Menimbang Argumen Filosofis: Menghidupkan Kembali Spirit Nasakom

Oleh: Herlianto A
Bung Karno. (Foto: globalscurity.org)

Mahzhabkepanjen.com - Sebanyak 22 halaman bagian awal Dibawah Bendera Revolusi (DBR) jilid satu, Sukarno mengupas kemungkinan perpaduan Islamisme, Komunisme (Marxisme), dan Nasionalisme. Presiden pertama Indonesia ini menganalisa hal yang membuat tiga elemen, yang secara filosofis bisa dibilang berlawanan, memiliki possibilitas bersatu. 

Pada tiga arus besar itu, Bung Karno menemukan spirit yang sama: melawan imperialisme.“Roh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya. Keinsyafan akan tragik inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat Indonesia kita, yang walaupun dalam maksudnya yang sama, ada mempunyai tiga sifat: Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis,”[1] Demikian tulis Sukarno dengan begitu yakin penuh optimisme akan berafiliasinya tiga kekuatan itu. Ajaran ini familiar dengan sebutan Nasakom.
Dasar uniti dalam temuan Sukarno tidak hanya praktis, tetapi juga historis. Secara historis, bapak proklamator itu mengacu pada kesuksesan Mahatma Gandhi menyatukan anasir-anasir revolusioner India yang berafiliasi dengan kekuatan keagamaan (Hindu dan Islam) melawan kolonialisme Inggris. 

Dr. Sun Yat Sen di Cina berhasil melawan otoritarian Kuomintang dengan mempertemukan Taoisme dan Kunfusianisme dengan gerakan revolusiner di ranah kepentingan dan keinginan yang sama akan hidup sejahtera dan merdeka.

Di Indonesia Sukarno memaksudkan yang sama menyatukan kekuatan revolusioner dengan keagamaan (khususnya Islam) dan kebangsaan dengan jargon Nasakom. Dia mengimpikan Nasakom sebagai satu tubuh yang bekerja untuk kepentingan tertentu: kepentingan kemerdekaan dan kesejahteraan. 

Sebagai satu tubuh ketiga elemen itu terikat satu sama lain. Keberadaan yang satu mensyaratkan keberadaan yang lain. Jika satu organ terganggu, yang lain berkewajiban menuntaskan gangguan hingga dapat berjuang beriringan kembali. Namun benarkah demikian adanya Nasakom yang lalu, berhasilkah Bung Karno? 

Faktor Penghambat

Tidak mudah memang menjawab pertanyaan tersebut. Awal-awal lahirnya gagasan Sukarno ini memang sangat jenius. Betapa lihai dia mencoba mendamaikan ketiganya. Namun dalam kenyataan perkembangannya selalu muncul perpecahan dan pertarungan satu sama lain yang tak pernah padam, bahkan saat Sukarno masih lancar bernafas. Argumen pertentangan satu sama lain pada puncaknya juga berseliweran pada pembantaian 65 yang membuat kitaphobia hingga kini. 

Sehingga Nasakom tidak sepenuhnya (untuk tidak mengatakan gagal) efektif sebagai satu senjata perlawanan. Malah menimbulkan perang saudara. Sanak famili saling bunuh lantaran beda arus, setidak itu kesan dari film The Look of Silent.

Ada banyak hal bisa dianalisa untuk menilai Nasakomisasi ala Sukarno tidak efektif.Pertama, Sukarno memang disebut sebagai pencetus dan simbol Nasakom, tetapi secara pribadi sosoknya diklaim berdasarkan kepentingan arus. Nasionalis mendaku Sukarno seorang nasionalis, Marxis dan Islamis juga begitu. Ia tidak diletakkan sebagai Nasakomis dimana tiga arus bertemu. Bahkan, detik ini pengidentifikasian Sukarno masih berat pada Nasionalis bukan Nasakomis. Klaim ini secara perlahan mendedel Nasakom hingga porak poranda.

Kedua, tiga elemen revolusioner selalu menarik diri pada ranah filosofis-ontologis bukan pada spirit (tujuan) sebagaimana yang diinginkan Sukarno. Sehingga selalu muncul perbedaan yang radikal di antara ketiganya. Marxis distempel materialis, Islam dicap nikmat dengan Tuhan yang melampui materialis (spritualis) dan sedang kecanduan dengan agama. 

Sementara Nasionalis dengan tribalismenya. Menempatkan diri sebagai kekuatan yang tak butuh pada Islam dan Marxis dengan segala bentuk pertentangannya. Persoalan pertentangan ini menguap dalam kajian-kajian mereka baik yang dilakukan Islamis, Marxis, maupun Nasionalis. Tragisnya lagi, Nasionalis diboncengi oleh kekuatan tentara yang kemudian berkubu dengan Islamis menghancurkan Marxis.

Dua hal itu memuncak pada faktor Ketiga, yaitu soal iklim politik. Dimana rasionalisasi filosofis-ontologis digunakan untuk saling melemahkan secara politis satu sama lain. Itu terlihat dalam kajian-kajian yang mereka lakukan. Argumen filosofis ini terus dibesar-besarkan, sehingga tak ada lagi kesempatan memikirkan kesamaan dari perbedaannya. Alhasil, Nasakom tinggal rangka (morph) yang tak bermateri (hyle) sehingga tak bisa aktual.

Pertimbangan Praktis

Tampaknya, Sukarno tidak tuntas di argumen filosofis mengapa ketiganya mesti bersatu. Antisipasi Sukarno lebih berat pada faktor pertama dan ketiga. Artinya, secara nalar ketiganya belum ditaklukkan oleh satu argumen yang membuat mereka mengiakan Nasakom harus aktual. Alhasil, ketiga elemen bagai ‘kucing-anjing-tikus’ yang tak pernah damai hingga Indonesia di usianya yang ke 70 tahun ini.

Kenyataan ini bisa dimaklumi, yang diinginkan Sukarno memang sangat praktis: bagaimana melawan, tanpa tahu apakah rakyat secara filosofis memahami Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Bisa dibayangkan rakyat yang belum melek huruf kala itu diminta mengkaji Das Kapital yang amboi tebalnya tiga jilid, terus diminta mengkomparasikan dengan Islam yang tak kalah kompleksnya (berbagai aliran yang rumit), serta berupaya mengimanenkan dalam kerangka kesukuan. 

Jika proyek ini dilakukan rasanya rakyat Indonesia harus nyantri selama 10 tahun, itupun kalau cukup. Dengan konsekuensi melupakan perlawanan mereka karena tak punya waktu melawan penjajah yang sudah mencincang pribumi setiap hari.

Pada titik ini, Sukarno bisa jadi bukan tidak mampu menemukan kepaduan dasar filosofis Nasakom, tetapi dia menyadari bangsa ini harus segera merdeka. Rakyat harus segera turun ke jalan mengusir penjajah. Wajarlah bila bagian awal DBR menjadi semacam preskripsi diperuntukkan bagi mereka yang tidak ingin repot dengan persoalan filosofis, membaca ratusan buku, untuk bertindak. Disitu Sukarno menulis sesuatu yang sangat praktis sekali, bahkan sangat berarti saat itu.

“Islamisme yang sejati adalah yang mengandung tabiat-tabiat sosialisme. Selama Islam memusuhi Nasionalisme yang luas budayanya dan Marxisme yang benar, maka saat itu Islam tidak berdiri di atas sirathal mustakim.”[2] Dengan pernyataan ini, rupa-rupanya Sukarno berhasil menggalang perlawanan, setidaknya hingga proklamasi dikumandanghkan. Bisa dibilang satu kehebatan resep-resep DBR.

Menimbang Argumen Filosofis    

Melihat hiruk pikuk bangsa ini, rasanya menarik membicarakan kembali spirit Nasakomyang sudah pudar. Tiga arus kuat sebagai substratum Nasakom masih berkembang di Nusantara. Ketiganya tetap menjadi kekuatan potensial yang siap meledak. Tetapi, mungkinkah  argumen preskriptif  ala Sukarno cukup menyatukan? Rasanya tidak, masyarakat kian cerdas. 

Belajar dari yang dialami Suakrno, argumen preskriptif kurang ampuh dan tak menyentuh soal filosofis yang dulu menjadi keributan. Inilah saatnya mengutuhkan mengapa Nasakom layak bertemu tidak hanya di wilayah tujuan (aksiologis), tetapi linear secara filsosofis (ontologis dan epistemologis). Tentu menemukan argumen filosofis sama sekali tidak mudah, belum lagi citra Nasakom yang dinilai lain.

Sebetulnya, beberapa pemikir terkemuka, dari kalangan Timur Tengah dan Indonesia sendiri  sudah berupaya menemukan titik temu argumen filosofis. Misalnya Hasan Hanafi dan Muhammad Arkoun dengan rumus ‘Islam Kiri-nya’. Ali Syariati dengan ‘Sosialisme Islam’. 

Di Indonesia, HOS Tjokroaminoto dengan ‘Sosialisme Islam’ dan H. Saman Hudi dengan SI merahnya. Belakangan ini juga tak sedikit aktivis Islam menulis gagasan-gagasan Marx dan disinergikan dengan Alquran dan latar historis Nabi Muhammad. Misalnya Andi Muawiyah Ramli,Peta Pemikiran Karl Marx, dan Muhammad SAW & Karl Marx oleh Munir Che Anam dst.  

 Sukarno sendiri sudah membuat semacam clue di DBR soal perbedaan ontologis dalam elemen Nasakom. Menurutnya, Sosialisme Marxis dasarnya materialitas, sosialisme Islam dasarnya spritualitas, dan Nasionalis adalah tribalitas. Sampai disini dasar ontologis masing-masing elemen terkuak. Persoalan muncul setelah setiap elemen itu mendaku dasarnya paling benar. Soal ini yang ingin dicoba diskusikan dan kontruksi ulang.

Mula-mula, saya mencoba meminjam argumen Prof. Dr. Louis Leahy SJ dalam Filsafat Ketuhanan Kontemporer bahwa paling tidak ketiganya sama-sama memiliki prinsip tunggal tentang lahir dan kembalinya segala sesuatu. Pada dasarnya, materialitas dan spritualitas adalah problem klasik yang terus mengemuka. Plato (428-347 SM) jauh hari men-dualisme-kan antara spritual (idea) dan fisikal (memesis). 

Realitas tak lain hanyalah tiruan dari dunia adi duniawi. Persoalan muncul bagaimana manusia menyadari idea sebagai ada? Maka tentulah dia memulai pengamatannya dari sesuatu yang terdekat yaitu materi. Sehingga dalam rumusan Aristoteles (384-322 SM) idea, yang disadari manusia, hanyalah abstraksi dari materi yang diamati manusia. Pertikaian ini coba didamaikan oleh Plotinus melalui konsep emanasi. Bahwa dari metefisika ke fisika merupakan proses pemancaran layaknya cahaya.

Pada abad pertengahan persoalan ini juga mengemuka, itu dibuktikan dengan lahirnya sekte Universalisme yang diampu oleh William dari Champeaux dan Nominalisme oleh Rocelin dari Compiegne. Kubu pertama menyatakan bahwa universalisme memiliki eksistensinya secara independen, kubu kedua menampik bahwa universal tak lebih dari kata-kata belaka. 

Dua ekstrim ini membangkitkan Peter Abelard untuk mengelaborasi bahwa bahasa itu sendiri tidak dapat mendemonstrasikan kebenaran sesuatu diluar yang membentang di dunia fisik[3]. Tetapi ini juga tidak menemukan jalan ujung non-materi dan materi. 

Saya berangkat dari affirmasi bahwa Islam mengembalikan segalanya pada yang spritual atau transendental (noumena), tetapi secara epistemologis manusia sampai (memahami) pada yang tanzih ini hanya melalui yang tasbih (material). Rasio manusia dapat bekerja melacak yang spritual itu tetaplah berangkat dari varian-varian alam sekitar. 

Manusia tidak hidup dalam surga, tetapi di alam material. Sungguh ketak-masukakalan bahkan cenderung arogan jika manusia mendaku dapat sampai pada yang spritual tanpa melalui yang material. Sejak kelahirannya otak manusia kosong. Apapun alasannya pengetahuan manusia tetap berangkat dari indera kemudian diolah oleh rasio untuk kemudian ditasdik dalam alam realitas.

Dengan demikian yang spritual dengan material, tanzih dan tasbih, transenden danimanen,  noumena dan fenomena tidak berlawanan tetapi menjadi suatu gradasi pengetahuan. Hal ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Plotinus. Filsuf Islam kemudian hari, seperti Al Farabi menyebut al faid, Suhrawardi menyebut iluminasi, dan Mulla Shadra menyebut gerak substansial (gradasi). 

Atau dalam bahasa Ibnu ‘Arabi wujud mutlak dan nisbi. Sampai disini, spritual dan material secara filosofis linear, artinya tidak bisa meniadakan satu sama lain, juga tidak bisa menilainya sama antara keduanya.

Dari sudut Marxisme, sebenarnya Marx tidak menolak agama. Menurut amatan George Ritzer dalam Teori Sosiologi Klasik, Marx hanya menolak sistem agama yang mengandung ilusi-ilusi, karena yang demikian melupakan sistem yang menindas manusia.[4] Pada poin ini pembacaan sosiologis Sukarno atas kritik Marx terhadap agama bisa dibenarkan. Marx tumbuh di Eropa dalam kontur masyarakat dimana agama dijalankan dan dikendalikan para orang kaya dan kapitalis.

 Agama dipolitisir sebagai legalitas praktek penindasannya. Bagi Sukarno, kondisi sosiologis ini sangat berbeda dengan di Indonesia. Agama (Islam) di Indonesia justru dijalankan oleh mereka yang tertindas[5], para budak, para buruh, dan jongos lainnya yang kesehariannya melayani nafsu serakah borjuis. Jika Marx memahami kenyataan di bangsa ini tentu dia punya rumusan lain soal agama (Islam). Sampai disini sebenarnya Islam dan Marxis memiliki celah-celah yang bisa dipertemukan secara tidak hanya praktis tetapi filosofis.

Jika rumusan ini diterima, tinggal bagaimana dibumikan pada semangat tribalitas atau kesukuan. Dalam arti bahwa masing-masing suku memiliki ke khasannya dan keunikannya yang jangan sampai diabaikan. Bahwa baik Marxis maupun Islamis toleran terhadap keanekaraman tradisi dan budaya. 

Dengan demikian tiga elemen kuat ini kembali rukun dalam satu bingkai: Indonesia. Kembali bahu membahu menuju satu tujuan mulia yaitu kehidupan masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Inilah semangat Nasakom yang dengan smart digagas Suakrno.

[1] Dibawah Bendera Revolusi., hal 2
[2] Dibawah Bendera Revolusi., hal 5
[3] Brian Duignan. The History of Philosophy:  Medieval Philosophy. Britannica educational publishing., hal., 58
[4] George Ritzer. Teori Sosiologi Klasik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal 117
[5] Tak hanya di Indonesia, Islam sejak dari kelahirannyamemang turun untuk melawan penindasan bangsa Arab jahiliyah.

Post a Comment

0 Comments