Kehendak Komunis

Oleh: Herlianto A

Sumber: history.com


Andai saja tak terjadi peristiwa Oktober 1917 di Soviet, tak ada tragedi Tiananmen di Cina, G-30/S/PKI, dan tragedi berdarah lainnya yang distigmakan pada “komunis”. Mungkin saja obrolan kita soal komunis hari ini akan seindah membincang surga. Sungai susu dan madu yang mengalir, pohon-pohon rindang sejuk, buah-buahan berbinar segar. Semua dapat kita minum dan makan kapan saja.

Termasuk juga para bidadari yang “gelis-gelis” menggairahkan. Bahkan lebih dahsyat dari itu seperti yang dibayangkan para ustad belakangan ini yaitu ada pesta nganu, pekekerjaan hanya memecah perawan, belum sempat junub nganu lagi. Inilah suatu pesta. Wuhhhh…. saking indahnya komunis itu. Tetapi peristiwa sejarah mengubah semua bayangan itu.

Kita begitu phobia, ketakutan dengan ungkapan komunis. Suasana mencekam semencekam kisah-kisah sastra yang diangkat pasca 65, termasuk film G-30/S/PKI. Buku-buku yang bercover komunis disita, diskusinya dibubarkan, dan orangnya “diamankan”. Lalu ada yang berteriak-teriak kebangkitan komunis agar ketakutan itu tetap lestari. Mereka membuat sendiri bendera palu arit lalu dibakar sendiri juga. Begitulah ekses eksperimen komunis yang tidak berhasil di masa lalu. Peritiwa itu memberi pengalaman tidak enak pada manusia hari ini.

Namun sebetulnya bagaimana proposal komunis menceritakan masa depan manusia? Apa yang diajukan komunis sebetulnya adalah kehendak dasar manusia, yaitu hidup setara. Hidup untuk diperlakukan sama sebagai manusia dengan manusia lainnya, baik secara budaya pun hukum.

Akses yang setara terhadap kekayaan, terhadap alam, dan sumber-sumber kehidupan lainnya. Distribusi yang sama atas kemesraan, cinta dan kasih sayang. Hak diberikan sesuai dengan kewajiban yang ditunaikan. Pendapatan didapat sesuai dengan kerja yang dilakukan. Tak ada in come bagi yang tidak bekerja apapun alasannya, termasuk klaim kepemilikan.

Tak ada monopoli kekayaan atas nama kepemilikan yang memungkinkan satu orang mengakumulasi modal sebesar-besarnya. Lalu menginjak leher ratusan tetangganya dengan kontrak kerja. Ini pula yang memungkinkan dia memonopoli cinta dan kasih sayang atas nama poligami. Satu orang merapel dua hingga empat pasangan. Atau kalau tidak, membelanjakan uangnya yang berjibun itu di perdagangan anu level nasional kelas-kelas artis.

Kehendak setara ini bersemi sedemikian rupa dalam setiap peradaban manusia, termasuk peradaban kuno yang dianggap maju seperti Yunani klasik. Wajar jika membaca salah satu karya Plato ditemukan kehendak untuk setara itu. Walapun tak lama kemudian tenggelam kembali bersama bangkitnya peradaban Romawi dan abad pertengahan.

Tetapi kehendak itu tak akan pernah sirna, terbukti tak lama berikutnya, muncul lagi di abad ke 18 bersamaan dengan revolusi Prancis yang menggemparkan itu. Lalu diteorikan oleh Marx menjadi kajian rasional. Tak pelak, komunis menyebar di hampir spertiga umat dunia. Harapan kesetaraan itu betul-betul akan segera terwujud. Tetapi apa daya takdir berkata lain, sejarah bergerak ke arah yang tak diinginkan.

Tragedi demi tragedi terjadi yang entah karena segaja diciptakan atau memang terjadi atas kesalahan manusia dalam memahami takdir sejarahnya. Komunis didasteri baju sundel bolong. Tak pelak dunia mengutuknya dengan ketakutan. Satu-satu persatu pelopornya terpeleset dan jatuh. Lalu Fukuyama berkata sambil roko’an inilah the end of history.  Medali diberikan pada kapitalisme-liberalisme, yang hingga hari ini menjadi juara bertahan di pentas sejarah.

Tetapi adakah api kesetaraan itu betul-betul padam? Tidak, sama sekali tidak. Hidup setara atau komunis adalah kehendak manusia itu sendiri. Tak ada yang ingin diperlakukan dengan tidak setara. Gatot Nurmantyo ingin seperti yang lain diberikan hak untuk mencalonkan presiden misalnya, begitu juga dengan Din Samsuddin, si Rocky Gerung, si Amin Rais, semua kolega-koleganya. Termasuk aktor-aktor pemerintah. Mereka mau hidup setara.

Mereka berteriak “komunis” dalam bahasa yang lain tetapi dalam konsep yang tak begitu berbeda. Mengecam komunis atas ekses aktor-aktornya di masa lalu, tetapi spiritnya equality, egality, dan fraternity. Sialnya, kapitalisme tak pernah betul-betul bisa mewujudkan kesetaraan sehingga memungkinkan api perlawanan akan membakar kapan saja bila mau.

Artinya sejarah belum berakhir. Sejarah berada pada kontinumnya yang masih berputar mencari titik ekuilibrium di mana tak ada lagi bahan bakar untuk sebuah revolusi, yaitu tiadanya alienasi, proletarisasi, dan penindasan sejenis lainnya. Untuk itulah hidup setara menjadi idealisasi yang terus dipikirkan manusia bagaimana mewujudkannya, dan eksperimen apa yang memungkinkan untuk itu.

Dengan demikian, kehidupan setara adalah impian setiap manusia, begitu dilabeli “komunis” maka akan melahirkan trautama. Tetapi kehendak itu tidak akan padam, karena itu apa yang diperjuangkan manusia hari ini adalah upaya memberi nama lain terhadap kesetaraan selain label komunis dari manapun asalnya dan apapun agamanya.

"
"