muda. Di abad kegelapan juga tidak terhitung berapa nyawa yang melayang lantaran menawarkan pandangan yang inklusif atas suatu tafsir agama. Di Indonesia, Ulil Absar Abdallah hampir saja mengalami nasib yang sama dengan para martir itu. Pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) sudah dituduh kafir dan dihalalkan darahnya. Untung sikap toleran Gus Dur menyelamatkannya.

Kritik antropologi agama penting lainnya diutarakan Ludwig Feuerbach dalam The Essence of Christianity. Bahwa agama hanyalah tempat pelarian manusia saat mengalami ketertindasan dan tak dapat melawan atas para penindas itu. Agama adalah ciptaan manusia itu sendiri. Gagasan ini dipertajam oleh Marx dengan bertanya: mengapa manusia tertindas sehingga lari pada agama. Di sini Marx(is) menemukan pemikiran terbaiknya bahwa telah terjadi eksploitasi ekonomi oleh kelas kapitalis sehingga proletar tak dapat melawan. Proletar kemudian membawa deritanya ke hadapan Tuhannya dan menyerahkan semuanya pada-Nya. Di situ mereka tenang sembari menunggu pembalasan Tuhan. Dengan demikian religion is opium bagi mereka yang tertindas, demikian Marx.

Temuan Marx ini selanjutnya dikembangkan oleh Max Weber, bahwa agama bukan saja candu. Tetapi juga sistem keyakinan dalam agama itu sendiri memungkinkan lestarinya kapitalisme yang menyengsarakan umat. Dalam The Protesta Ethics and Spirit of Capitalism, dia menemukan sesuatu (sikap etis) pada agama Protestan. Bahwa di sana ada ajaran yang mendorong umatnya bekerja sebanyak mungkin sebagai calling (panggilan). Bekerja tanpa lelah, karena kerja adalah jalan mendekatkan diri pada Tuhan. Ajaran ini berhasil dimaksimal oleh kapitalis untuk efektivitas produksinya.

Memang Weber hanya sempat meneliti agama Protestan. Tetapi kita tidak sulit mencari kontekstualisasinya di kehidupan beragama yang lain. Misalnya yang sangat booming adalah label syariah. Apa-apa diembeli syariah pada mereknya. Bank syariah, loundry syariah, guest house syariah, wisata syariah dst. Padahal sama sekali tidak mengurangi niatnya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Hingga akhirnya label syariah hanyalah modus untuk merebut konsumen muslim di tanah air ini.

Lantas bagaimana posisi kritik antropologi agama dengan liberalisme agama? Pada bagian tertentu liberalisme agama memiliki kesamaan dengan kritik antropologi agama: membuka diri untuk berdialog. Tetapi lebih jauh keduanya berbeda. Liberalisme agama berhenti pada kebebasan atas tafsir agama. Tetapi kritik antropologi melanjukannya pada lahirnya keadilan bagi umat itu sendiri. Kritik antropologi menjangkarkan gerakannya pada atas nama (ke)manusia(an). Ia menjaga dengan teguh bahwa agama turun untuk manusia dan bukan untuk Tuhan. Sehingga segala apapun (praktek agama) yang menceradai kemanusiaan akan berhadapan dengannya.

Karena itu, banyak pelaku kritik antropologi agama tetapi tanpa terjerembab dalam liberalisme agama. Misalnya apa yang dicontohkan oleh KH. Hasyim Asy'ari dalam resolusi jihad melawan penjajah, dan pencabutan larangan Marxisme-Leninisme di Indonesia oleh Gus Dur. Kedua tokoh ini berhasil melakukan kritik antropologi yang sesungguhnya atas agama. Baru ini diulang oleh oleh Gus Mus saat membela masyarakat petani Kendeng di Rembang, Buya Syafi'i Ma'arif juga melakukan hal yang sama.

Jadi kritik antropologi agama bukanlah gerakan "mudah klimaks" ala “Islam sumbu pendek”  yang belakangan ini lagi ramai dibicarakan. Yang hanya tersinggung dengan umat mengucapkan selamat natal dan mengenakan atribut natal tetapi santai dengan puluhan manusia yang tewas akibat isu agama. Kritik antropologis jauh menghujam hingga ke dasar kemanusiaan itu sendiri, yaitu keadilan atas umat beragama untuk hidup dan menjalankan segala aktivitas kesehariannya, termasuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.

*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Malang Post, 29/12/2016

Post a Comment

1 Comments