Oleh: Herlianto. A
Mazhabkepanjen.com - Setelah nonton
debat kemaren antara Guru Gembul dan Ustaz Wafi, saya lebih senang. Karena
tampaknya perdebatan nasab ini bergeser sedikit lebih maju. Sebelumnya saling
klaim metode nasabnya. Terus-terusan ngomong otoritas, tanpa mempersoalkan
apakah bersandar pada otoritas itu valid untuk sebuah pengetahuan hari ini atau
tidak.
Bagi Guru
Gembul, ilmiah harus memiliki seperangkat metodelogi dan inderawi, atau bahasa
yang lebih presisiempiris dan verifiable atau dapat diverifikasi. Berangkat
dari dua pemahaman ini perdebatan antara Ustaz Wafi dan Guru Gembul berlangsung
panjang lebar.
Walaupun saya
lihat, dari definisi keduanya soal apa yang disebut ilmiah itu tidak semuanya
berbeda. Pebedaannya hanya pada soal pengetahuan jalur kabar mutawatir, atau
kabar yang disampaikan oleh banyak orang. Bagi Guru Gembul cara ini subjektif,
tidak objektif. Sementara ilmiah itu harus objektif, dalam arti peran subjek
harus dibuang jauh.
Subjek itu
punya perasaan, punya emosi dan kecenderungan tertentu, sehingga data yang
dihasilkan tidak akan pernah akurat dan tepat, selalu ada bumbu-bumbunya dan
kepentingan si subjek.
Sementara di
soal penerimaan indera dan akal dalam menghasilkan produk ilmiah, saya kira
Guru Gembul dan Ustaz Wafi tidak ada perdebatan. Cara kerja ilmiah tidak murni
inderawi. Misalnya, ilmiah itu punya hipotesis, pertanyaanya apakah hipotesis
bersifat inderawi? Jelas kebutuhan pada hipotesis dalam penelian ilmiah adalah
kebutuhan yang didasarkan pada nalar rasional bukan indera.
Kenapa akal
bisa mengatakan demikian, ini diakui oleh banyak filsuf, bahwa akal punya
kategori sebab akibat. Karena itu yang inderawi dan rasio bersifat linear bukan
saling menegasi. Dan, memang yang disebut ilmiah hari ini, atau setidaknya yang
dimaksud oleh Guru Gembul, ilmiah itu empiris.
Kalau kita
lebih sedikit mendalam lagi, indera sebagai satu-satunya yang sahih untuk
pengetahuan ilmiah itu tidak bersifat inderawi. Indera sebagai alat yang sahih,
sebagai alat pengetahuan itu dibuktikannya secara rasional. Inilah betapa bahwa
konstruksi ilmu pengetahuan itu tidak bisa dipisah-pisah.
Ada level
data, informasi, pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Data itu misalnya gelas, 5
gelas, 10 gelas, itu data. Informasi misalnya 5 gelas berada di kamar rumahku
mulai kemaren. Sementara pengetahuan itu menyingkap struktur yang mendasari.
Misalnya, gelas itu dibuat dari kaca untuk tujuan minum. Ini pengetahuan.
Sementara ilmu pengetahuan, ada konstruksi sebab akibat yang membuat kita
memahami bahwa gelas itu dibuat dari kaca setelah menyimpulkan dari pengamatan.
Lalu bagaimana
dengan kabar mutawatir? Kalau dilihat dari konsensusnya apakah ini ilmiah?
Jelas ini tidak ilmiah. Karena konsensus ilmiah hari ini tidak memasukkan kabar
mutawatir sebagai alat dan sumber pengetahuan. Maka secara konsensus kabar
matawatir tidak ilmiah. Konsekuensinya, kalau ilmu nasab itu mendasarkan pada
kabar mutawatir berarti ilmu nasab tidak ilmiah. Atau ilmu apapun yang
mendasarkan pada kabar mutawatir disebut tidak ilmiah.
Berdasar pada
neraca Guru Gembul, ilmiah harus inderawi, metode apapun yang tidak mendasarkan
pada indera dan verifikasi juga tidak ilmiah. Saya sepakat di sini. Karena
memang batasan-batasan ilmiah seperti itu. Itu secara epistemologis, secara
ontologis ada batasan juga. Yang diteliti secara ilmiah itu hal-hal yang
konkrit. Anda tidak akan pernah menemukan penelitian ilmiah tentang jin.
Kritik-kritik
atas metode ilmiah ini biasa dipelajari di dalam filsafat ilmu. Persoalannya
bagaimana metode ilmiah dilakukan sehingga penyimpulannya valid. Ini melalui
tahapan yang panjang, misalnya ilmiah itu harus empiris murni. Ini seperti
dikatakan oleh Ernest Mach, lalu dikembangkan menjadi bahwa ilmiah itu tidak
hanya empiris tetapi juga harus sesuai dengan kaidah logika formal. Ini yang
biasanya kita kenal dengan positivisme logis.
Pendekatan ini
dikritik lagi oleh Karl Popper, terutama soal prinsip verifikasinya. Bahwa
disebut ilmiah kalau bisa diverifikasi. Seperti yang dibilang Guru Gumbul tadi
bahwa ilmiah harus inderawi dan bisa diverifikasi. Nah, kata Karl Popper,
verifikasi itu tidak membuat teori apapun, verifikasi hanya mengonfirmasi
sebuah teori.
Nah, kalau
yang penting adalah konfirmasi maka perlu ada hipotesa yang bisa diterima atau
ditolak. Dengan kata lain, ilmiah itu bukan hanya bisa konfirmasi tetapi juga
bisa difalsifikasi. Kemudian, prinsip verifikasi itu lemah kata Popper. Kenapa?
karena kita tidak mungkin memverifikasi semua hal di dunia ini. Besi kalau
dipanaskan memuai. Ini ilmiah, tetapi apakah di semua tempat berlaku hukum yang
sama. Belum tentu.
Berkembang
lagi, bahwa ilmiah itu tidak dihasilkan oleh satu orang saja. Melainkan hasil
dari konsensus para peneliti, kumpulan dari beberapa penelitian menjadi mata
rantai yang kemudian disebut ilmiah. Misalnya, konsep heliosentrisme. Ini tidak
dilakukan oleh hanya Nicolaus Copernicus saja, ada banyak ilmuan yan kemudian
juga memberikan penguatan.
Karena
berbagai kritik-kritik demikian itu atas apa yang disebut ilmiah tersebut,
variasi metode untuk sampai pada pengetahuan yang dianggap benar tidak hanya
pada yang diebut ilmiah. Mungkin saja mentode ilmu nasab tidak sesuai dengan
kaidah ilmiah, tetapi belum itu tidak bisa membawa pada kebenaran pengetahuan,
termasuk ilmu penelitian hadis, dst.
Jadi metode untuk sampai pada pengetahuan yang benar itu beragam. Dan bahka memungkinkan ada sintesa metode. Misalnya, dalam metode tarsif ayat-ayat, sekarang metode tafsir linguistik mulai ada menggunakan. Salah satunya kalau dalam dunia islam itu ada Nasr Hamid Abu Zaid.
Misalnya, kemudian para ahli nasab mengembangkan metodenya dengan mengadopsi metode ilmiah ya sah-sah saja. Toh sebagaimana diperdebatkan kemaren, bahwa ilmu nasab adalah buatan manusia di masa lampau yang disampaikan dari generasi ke generasi. Artinya tidak haram mengkritik metodenya untuk semakin memperkuat.Sehingga Guru
Gembul menyarankan para peneliti nasab itu perlu mengikuti perkembangan zaman,
perkembangan ilmiah. Di situ, Ustaz Wafi sepertinya kurang bersiap. Yang bisa
dia lakukan menganggap metode dia dan metode Guru Gembul berbeda.
Terlepas dari
siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam perdebatan itu. Saya kira sudah
satu langkah lebih maju dari pada sekedar tebar kebencian di media sosial baik
kubu muhibbin maupun kubu kiai imad. Menurut saya kebencian di media sosial itu
hentikanlah ya. Karena itu hanya semakin membuat Anda terlihat bodoh.
Dan satu lagi,
saya sangat mengapresiasi Guru Gembul, datang sendirian ke kandang Robitoh
Alawiyah, memperdebatkan persoalan nasab mereka, di tengah banyak orang yang
harus pilih-pilih tempat untuk bertarung. Walaupun mungkin kesimpulan Guru
Gembul, orang-orang di Robitoh Alawiyah tidak terlalu mengerti apa yang disebut
ilmiah. Hehehhee..
Saya kira
perdebatan nasab ini tidak akan selesai. Teruskan saja, sampai rambut di kepala
Anda ubanan semua.
0 Comments