Jogja dan Buku, Antara Ori dan Bajakan


Oleh: Herlianto A
Sumber: eksostisjogja.com

Bagi pembelajar, salah satu keistimewaan atau lebih sederhananya kelebihan Jogjakarta adalah melimpahnya buku-buku. Luasnya akses pada buku merupakan makanan paling bergizi bagi mereka yang bergulat di lapangan keilmuan. Sebab itu, kota yang lebih akrab disapa Jogja ini, masih menjadi alternatif belajar yang cukup diminati di kalangan pemburu pengetahuan. 

Meski banyak yang bilang ada penurunan tempo, tetapi rasanya tidak kalah dengan kota-kota lain yang suasana keilmuannya cukup “hangat” macam Jakarta, Surabaya, Malang, Bandung, atau malah masih lebih favorit dari mereka.


Salah satu ketersediaan buku di Jogja ditopang oleh banyaknya penerbit yang beroperasi, meskipun belum ada pendataan berapa jumlah pastinya. Saat berkunjung ke toko buku dan membuka beberapa buku di bagian KDT (Katalog Dalam Terbitan) cukup banyak penerbitnya beralamat di Jogja. Beberapa di antaranya yang terbilang mentereng: Pustaka Pelajar, Diva Press, LKiS, Kanisius, dll. 

Pesatnya penerbit ini juga membuat persaingan ketat antar sesama penerbit. Ibarat air laut, mereka mengalami pasang surut di mayapada perbukuan. Misalnya, Ar-Ruuzz Media dan LKiS yang sempat meredup, tapi kayaknya sekarang mulai bernafas lagi.

Belum lagi, hadirnya penerbit-penerbit berkualitas dari luar Jogja, seperti Mizan, Gramedia, Koekoesan, dsb. Tentu membuat persaingan semakin ketat bagi para penerbit. Tetapi bagi pelajar di Jogja sangat menguntungkan, karena dapat memilih jenis buku yang dibutuhkan.

Kondisi ini, membuat para pembelajar di Jogja seperti disuapi akan pengetahuan lewat berbagai jenis buku yang dicetak, dan yang spesial penulisnya berasal dari berbagai penjuru nusantara. Gagasan-gagasan baru yang tertuang sebelum beredar secara nasional terlebih dahulu dibaca di Jogja. Penikmat buku di DIY, tentu saja, selalu berhasil “menggagahi” terlebih dahulu buku-buku “perawan” yang baru saja naik cetak mengingat dekatnya dengan penerbit.

Seiring dengan itu, penjual buku menyebar di beberapa penjuru Jogja. Referensi yang dibutuhkan dapat ditemukan di berbagai tempat, yang paling favorit dan terkenal bagi kalangan pelajar adalah shopping, pusat belanja buku seperti Kwitang di Jakarta, Kampung Ilmu di Subaya, dan Wilis di Kota Malang.

Di tempat yang berada tak jauh dari jalan Malioboro itu tergelar puluhan toko buku yang menyediakan beragam jenis buku dari berbagai disiplin ilmu, bahkan buku-buku lawas yang sudah tidak dicetak ulang ada di sini.

Menariknya, harganya tidak terlalu mahal seperti di toko buku “formal” pada umumnya asal kita pandai nego harga, agak sedikit ngotot dan pura-pura pindah ke lain toko. Bisanya setelah itu bisa deal. Alhasil, pelajar sebagaimana kita tahu semua, antara uang makan dan beli buku sering tertukar alias pas-pasan, lebih suka ke toko buku yang “sangat pengertian” ini.

Jogja juga menyediakan percetakan-percetakan “semi fotokopi” harga murah. Percetakan ini dapat memfotokopi buku dengan hasil sangat mirip aslinya, atau nyetak fail  bebentuk pdf yang hasilnya tak kalah bagusnya. Orang-orang menyebutnya buku Repro, cetak ulang. Cuma bedanya, kalau cetak ulang oleh penerbitnya sendiri itu resmi (legal) kalau ini tidak resmi alias ilegal.

Produk Repro sebetulnya memiliki nilai plus dan minus. Plus apabila hanya mencetak untuk kebutuhan pribadi pembacanya, karena buku yang asli sudah tidak terbit lagi. Atau alasan finansial di mana harga lebih murah yang asli dan ini cocok untuk kalangan mahasiswa. Dengan harga ini, setidaknya mereka dapat nyisihkan uang untuk ngopi dan makan.

Tetapi di sisi lain bisa menjadi minus atau bahkan petaka bagi perbukuan nasional dan penistaan pada penulis dan penerbitnya, jika model Repro ini dicetak secara masal untuk diperdagangkan oleh oknum pedagang buku tertentu baik untuk dijual online pun offline.

Ada banyak pihak yang dirugikan dengan tindakan ilegal ini, salah satunya yang paling menyayat adalah bagi sang penulis. Dia, tentu saja, berkurang royaltinya dari penerbit lantaran pembaca tak lagi membeli produk asli. Sementara pencetak buku Repro masa bodoh dengan si penulis, yang penting dia untung sudah selesai.

Padahal kita sadar bahwa menulis bukanlah pekerjaan mudah. Tak semua orang bisa menulis, butuh ikhtiar dan ketelatenan lebih dalam merangkai kata, frase, kalimat hingga paragraf agar mudah dipahami oleh pembaca. 

Seorang penulis butuh konsistensi dan waktu lebih untuk membaca buku-buku referensi sebagai asupan informasi agar tulisannya kaya, reflektif dan tajam. Juga dituntut memahami gagasan-gagasan yang tertuang di dalam buku yang dibacanya sebelum secara kreatif mensistesiskan dalam bentuk tulisan baru dan lebih kontekstual.

Oleh  karena kerumitan ini, maka penghargaan terbesar bagi seorang penulis adalah tidak diplagiat, tidak dibajak bukunya (direpro), dan yang paling istimewa dibeli buku aslinya. Namun begitu ada penulis yang sama sekali tidak mempermasalahkan karyanya dibajak, karena toh kalaupun mau memperkarakan bayar lawyernya jauh lebih mahal dari royalti yang diterima. Yang ada mah tambah rugi. 

Maka, sekalian diniatkan ibadah pada setiap pembajakan yang terjadi, agar semakin banyak yang membaca gagasannya. Artinya, meskipun royalti tak didapat siapa tahu dapat pahala, amien! Selain para penulis, penerbit juga  dirugikan yang mendapat perlindungan hukum, namun mungkin tak semenyakitkan pada penulis.  

Alasan-alasan kemurahan biaya cetak di Jogja inilah yang juga membuat para penerbit dari beberapa kota daerah lain memilih mencetak bukunya di kota berbudaya ini. Di antaranya penerbit-penerbit indi dari Jawa Timur cenderung mencetak di Jogja dengan kalkulasi keuntungan yang mantap. Konon, murahnya biaya cetak ini disebabkan Jogja menjadi tempat drop pertama kali kertas-kertas secara nasional sehingga harganya masih orisinil dan belum terbebani biaya lain.

Itulah beberapa alasan mengapa Jogja begitu intim dengan buku. Belajar di Jogja bukan soal pilihan kampus karena status atau peringkatnya, itu terlalu cemen dan manja. Ilmu yang diberikan di ruang berAC itu terlalu terbatas dan ditakar sedemikian rupa. 

Eksplorasi ke luar gedung-gedung itu adalah salah satu cara “genius” untuk melahap berbagai menu ilmu yang berserak di Jogja baik melalui forum-forum diskusi, lebih-lebih melalui buku-buku yang ada. Untuk yang terakhir, tentu saja dengan membeli dan membacanya.  
"
"