Alquran dan Kesuciannya

Oleh: Ahmad Dahri, penulis buku “Hitamkah Putih Itu”
Sumber: madaninews.id

Dialog aporetik antara sarjana muslim dan sarjana barat adalah tentang autentisitas dan originalitas wahyu atau kalam Allah. Wahyu, dalam hal ini Alquran, bukan sebatas teks dengan bahasa yang indah yang mengisahkan cerita beragam dan ilmu pengetahuan.

Lebih dari itu, Alquran memiliki otoritas sebagai sumber pengetahuan, tetapi hanya akan menjadi bacaan saja ketika berhenti pada aspek bahasa. Karena itu membaca Alquran sebagai kajian puitika justru akan melemahkan otoritasnya sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia.[1]

Banyak pemikir menilai kitab suci terakhir ini sebagai teks agung, salah satunya Muhammed Marmaduke Picthall (1875-1936). Dalam pengantar bukunya The Meaning of The Glorious Qoran), dia menegaskan bahwa Alquran adalah kalam Allah yang memiliki nilai transenden. Ia bukan hanya sebatas bacaan tetapi teks suci yang perlu perenungan mendalam untuk memahami maksud setiap kalimat di dalamnya.  

Alquran memerlukan tafsir untuk memahaminya, yaitu menduga makna dari sebuah kalimat di dalamnya. Memberi gagasan tentang suatu hal dari perpaduan perkiraan dan pengetahuan. Dengan kata lain, untuk memahami Alquran sebagai bacaan suci perlu adanya keyakinan yang kuat terhadap Tuhan agar mampu menangkap pesan moral-Nya.


Pesan moral yang dimaksud adalah seperti yang dikemukakan tokoh nasionalis di Turki, Ziya Gokalph (w. 1924). Dia mengatakan bahwa “Suatu negara di mana di sekolah-sekolah mengajar Alquran pada setiap orang, dalam bahasa (turki, bisa dipahami dengan bahasa yang lain) merupakan fakta bahwa tiap orang tua dan muda dapat mengenal perintah Tuhan.”[2]

Mengenal perintah Tuhan di dalam Alquran adalah dengan membaca secara mendalam dan keyakinan yang kuat kepada Tuhan. Alquran adalah kalamullah, risalah terakhir untuk umat manusia. Melalui Nabi Muhammad yang meruang dan mewaktu. Ia juga terpelihara keasliannya, dari segi bahasa tanpa perubahan, tambahan maupun pengurangan.

Walaupun dalam konteks penafsiran Alquran ditemukan pertautan antara kaum revisionis dan orientalis. Bagi mereka tafsiran Alquran mesti dibuat sejalan dengan ukuran kebenaran agama Kristen (baca: Sejarah Teks al Quran, dari wahyu sampai kompilasi, 2014).

Tentunya hal ini mengganggu pola pikir dan sikap ruhaniah kaum muslim. Tetapi akan menjadi pelajaran yang berharga, ketika membaca Alquran sebagai proses mengulik pesan yang disampaikan Tuhan kepada umat manusia bagaimanapun pola interpretasinya.

Philiph K. Hitti menegaskan bahwa bangsa Arab adalah keturunan Nabi Ibrahim melalui Ismail. Alquran mencatat bagaimana mimpi Nabi Ibrahim ketika diperintah oleh Allah untuk menyembelih Ismail.

Kemudian setelah itu, Nabi Ibrahim berdoa “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menetapkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami, agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka beryukur.[3]

Doa tersebut menjadi bukti sejarah atas keberlangsungan kota Mekkah, atau Bakkah. Rekam sejarah yang terdapat di dalam Alquran menjadi salah satu bukti bahwa ia bukan semata  jejak historis tetapi memuat beragam prediksi. Reza Aslan mengutip pendapat Kenneth Cragg menyebutkan bahwa “Alquran adalah peristiwa paling penting dan sejarah Arab.”

Maka, bukan dibuat-buat ketika Alquran yang dicetak pada masa kekhalifahan itu memuat prediksi yang akan terjadi berapa ratus tahun ke depan. Pandangan objektifnya adalah Alquran menjadi epistimologi bagi kaum muslim, pun bagi non-muslim yang mempelajarinya.

Sebagai kitab suci, Alquran juga mengalami proses panjang sehingga menjadi mushaf seperti yang kita baca sehari-hari. Walaupun tidak sedikit orientalis yang berusaha membantah kemurnian dan keasliannya.

T. Lester yang mengutip pendapat Andrew Rippin bahwa “bacaan yang berlainan dan susunan ayat-ayat kesemuanya teramat penting. Semua orang sependapat akan masalah ini. Naskah-naskah ini menyebut bahwa sejarah teks Alquran di masa lampau melebihi dari sebuah pertanyaan terbuka dari apa yang lazim dianggap orang banyak: teks itu tidak tetap dan memiliki kekurangan otoritas dari anggapan yang ada.”[4]
Otoritas Alquran tampak ketika seorang muslim, baik cendekiawan atau awam, benar-benar memuliakannya. Bahkan tidak akan memegangnya sebelum mereka dalam keadaan suci (wudlu). Pun tidak sedikit yang merujuk Alquran (siapapun) ketika membahas topik-topik yang dianggap penting.
Suha Taji Farouki, seorang ahli dalam bidang pemikiran Islam modern, mengatakan bahwa “jutaan orang merujuk Alquran setiap hari untuk membenarkan aspirasi atau menjelaskan tindakan mereka.” Ia juga mempertimbangkan skala referensi langsung terhadap Alquran dalam kehidupan dewasa ini. Di mana hal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya.
Pertanyaan sederhananya adalah bagaimana membaca Alquran, jika tidak merujuk pada bahasanya? membaca kitab suci patutnya diawali dengan keyakinan yang kuat terhadap Tuhan. Mengapa? Karena Alquran menjadi rangkaian pesan moral-Nya.
Seperti yang dicontohkan oleh putra Ma’bad, Abdullah Ibnu Mas’ud, bahwa ia merasa khawatir ketika akan melantunkan Qs Ar Rahman. Ia khawatir akan kaum Qurays yang lain, tetapi karena dorongan dan keyakinan kuat atas bimbingan Nabi Muhammad maka ia membacanya dengan penuh keyakinan. Bahkan, sama sekali hilang kekhawatiran itu ketika ia ditekan oleh kaum Qurays yang mendengarnya.
Dengan kata lain, membaca kitab suci bukan hanya memperindah lantunannya, tetapi membangun keterkaitan antara Alquran dan pembaca. Dengan harapan mampu mengambil pesan moral yang disampaikan Tuhan bagi umat manusia.

[1]  Warisan Intelektual Islam, Nurcholis Majid.
[2]  Sejarah Teks Al Quran, M. M. Al  A’zami
[3]  (Qs: Ibrahim, ayat 37)
[4]  Literary Analysis of Quran, Tafsir, and Sira: The Methodologies of Jhon Wansburg. Andrew Rippin.  Perlu kiranya dicatat bahwa cetakan miring yang tertera di atas menjadi satu penilaian konyol terhadap orang yang benar-banar mempelajarai tentang naskah asli: hal ini adalah tipikal keilmuan dan pendekatan yang ajeg dilakukan oleh para orientalis.

Post a Comment

0 Comments