Gus Dur Membela Negara Bukan Pemerintah


Oleh: Herlianto A
Sumber: laduni.id

Adegan Gus Dur mengenakan celana pendek dan kaos oblong di istana negara sembari melambaikan tangan sebagai simbol perpisahan 2001 lalu, merupakan satu sesi tragedi politik pelengseran pemerintah yang paling menyayat di negeri ini. Tetapi rupanya penjelasan Gus Dur tentang mengapa “berdrama” begitu, jauh lebih menyayat lagi. Dia bilang bahwa itu semua agar tercipta suhu politik yang sejuk dan sebagai pernegasan bahwa tak ada kekuasaan yang perlu dipertahankan mati-matian.

Sampai di sini saya menafsiri adegan itu sebagai pelajaran simbolik paling berarti tentang berpolitik dan bernegara yang pernah disampaikan oleh presiden Indonesia. Dengan itu Gus Dur ingin menegaskan bahwa yang harus dibela mati-matian adalah negara bukan “pemerintah” (kekuasaan). Lalu, dari mana pandangan ini datang? Kita tahu Gus Dur adalah pembaca yang ulung, tak hanya politik, agama, dan kebudayaan tetapi juga filsafat juga dilahapnya.

Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan adalah, saya kira, buku penting mengorek relasi sikap politik Gus Dur tentang negara dan pemerintah. Buku ini dengan sangat luas membeberkan bagaimana pembacaan Gus Dur terhadap peristiwa politik di negara-negara (Islam) timur tengah, khususnya. Yang dilanjutkan dengan pembacaannya atas tradisi politik dalam Islam yang telah dipraktikkan dan diteorikan oleh para pemikir Islam kenamaan.


Dari sekian pembacaan atas peristiwa politik bernegara di timur tengah, memang Gus Dur menaruh perhatian terhadap Iran, ketimbang Arab Saudi, Mesir, Libya dan Pakistan, sebagai negara yang berhasil merdeka dari India. Baginya, Iran termasuk negara yang berhasil memanifestasikan nilai Islam dalam suatu gerakan revolusi tahun 1979. Dia kembali menegaskan bahwa spirit revolusioner dalam Islam semakin tak diragukan lagi.

Walaupun demikian, Dus Dur memberikan kritik mendasar atas cara bernegara di Iran terutama pasca revolusi. Menurutnya, pada momen menjelang dan saat revolusi Iran menjadi negara yang merpraktikkan demokrasi Islam sesungguhnya. Tetapi pasca revolusi berubah menjadi Iran yang dikendalikan segelintir orang, yaitu para Mullah.

Keadaan ini, menurutnya, revolusi Iran tak ubahnya revolusi Rusia 1917, yang melahirkan Stalin dan koleganya. Alhasil, dalam bahasa Gus Dur, yang terjadi adalah the stolen revolution, yaitu  revolusi rakyat yang tercuri oleh segelintir orang.

Memang, konsep wilayatul faqih (baca Sistem Pemerintahan Iran Modern oleh Akhmad Satori) yang mendudukkan para Mullah dalam hirarki tertinggi bernegara Iran sebetulnya dikritik juga oleh Ayatullah Syari’atmandari, kolega politik Khumaeni (baca Revolusi Iran oleh Nasir Tamara). Walau kritik Gus Dur ini masih bisa dibincangkan lebih jauh (di ruang lain tentunya), tetapi ini adalah cara pandang Gus Dur dalam melihat negara dan pemerintah secara terpisah.

Kemudian, secara pemikiran, Gus Dur memahami bahwa dalam tradisi Islam hampir tidak ada yang menyatakan upaya anti negara atau mengganti bentuk negara secara revolutif. Termasuk Imam Mawardi dalam Al Ahkam Sulthaniyah, menurut Gus Dur, justru menganjurkan perbaikan negara secara evolutif bukan melalui suatu lompatan. Karena itu, intelektual (dan ulama) perlu masuk dalam negara untuk secara evolutif membenahi negara.

Fakta ditemukan Gus Dur pada beberapa ilmuwan dan filosof Islam. Misalnya, Al Ghazali menjadi bagian dari dinasti Seljuk, walau pada akhirnya memilih pergi. Ibn Rusdy menjadi hakim sekaligus tabib istana dinasti Muwahhidun, begitu juga dengan beberapa ilmuwan dan filosof lainnya.
Inilah yang membuat sulitnya ditemukan konsep negara ideal pada filosof-filosof Islam, tidak seperti pemikir Yunani macam Plato dan Aristoteles yang merumuskan konsep negara idelnya masing-masing.  

Satu-satunya pemikir Islam yang merumuskan konsep bernegara ideal adalah Al Farabi, yang terkenal dengan sebutan al Madinatul Fadilah. Kemudian hari banyak yang mengkritik pandangannya sebagai utopia belaka, tetapi, walapun begitu cukup menginspirasi lahirnya konsep “masyarakat madani” yang rupanya didambakan oleh semua masyarakat belakangan ini.

Dari pemahaman ini, Gus Dur tidak terlalu mempertimbangkan cara pandang al Farabi, dan lebih cenderung pada tradisi pemikir yang evolutif dalam melihat perbaikan negara. Itulah juga yang ditemukan oleh Gus Dur dalam sejarah politik Islam nusantara bagaimana para kiai terlibat dalam perbaikan negara, mulai dari zaman para wali hingga menjelang kemederdaan, yang kemudian dipraktikkan dengan apik oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan kakeknya sendiri.

Dengan demikian, kita menjadi mengerti bagaimana sikap NU dalam bernegara hingga hari ini. Kita menjadi mengerti pula mengapa para kiai (NU) pasang badan sejak pada peritiwa 30 November di Surabaya, PKI dan belakangan HTI.

Gus Dur melihat negara dan pemerintah sebagai dua hal yang tidak identik alias distinct. Dan kemudian, Islam beserta intelektual dan filosofnya perlu hadir untuk membela negara bukan pemerintah. Negara adalah seperangkat konsensus yang disepakati bersama dalam suatu pengujian waktu yang panjang.

Sementara pemerintah tak lebih dari perpanjangan tangan untuk menjalankan agenda negara. Segala upaya merusak konsensus negara macam HTI dan sejenisnya, mestilah dilawan. Begitu juga dengan proses perebutan pemerintah (kekuasaan) yang berpotensi mengorbankan negara, maka disitulah politisi Islami mesti memilih negara bukan pemerintah.

Ini teladan yang diwariskan Gus Dur dengan cara bercelana pendek dan berkaos oblong di istana negara. Dia memilih mundur dari kekuasaan ketimbang terjadi perang saudara. Dia memilih meletakkan jabatan ketimbang mencuri kekuasaa untuk diri dan kelompoknya.

Poin yang bisa diambil adalah kita mesti sehat dalam bernegara, yaitu memisahkan negara dan pemerintahnya. Pemerintah mesti dikawal, dikiritik, dan didemo, agar tidak melenceng dari konsensus bersama yang tertuang dalam prinsip bernegara kita, yaitu pancasila yang menjanjikan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial.

Dengan demikian, berakhirnya pesta demokrasi yang baru saja diselenggarakan menjadi penanda kita semua untuk menarik diri dari pergumulan kekuasaan menjadi pengawal kekuasaan. Menjadi pengawas pada setiap upaya mempublikkan kepentingan segelintir orang melalui konstitusi tertentu, atau konstitusi yang menista kaum minoritas.

Menjadi pengkritik atas ketidakadilan yang menimpa masyarakat yang mungkin dilupakan oleh pemerintah, dan menjadi pendemo atas tragedi kemanusiaan yang mesti diselesaikan oleh pemerintah. 
     


"
"