Filsafat Pra-Sokratik: Menu Kosmologi



Oleh: Herlianto A

Sumber: yanamadyana07.wordpress.com

Hampir setiap perubahan besar dalam pemikiran diawali dengan kembali pada the miracle of Greek. Renaisans (rebirth: abad 15 M)−pintu masuk abad modern−jelas berpijak pada Yunani dan kemudian melepaskan the middle age. Aufklarung (abad 17 M) juga mengalami romantisme yang sama dengan renaisans. Pun kejayaan pemikiran Islam juga membuka pintu peradaban Yunani seluas-luasnya di tanah Arab. Muncullah komentator-komentator handal filsuf Yunani, seperti: Al Khindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusdy, yang kemudian disebut mazhab paripatetik.

Berangkat dari kenyataan ini, tidak berlebihan sebenarnya jika kita mulai segala yang berkaitan dengan pemikiran (filsafat) dari membedah Yunani. Namun, impossible  rasanya makalah singkat ini dapat mengulas hiruk-pikuk dan kompleksitas tanah para filsuf itu secara tuntas. Karenanya akan membatasi diri pada pemikir-pemikir Pra-Sokrates, itupun juga masih sangat luas. Alhasil, daripada tidak sama sekali, mending ada meskipun bentuknya slide-slide.

Pada dasarnya pemikir Pra-Sokrates berkutat pada kosmologi (dari kata cosmeo: kecantikan/ketertaan) yaitu dengan pengetahuannya mencoba menemukan hakikat alam atau prinsip-prinsip utama (arkhѐ) yang mendasari alam semesta. Dalam perdebatan kosmologi, Pra-Sokrates  pecah ke beberapa mazhab dan sekte-sekte. Di antaranya: mazhab Miletos, Phytagorean, Herakleteian, Monis, dan Pluralis.

Siapapun yang ingin belajar “balapan” di sirkuit Pra-Sokratik akan dihadapkan pada soal yang sama, yaitu terbatasnya tulisan dari para pendekar-pendekar filsafat tersebut, bahkan ada filsuf yang tidak menulis sama sekali. Keberadaan mereka sejauh ini diulas oleh Platon dan Aristoteles, selebihnya berbentuk syair-syair, misalnya himne Homerus dan Hesiod yang kini sedang dikumpulkal oleh para ahli.

Mazhab Milesian: Arkhѐ

Mula-mula mazhab ini diampu oleh mbah Thales (625-545 SM) yang hidupnya sebagai pelayar dan singgah di sekitar aliran sungai. Dia memberi jawaban tak lazim soal apa yang menjadi prinsip dasar alam semesta. Dia keluar dari mitologi dengan menemukan air sebagai dasar segala sesuatu. Suatu keberanian ilmiah pertama dalam tradisi masyarakat yang diselimuti oleh tangan dewa-dewa dan mitos. Kebesaran Thales juga karena berhasil memprediksi gerhana matahari pada 28 Mei 585 SM, membuat namanya masuk dalam daftar orang paling bijak Yunani.

Murid Thales, Anaximandros (610-540 SM), melanjutkan ajaran gurunya. Dia mengamati anasir alam lainnya: angin, tetapi dia justru melampaui anasir itu. Filsuf yang lahir di Miletos ini merumuskan yang tak terbatas (infinite)yang disebut to apeironsebagai dasar dari segala sesuatu.  Infinitas ini bersifat abadi dan tidak berubah. To apeiron  sebagai arkhѐ  adalah asal dari segala hal dan kepadanya segala hal akan kembali. Prinsip ini menjadi embrio term “ada” di gelanggang filsafat modern.

Kemudian dilanjutkan oleh Anaximenes (538-480 SM). Dia juga melakukan upaya pencarian prinsip utama, dengan sedikit memodifikasinya sehingga yang ultimate itu bukan air, bukan to apeiron melainkan kabut (sebagian sejarawan menyebut udara). Selain itu, filsuf ini dikenal perumus konsep kuantifikasi yang menjadi dasar untuk memastikan kualifikasi. Misalnya, Malang sebagai kota bunga (kualitas), predikat ini muncul setelah melihat banyak kawasan yang dihiasi bunga (kuantitas)[2]. 

Mazhab Phytagorean: Angka-angka

Sekte ini dimentori oleh Pythagoras (580-500 SM). Saat duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) nama ini sudah akrab di telinga. Hal itu karena temuan dia yang sangat terkenal: teorema Phytagoras. Filsuf asal Samos ini menjangkarkan teori kosmologinya pada matematika, bahwa segala sesuatu dapat dimatematiskan. Dalam matematika segala angka berasal dari angka satu. Satu juga bisa dimaknai sebagai ketakterbatasan, ini terjadi jika kita mencoba mengurut dari angka satu ke atas (1,2,3,4,5,6,…..dst) atau ke bawah (1,-0,9-,0,8-0,7,-……dst), sama-sama tak berhingga.

Bagi Phytagoras ketertatan dan harmoni alamlah yang memungkinkan alam dapat dipahami dengan angka-angka. Hal ini membuat Will Durant dalam The Lifes of Greek menyatakan bahwa penelitian ilmiah modernyang meng-angkakan fenomenaasalnya dari Phytagoras. Kajian sosial, kajian kimia, kecantikan, bahkan lulus atau tidaknya mahasiswa dari kampus juga karena angka-angka.

Phytagoras juga merumuskan ajaran tentang migrasi jiwa (metempsychosis) yaitu bahwa jiwa mengalami perpindahan dari satu badan ke badan lainnya. Saat tubuh seseorang meninggal maka jiwanya tidak punah melainkan masuk ke tubuh lainnya[3]. Ajaran reinkarnasi ini juga dianut umat Budha. Memang Siddharta Gautamapendiri Budhismehidup sezaman dengan Phytagoras. Tetapi tidak ditemukan risalah siapa yang mempengaruhi siapa. Phytagoras tewas dibunuh oleh raja Cylon penguasa Krotona.

Sekte Herakleitian: Kontradiksi

Herakleitos (540-475 SM) adalah tokoh aliran ini. Dia merumuskan konsep yang sangat berarti dalam filsafat modern yaitu kontradiksi (unity of opposite). Segala yang ada tak lain adalah  pertentangan yang kemudian berdamai dengan dirinya sendiri, dan dari hal-hal yang berlawanan ini menghasilkan harmoni.[4] Pertentangan dalam arti Herakleitos adalah:

“Yang baik dan yang buruk adalah satu ”. “Yang menanjak dan menurun adalah satu dan sama”.“Dewa adalah siang dan malam, musim dingin dan panas, perang dan perdamaian, kenyang dan kelaparan…….”[5]

Gagasan dialektik tersebut menuai banyak respon, salah satunya dari Parmenides dan Aristoteles. Berbekal prinsip identitas, Aristoteles melawan bahwa Herakleitos menyamakan “kontradiksi” dengan “kontradistingsi”. Yang dibahas Herakleitos bukan kontradiksi melainkan kontradistingsi, karena siang dan malam adalah dua hal yang berbeda. Dala arti prinsip identitas, kontradiksi tidak mungkin bagi Aristoteles: tidak mungkin siang sekaligus malam. Dengan demikian kontradiksi ditolak.

Kalau begitu, apakah berarti konsep kontradiksi Herakleitos dinyatakan KO (Konck Out) di ring. Mari kita renungkan ini: kopi adalah bukan susu. Kalimat ini mengatakan bahwa susu hadir secara negatif dalam kopi. Kopi dipahami sebagai kopi sejauh relasinya dengan yang non-kopidalam hal ini susu. Jadi kopi identik dengan dirinya sendiri sejauh ia identik dalam relasinya dengan yang lain. Dengan demikian kopi adalah kopi sekaligus bukan kopi, begini maksud Herakleitos? Pada “relasi internal inilah filsafat  G.W.F. Hegel dan K.H. Marx dibangun[6].

Selanjutnya, pertentangan mengakibatkan gerak tak berkesudahan. Perubahan terus terjadi sebagaimana tesis-antitesis-sintesis yang terus berpacu, sehingga semesta ini tak lain selain becoming (menjadi). Pernyataan terkenalnya: orang tidak akan turun pada air yang sama di sungai yang sama. Kenyataan baginya metafor dari api yang terus membakar dan mencipta perubahan.

Mazhab Monis: Being

Kaum monis berkeyakinan bahwa semesta ini satu dalam keutuhan, tak beruang, tak bergerak, tak bermula, dan tak berakhir. Mahaguru ajaran ini adalah Parmenides (540-475 SM). Plato membuat buku khusus berjudul “Parmenides” untuk menampung ajarannya. Buku itu berisi dialog antara Parmenides dengan Sokrates soal ada (being). Apakah “ada” itu satu atau banyak, serupa atau tidak serupa, berubah atau tetap? Parmenides membuka dua ruang epistemologi dalam menjawab ini: aletheia (jalan kebenaran) dan doxa (jalan pendapat-persepsi).

Melalui pendekatan aletheia, dia menjawab “yang ada” adalah “ada” (what is, is). Realitas itu satu adanya yaitu sebagai being atau hal ada[7]. Ada adalah realitas paling sederhana dan paling mencakup, tidak ada lagi yang mencakup Ada. “Yang tidak ada” adalah “tidak ada”, artinya tidak mungkin menjadi objek pemikiran. Sebenarnya, Parmenides memilih diam jika ditanya soal “tidak ada”, karena menjelaskan “tidak ada” berarti mendefinisikan “tidak ada” karenanya berarti juga membuktikannya.

Jawaban Parmenides ini mengimplikaskana beberapa hal: 1) prinsip ketidak-berubahan, 2) prinsip tidak akan hancur: hal ada itu tidak mungkin tidak ada, 3) prinsip mengesampingkan kemungkinan ketiga: tidak ada kompromi antara ada dan tiada, 4) prinsip identitas: bahwa hal ada itu senantiasa setara dengan dirinya sendiri, tidak mungkin lebih atau kurang dari. Pedebatan tentang Parmenides ini mengemua dalam salah satu cabang filsafat yaitu ontologi.

Zeno (490 SM) termasuk dalam mazhab ini, dia mencoba mengarumentasikan lebih jauh tentang ada. Dia menolak adanya ruang, baginya ruang pastilah menempati ruang yang lainnya, ruang yang lainnya juga menempati ruang yang lainnya lagi begitu seterusnya: ruang dalam ruang, karenanya itu mustahil. Sementara soal ada yang banyak, menurut dia juga mustahil karena yang banyak itu dapat dibagi, dan bagiannya dibagi lagi begitu seterusnya hingga tidak memiliki ukuran. Dan sesuatu yang tidak memiliki ukuran tidak akan pernah bisa mencapai besar suatu barang. Karenanya itu tidak ada[8].

Selain itu, gerak juga menjadi tidak mungkin, karena gerak mensyaratkan awal dari gerak dan jarak tempuhnya. Sehingga selalu menyisakan jarak antara subjek dan yang dituju. Perumpaan dia yang terkenal adalah pelari yang tak pernah finis di stadion dan Achilles yang tidak pernah memenangkan lomba lari dengan kura-kura.

Tokoh selanjutnya adalah Xenophanes (570-480 SM). Konsepsinya sebenarnya lebih dekat pada soal teologi. Dia menolak adanya politeisme (theogoni) yang lazim dalam masyarakat Yunani kala ini. Baginya Tuhan tidak mungkin berwujud seperti manusia. Apa yang diyakini manusi soal Dewa-Dewa adalah bayangan imajinasinya saja. Andai saja kuda memiliki tuhan pasti tuhannya akan juga berbentuk seperti kuda, demikian juga kambing, kucing dan hewan lainnya. Sehingga ia mentransendensikan Tuhan sebagai yang tak tersentuh, paham ini cenderung monoteis.  
 
Mazhab Pluralis: Spermata dan Atom

Dalam The Structure of Scientific Revolution, Thomas Kuhn menyatakan bahwa suatu teori tidak serta merta muncul terlepas dari pendahulunya, semua konsepsi yang ada adalah mata rantai yang tak terputus, sekalipun wujudnya berupa penolakan. Benar saja, mazhab pluralis hadir untuk merespon kaum monis. Aliran ini difasilitatori oleh Empedokles (492-432 SM). Dia merumuskan bahwa realitas tersusun seluruhya oleh empat anasir (stiokheia): Air (basah), Udara (dingin), Api (panas), dan Tanah (kering). Dari keempat stoikheia  ini jika diatur dengan komposisi yang tepat maka akan lahir benda-benda di sekitar kita. Dia mencontohkan tulang yang terdiri dari tanah, air, dan api. Perubahan komposisi akan mengubah jenis/esensi benda.

Sementara yang mengatur komposisi perubahan atas anasir-anasir tadi adalah dua prinsip: philotes (cinta) dan neikos (benci). Cinta menggabungkan anasir sementara benci memisahkannya. Melalui dua prinsip ini, Empedokles menjelaskan “daur ulang” semesta. Mula-mula benci mendominasi dimana semesta dalam keadaan sempurna. Lalu benci mulai masuk, dan perlahan menceraikan anasir yang padu, kemudian benci menguasai sehingga anasir terberai sepenuhnya. Selanjutnya cinta kembali masuk memadukan lagi, dan begitu seterusnya siklus realitas[9].

Anaxagoras (499-420 SM) melihat realitas lebih plural lagi. Baginya realitas tersusun atas sepermata (benih-benih), sayangnya panca indera tidak dapat mencerap benih-benih ini. Senada dengan Empedokles, setiap benda mengandung benih-benih ini dengan komposisi tertentu. Misalnya, pada emas pasti ada benih perak, besi, tembaga dst. Apa yang menyebabkan komposisi ini berbeda? Menurutnya ada kekuatan spritual yang mengatur itu yang disebut nous (roh atau rasio). Ia tidak bersifat meterial sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti[10].

Demokritos (460-370 SM), menurut penulis hanya membahasakan ulang spermata. Dia menggunakan atom (atomos: a= tidak dan tomos= terbagi). Atom adalah unsur terakhir yang tidak dapat dibagi lagi dan jumlahnya tidak berhingga. Atom-atom tidak memiliki kualitas seperti pahit, manis, asem dst. Rasa pada manusia adalah apabila jiwa manusia bersntuhan dengan atom-atom yang licin. Intekasi ini mungkin karena memang jiwa manusia juga berasal dari atom. Menurut K. Bertens, Demokritos membuka kemungkinan adanya pengenalan inderawi manusia, yang selanjutnya dikembangkan John Lock dengan konsep tabularasa.[11]

Dengan demikian, pada dasarnya filsafat Pra-Sokratek merupakan perdebatan dalam upaya menemukan prinsip utama tentang yang mendasari alam dengan cara terlepas dari kerangka ke-Dewaan yang diyakini masyarakat Yunani saat itu. Jadi spirit Pra-Soktarik adalah keluar dari kunkungan agama.   



[1] Disampaikan dalam kajian Filsafat dan Interdisipliner Malang
[2] K. Hamidjojo. (2012). Filsafat Yunani Klasik: Relevansi Untuk Abad XXI.Yogyakarta: jalasutra., hal 43
[3] Ibid., hal 52
[4] Bertrand Russels.(2007). Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal 58
[5] Kutipan Herakleitus ini diambil dari Bertran Russels., hal 59
[6] Martin Suryajaya. (2012). Meterialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book.,hal 3
[7] Ach. Dhofir Zuhry. (2015). Mencangkul di Yunani. Malang: Pustaka Al Farabi., hal 52
[8] Mohammad Hatta.(2006). Alama Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press., hal 25
[9] Kees Bertens. (2006). Sejarah Filsafat Yunani.Yogyakarta: Kanisius., hal 67-69
[10] Simon Petrus L. Tjahjadi. (2004). Petualangan Intelektual: Konfrontasi Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka Filsafat., hal 24-25
[11] Op. Cit., hal 78

Post a Comment

0 Comments