Agama, Tradisi dan Negara “Memperebutkan” Selangkangan


Oleh: Herlianto A
Sumber: titiknol.co.id

Kita mulai dengan mentandakurungkan (epoch) agama, tradisi, dan negara lalu pertanyakan “mengapa orang yang mendayagunakan selangkangannya sesuai kepentingan pribadinya justru dianggap salah?”

Apakah berseksual ria pada hakikatnya sebelum diatur oleh apapun adalah memang buruk sehingga salah? Atau keburukan datang setelah pengatur berupa agama, tradisi, dan negara datang mengatur sesosok dan segumpal daging itu?

Saya kira pertanyaan-pertanyaan ini penting didiskusikan sebelum justifikasi buruk atas seks bebas dibuat, dan sebelum berteriak “selangkanganku milik pacarku” di jalanan itu. Lebih-lebih ditengah euforia agama(wan), tradisi, dan negara “memperebutkan” sekalangkangan. Yang mana masing-masing institusi sosial itu berlagak seperti seorang mesiah yang ingin menyelamatkan segumpal daging.

Agama tak tanggung-tanggung memberikan ancaman siksa neraka yang amat pedih bagi yang melanggar aturannya. Lalu tradisi ikut turun tangan, memberikan sanksi sosial bagi pelanggarnya. Di Kota Malang, sanksinya agak sedikit lebih unik dan sedikit material.

Bagi pasangan kumpul kebo yang tertangkap harus membeli semen (20 sak) untuk disumbangkan ke daerah setempat. Katanya untuk pembangunan tempat ibadah. Aneh memang, rumah ibadah dibangun dari hasil tangkapan kumpul kebo.


Lalu disusul oleh negara. Di Eropa jauh di abad tengah negara sudah mengatur seks. Ratu Victoria I tentu yang paling diingat dalam hal ini yang mengatur seks menjadi bermoral apabila dijalankan sesuai preskripsi yang disediakan oleh negara. Michel Foucault menjelaskan secara gambling sejarah kisah ini dalam “Sejarah Seksualitas”.  

Namun Eropa sudah merevolusi monarki seksual itu, dan kini mereka lebih sesuai selera dalam menggunakan organ intimnya dengan tanpa memaksa dan dipaksa oleh siapapun. Negara hanya hadir sejauh terjadi pemaksaan dan kerugian publik lainnya. Sementara negera +62 belakangan ini ribut soal pengaturan seks ini hingga didemo berjilid-jilid.  

Baiklah, kita kembali ke persoalan awal di atas. Tanpa konstruksi agama, tradisi, dan negara, yang kita amati dari seks itu adalah maskulin A dan feminim B meng-intercourse-kan bagian tertentu dari tubuhnya. Mereka lalu sama-sama mendapatkan kenikmatan.

Intercourse itu mereka lakukan karena ada dorongan biologis (biological drive) dari tubuhnya sendiri, sehingga terjadi peristiwa yang disebut seks. Berarti seks adalah kebutuhan setiap individu yang menuntut pemenuhan.

Jika amatan ini diterima, maka ada dua poin penting yaitu intercourse dan dorongan biologis. Intercourse berarti melibatkan dua pihak, segala aksi solo macam masturbasi dan onani tidak termasuk seks dalam arti itu, begitu juga hanya berduaan (feminim-maskulin) tidur-tiduran di kamar tertutup tidak bisa disebut seks jika tanpa intercourse. Dorongan biologis artinya seks adalah hakikat yang harus dipenuhi oleh mahluk bilogis itu sendiri. Poinnya, seksual harus dipenuhi tetapi perlu melibatkan orang lain.

Persis ketika berhubungan dengan orang lain ini, manusia adalah bagian dari komunal. Karena itu seks mensyaratkan kesepatakan atau kehendak bersama untuk melakukannya. Maka, memaksakan kehendak seks pada orang lain menjadi mengganggu kebebasan orang lain untuk memilih patner seksnya.

Segala pemaksaan seks menjadi terlarang karena mengkhianati kebebasan orang lain. Sebagaimana orang lain tidak boleh memaksa seks pada diri karena mengganggu kebebasan diri. Saya kira inilah tatanan awal tentang seks yang muncul dari hal yang paling diri pada manusia yaitu kebebasan. Artinya sejak mulanya seks memiliki tatanan.

Seks mensyaratkan pengaturan sejauh demi kebebasan itu sendiri. Segala pemaksaan adalah pemerkosaan yang dianggap jahat. Dalam hal ini, agama, tradisi, dan negara sepakat dan sama-sama menjaga kebebasan. Segala aturan yang dikeluarkan ketiganya untuk menjaga kebebasan menjadi dapat diterima, atas nama kebebasan.

Namun soal muncul pada kasus seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Yaitu seks yang  bebas tanpa tekanan dan pemaksaan dari siapapun. Malah kedua belah pihak merasa sama-sama untung. Jika peran agama, tradisi, dan negara diandaikan hadirnya demi menjaga kebebasan, apakah berarti pada seks yang dilakukan atas kehendak bersama membuat peran dari ketiga institusi itu menjadi gugur? Karena memang syarat kehadiran perannya tidak terpenuhi. Di sinilah problem yang muncul sejauh ini menurut saya.

Kenyataannya memang agama memiliki definisi tentang manusia, di antaranya manusia berbeda dengan hewan, manusia diutamakan ketimbang mahkluk lain. Karena itu pemenuhan seksual manusia tidak bisa dilakukan seperti hewan, sekalipun ada rasa suka-sama suka. Ada tahapan dan pagelaran kesucian yang harus dilalui untuk membuat seks itu boleh. Begitulah agama mengkonsepsi manusia.

Dengan demikian, buruknya (maksim) seks bebas bukan datang dari praktik seks itu sendiri, lebih-lebih seks yang dilakukan secara suka sama suka. Melainkan datang dari konstruksi luar seks termasuk agama dengan segala pertimbangan tentang hakikat manusia.  Lalu dibenarkan oleh tradisi selanjutnya dijunjung oleh negara. Saya kira begitulah posisi agama, tradisi, dan negara terhadap seks.

Dengan demikian, alasan pengaturan seks oleh agama, tradisi, dan negara tidak berasal dari seks, melainkan dilihat dari pandangan luar seks itu sendiri. Apakah itu untuk kebaikan seks atau sebaliknya? tentu perlu diskusi yang lain.

Post a Comment

0 Comments