Media: Dakwah, Perlawanan, dan Politik

Oleh: Herlianto A
 
Sumber: mindmata.wordpress.com
There are only two things that can be lightening the world. 
The sun light in the sky and the press in the earth
(Mark Twain)

Apapun yang ingin disampaikan pada orang lain harus melalui media sebagai jembatan, apakah itu bentuknya suara (speaking) atau tanda tulisan (writing) atau sandi (sign). Termasuk dakwah yang akan disampaikan harus ada medianya (alat). Belakangan ini media dipersempit maknanya pada pewartaan saja (pers). Baik media cetak seperti koran, tabloid, atau majalah, maupun media visual yaitu televisi. Dua genre media itu menyampaikan warta kepada publik.  Banyak hal yang disampaikan mulai yang sifatnya entertainment, politik, ekonomi, sosial, budaya, bisnis, kelucuan, hingga soal ideologi. Sehingga makna media tidak terlepas dari kebutuhan dan kepentingan, bahkan kepuasan publik.

Dari media masyarakat melek informasi sekitar hingga yang terjauh. Dapat membaca apapun dan menangkap apapun yang ditayangkan dan ditulis di media. Media memiliki peran  sentral dalam tata perubahan masyarakat kita. Melalui media terjadi sirkulasi budaya, kepentingan, doktrin, hingga ideologi. Dalam arus demokratisasi, media dimasukkan sebagai salah satu pilar demokrasi karena perannya mengkampanyekan demokrasi. Media diyakini dapat mengawal demokrasi yang hakiki dalam suatu komunitas masyarakat. 


Ia dapat mengkonsolidasikan massa, melakukan provokasi, agitasi dan menyatukan orang yang memiliki pandangan sama tentang suatu hal. Beberapa waktu lalu kita disuguhkan kasus Prita Mulyasari yang membuat jutaan orang tergerak melawan RS Omni Internasional di Jakarta. Kasus anak pencuri sandal yang dihukum di Sulawesi membuat gerakan seribu sandal nasional. Semua itu bermula dari media. Media begitu mudah membesarkan nama orang, nasib seseorang seakan berada di media. Lihat Ayu Ting-Ting, Zaskia Gotic, Cita Citata, bahkan Jokowidodo termasuk orang diuntungkan oleh media.

Namun demikian, juga banyak orang dibuli hidupnya tidak tenang hanya gara-gara ucapannya yang salah atau penampilannya yang tidak sesuai di media. Masih ingat kasus Viky Presetyo yang membuat kamus populer Indonesia secara sendiri. Dia kemudian dibuli karena ulahnya yang sok pinter itu. Dan masih ada beberapa kasus lainnya.

Media dan Perubahan Sosial

Para pejuang pra-kemerdekaan juga berjuangan lewat media. Misalnya yang dilakukan Raden Mas Djokomono (Tirtohadisoerjo) (1880-1918) melalui koran harian Medan Prijai. Abdul Rivai (1871-1933) mendirikan Bintang Hindia. Wahidin Soediro Husodo membentuk Retnodhoemilah berbahasa Jawa dan Melayu. HOS Tjokroaminoto mendirikan koran Oetoesan Hindia. Ahmad Dahlan mendirikan Suara Muhammadiyah. Dari situ lahir semangat nasionalisme dan patriotisme. Melalui bacaan-bacaan itu rakyat indonesia menyadari dirinya yang ditindas.

Upaya Soekarno, Hatta, Natsir dan Sjahrir untuk membakar semangat kebangsaan dan kebebasan tidak bisa dilepaskan dari kerja-kerja kejurnalistikan. Pada 1926 Soekarno mendirikan kelompok studi Algemene Studieclub serta jurnal Indonesia Muda. Ia menjadi editor majalah SI, Bendera Islam (1924-1927). Namun demikian colonial mengintimidasi kebebasan pers ini karena dianggap membahayakan status quo-nya

Perjuangan di era pasca-kemerdekaan juga dibarengi penguasaan media. Buku Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia mencatat beberapa tokohnya diantaranya: Nono Anwar Makarim, maktivis angkatan 66, mendirikan Harian Kami. Koran ini menginspirasi lahirnya koran dan majalah kampus, misalnya Mahasiswa Indonesia di Kampus UI. Mimbar Demokrasi di ITB, Gelora Mahasiswa di UGM, dan Gelora Mahasiswa Indonesia di Malang.Tak lupa Mahbub Junaedi juga mendirikan media yaitu Duta Masyarakat[1]. Semua media ini hadir untuk mengontrol kemungkinan kesewenang-wenangan orde lama.

Pada tahun1950an, komunitas pers mengalami peningkatan peran dengan terbentuknya IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) yang diketua oleh T Yacob dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia) dikomendani oleh Nugroho Notosusanto. Selanjutnya dua institusi itu melebur menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) pada 1955. Namun kejayaan ini tak berumur lama karena demokrasi terpimpin Sukarno berkehendak bahwa semua AD/ART pers mahasiswa menerapkan satu asas Manipol USDEK[2]. Artinya pers harus menyuarakan aspirasi partai politik. Kemudian secara perlahan pers mahasiswa mengalami kemunduran[3].

Selama orde baru tidak ada media yang bebas dari pantauan rezim Suharto, segala pemberitaan dibatasi pada program-program pembangunan saja. Wartawan ditampung dalam PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang mengeluarkan kode etik versi pemerintah. Penca-butan surat izin penerbitan akan segera dilakukan jika media berani mengungkap belang pemerintah. Hingga muncul AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) dibentuk oleh Gunawan Muham-mad dan kawan-kawan, sebagai tandingan PWI, menolak kebijakan yang mengkrangkeng war-tawan dan kebebasan pers.

Menjelang Reformasi hadir PPMI[4] (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) sebagai wadah kejurnalistikan mahasiswa. PPMI setidaknya memberi angin segar bagi kebangkitan kejurnalistikan di kalangan mahasiswa. Cuma, wadah ini tidak mampu dimanfaatkan oleh organisasi gerakan mahasiswa dengan maksimal. Bahkan antara PPMI dengan organisasi gerakan saling menempatkan diri sebagai opposisi dan mines kepercayaan diantara mereka. PPMI lebih dekat pada wilayah akademis dan semata menulis. Sementara gerakan mahasiswa membungkus diri sebagai aktivis saja. Padahal diantara keduanya mestinya saling melengkapi dan tidak salig menutup diri untuk mematerialkan segala gagasan dan apa yang terjadi serta mempraksiskan segala apa yang diteorikan.

Kekuasaan dan Juragan Media

Sayangnya setelah reformasi digapai kebebasan pers dilindungi, malah media digunakan untuk kepentingan pribadi atas kekuasaan. Media yang ada sekarang telah dikuasai para elit politik. Pemilik media berlomba-lomba dalam bursa kekuasaan dan sialnya lagi mereka menggunakan medianya untuk tujuannya itu. Hampir semua media yang ada di Indonesia saat ini dikuasai oleh politisi. Misalnya, MetroTV dan Media Indonesia milik Surya Paloh, ketua umum Partai Nasdem. TVOne dikuasai Abu Rizal Bakri (ARB), Ketua Umum Golkar versi Bali. ANTV dipegang oleh Nirwan Bakrie (adik kandung ARB). MNCTV, SindoTV, GlobalTV, harian Sindo dipegang Hari Tanoe Sudibyo, pendiri Partai Perindo. Jawa Post milik Dahlan Iskan yang tegas merapat pada Jokowi, begitu juga Kompas cenderung berpihak pada KIH (Koalisi Indonesia Hebat).

Berebutnya para juragan media untuk duduk di kursi kekuasaan membuat berita yang disajikan sering menyudutkan kalangan tertentu (lawan politik) dan menguntungkan diri sendiri. Kita semua melek pada pilres 2014 lalu, dan bahkan hingga kini, berita yang ditayangkan TVOne dan ANTV bertolak belakang dengan MetroTV. TVOne membesar-besarkan Probowo Subianto dan KMP (Koalisi Merah Putih), sementara MetroTV secara terus menerus menghadirkan blusukan dan kebaikan Jokowidodo dan KIH.

Sementara media cetak: Jawa Post dan Kompas juga mensupport Jokowi. Pada Juni 2014 lalu, Jawa Post menulis headline dengan judul Si Kaya (Prabowo) dan Si Miskin (Jokowi). Disitu Jokowi dicitrakan sebagai sosok kejutan yang membawa harapan besar bagi perubahan bangsa Indonesia. Seolah-olah hidupnya yang miskin dulu adalah jaminan bagi keadilan di negara ini. Dan sebaliknya Probowo dicitrakan orang yang sudah terlena dengan kekayaan dan kemewahan, sehingga kemungkinan jika Prabowo jadi presiden maka hanya kemewahan yang dilakukan bersama keluarganya.

Pada titik ini media tidak lagi bergerak pada relnya sebagai kontrol sosial. Pers tak lagi moderat untuk menyampaikan berita yang benar tentang suatu perkara. Pers tak lagi menjadi tiang demokrasi, justru sebaliknya menggrogoti demokrasi. Jika benar para pemilik media tersebut punya kehendak yang kuat untuk meraih kekuasaan di pemilu yang akan datang, maka selama lima tahun kedepan kita bersiap menerima berita-berita bohong dari media.

Politik Redaksi

Coba ingat-ingat, saat Jokowi dinyatakan menang dalam pemilu 2014 dan dilantik dengan pesta rakyat yang meriah di depan istana negara dan kawasan Monas. MetroTV sepanjang hari memberitakan sukacita rakyat, dan keriangan rakyat sembari menikmati hidangan. Jokowi keluar menyalami rakyat dan dicium tangannya. Tetapi event yang sama, TVOne justru menayangkan anak kecil yang kehilangan ibunya karena sibuk pesta. Mengangkat rakyat yang kecopetan di Monas, kemacetan yang diakibatkan pesta, serta desas-desus rakyat yang memang sengaja diundang dengan bayaran oleh Jokowi.

Pertanyaannya, mengapa pada kejadian sama tetapi sense-nya bagi pemirsa berbeda? Disitulah politik redaksi bergerilya. Politik redaksi adalah kehendak jajaran redaksi dalam menetukan berita berdasarkan pertimbangan politis. Redaksi memiliki kuasa penuh untuk mengambil sudut pandang (angle) yang berbeda tentang satu kasus yang sama dalam berita yang dirilis. Redaksi bebas menentukan mau diarahkan kemana opini publik: membenci Jokowi atau Prabowo. Disini redaksi bisa sewenang-sewenang menantukan berita.  

Saat saya menjadi wartawan Jawa Post Radar Malang beberapa waktu lalu. Saya merasakan betul bagaimana politik redaksi dijalankan oleh media. Penulis (wartawan) dan redaksi punya hak penuh untuk memilih berita yang mana dan angle apa yang akan diberitakan. Rumusannya sederhana, media selalu memilih yang menguntungkan secara ekonomi dan politik. Sehingga kedekatan politik antara objek berita dan yang memilih berita (redaksi) sangat penting. Faktor ini yang memutuskan suatu berita layak tayang. Suatu contoh, mengapa saat kasus dugaan korupsi pengadaan tanah kampus UIN Maliki terus “dikompori” oleh Radar Malang.

Sementara dugaan korupsi Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama) dan Universitas Negeri Malang (UNM) yang tidak kalah besarnya tidak dikorek lagi. Rupa-rupanya, UM dan Unikama lebih rajin mengiklankan diri di Radar Malang. Ini contoh kecil saja, masih banyak contoh besar lainnya yang jauh lebih dahsyat dari itu.

Persma Harus Bangkit   

Pers mahasiswa (Persma) bukanlah sama dengan pers umum yang meng-cover berita-berita bersifat informative semata. Persma diharapkan mampu mengkaji permasalahan sosial yang diberitakan dengan analisis keilmuan secara kritis serta obyektif. Persma, idealnya, harus berani memberitakan fakta yang benar dan jujur kepada masyarakat dengan tidak meninggalkan kandungan nilai-nilai humanitas yang harus tetap dipegangnya.

Menurut Arismunandar, setidaknya ada lima peran penting Persma dalam mengawal perubahan di tengah kondisi bangsa yang dikepung oleh para aristokrat-oligarkis ini. Pertama pemasok informasi, Persma mendokumentasikan informasi, berita, gambar yang dibutuhkan mahasiswa untuk melakukan pengkajian. Kedua, peran motivator, Persma merangsang aspirasi mahasiswa dan mendorong pada pengembangan aktivitas komunal demi tujuan gerakan. Ketiga, peran sosialisasi, Persma menyediakan basis pengetahuan bersama yang dapat menumbuhkan kohesi dan kesadaran sosial, sehingga memungkinkan mahasiswa untuk terlibat dalam gerakan.

Keempat, peran integrasi, Persma menyediakan seperangkat informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa untuk saling mengenal satu sama lain, saling bertukar apresiasi serta sudut pandang analisis yang berbeda dari organisasi lain. Kelima, peran edukator, Persma menyam-paikan berbagai ilmu pengetahuan dan perkembangannya, serta pasang surut intelektualitas baik di masyarakat maupun di wilayah akademik[5]. Dengan begitu akan muncul suatu gerakan perlawanan yang kokoh dan solid. Kekuatan pena akan mendobrak kejumudan berfikir kaum muda dalam melihat realitas yang semakin palsu dan penuh lipstik.

Maksimalkan Dunia Cyber

Cicero, filsuf Italia, menyatakan bahwa tak ada satu hal pun yang tidak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata (media). Untuk itu menguasai media adalah suatu keharusan jika kita masih berniat untuk berdakwah dan menginginkan perubahan dan kontrol sosial terus jalan. Para agen intelektual saatnya membuat media tandingan yang berpihak terhadap kepentingan rakyat dan bukan penguasa.

Berkembangnya dunia Cyber sebenarnya mempermudah para agen gerakan untuk memulai membuat media tandingan. Kita tidak perlu mengeluarkan uang begitu banyak untuk mendirikan suatu media. Cukup dengan membuat blog atau website. Masyarakat Indonesia sudah lebih 50 persen kelas menengah dan melek teknologi, ditambah Indonesia sebagai pengguna sosial media terbesar ke lima di dunia setelah Inggris, Jepang, dan Brazil. Advokasi dan agitasi akan lebih mudah dilakukan melalui media cyber yang dapat dengan mudah dibaca lewat smatrphone mereka. Atas alasan itu pula filsafatmazhabkepanjen.blogspot.com ini didirikan. Sayangnya sejauh ini tak banyak organisasi gerakan memanfaatkan peluang ini dengan baik.

Generasi kita justru disibukkan dengan soal citra diri masing-masing melalui sosial media (sosmed). Gatged bagus yang dimiliki tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk sesuatu yang penting bagi perubahan tata kemasyarakatan bumi pertiwi ini. Kita masih tergila-gila dengan update status yang isinya narsis belaka. Menurut hasil survey, sebagian besar isi pengguna Twitter dan Facebook berisi soal kegalauan (cinta-cintaan), orang marah-marah, ceramah, bisnis, dan info tak berbobot lainnya. Ini menunjukkan penggunaan sosmed masih dihantui untuk kepuasan diri individu. Padahal kita tahu bagaimana sosmed dapat melahirkan gerakan massal untuk melawan, misalanya kasus Prita Mulyasari dan AL sebagaimana disebut diawal.

Untuk membuat media Cyber tandingan perlu dikemas dengan baik termasuk teknik pewartaannya (penulisan dan visualnya) maupun strategi distribusi informasi. Jika agen-agen gerakan perubahan mampu menguasai dunia Cyber besar kemungkinan control social akan tetap terjaga. Ajaran-ajaran kebenaran dapat tersalurkan, dan tak kalah pentingnya adalah edukasi masyarakat juga terbuka.        


#filsafatmazhabkepanjen.blogspot.com


[1] Taufik Rahzen et al. Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia. Jakarta: IBoekoe. 2007., hal 266
[2] Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi terpimpin, Kepribadian Indonesia
[4]  Berdiri pada, 17 Oktober 1992.
[5] Satrio Arismunandar. Bergerak!: Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Suharto.  Yogyakarta: Genta Press. 2005, hal 28-29.

Post a Comment

0 Comments