Surplus Value, Cara Kapitalis Peras Buruh

Oleh: Herlianto. A

Ilustrasi kaum buruh yang diperas kapitalis. Foto/liputan6

Mazhabkepanjen.com - Untuk membahas surplus value (nilai lebih) ini, kita mulai dari mempertanyakan bagaimana para kapitalis mengumpulkan kekayaan? Misalnya, Elon Musk yang kekayaannya mencapai Rp 3.481 triliun tahun 2022, atau Jeff Bezos Rp1.974 triliun.

Kalau di Indonesia sebut saja Robert Budi Hartono yang kekayaannya Rp 342 triliun atau Chairul Tanjung yang kekayaannya Rp 79 triliun. Pertanyaannya, apakah semua kekayaan yang didapat oleh para kapitalis itu berdasarkan kerja mereka sendirian?

Mungkinkah Elon Musk kerja sendirian bisa menghasilkan Rp 3.481 triliun? Atau bisakah Chairul Tanjung menghasilkan Rp 79 triliun hanya bekerja berdua dengan istrinya? Jawabannya tidak, dan mustahil. Lalu dari mana?

Berkat Kaum Buru

Kalau Elon Musk, Jeff Bezos hingga Chairul Tanjung tak bisa kaya dengan bekerja sendiri, maka buruhlah yang membuat mereka kaya. Ribuan atau bahkan jutaan buruh yang telah bekerja siang malam untuk mereka. Tetapi bukankah buruh telah dibayar atau diupah sesuai dengan kerjanya?

Baca Juga: Masa Depan Idealisme Mahasiswa

Betul, buruh telah menukar tenaganya dengan uang, dan tenaga inilah yang kemudian menghasilkan suatu nilai yang disebut nilai lebih atau surplus value bagi Elon Musk Jeff Bezos dan Chairul Tanjung.

Suplus value itu begini, untuk membuat satu mobil listrik katakanlah butuh uang Rp 50 juta untuk menyiakap bahan-bahannya. Lalu, mobil itu berhasil dibuat oleh para buruh sehingga nilai jualnya Rp 100 juta.

Maka berarti kerja buruh mengubah benda yang nilai awalnya Rp 50 juta menjadi Rp 100 juta. Ada selisih Rp 50 juta.

Sementara itu, gaji buruh untuk menghasilkan satu mobil itu hanya Rp 40 juta, maka berarti ada sisa Rp 10 juta yang menjadi milik kapitalis. Nah, Rp 10 juta inilah nilai lebih yang diakumulasi terus menerus, bulan perbulan, tahun pertahun oleh para kapitalis.

Division of Labour

Gambaran ini hanya untuk memudahkan menunjukkan adanya surplus value. Karena praktiknya tidak sesederhana itu, praktiknya begitu kompleks sehingga tidak ada yang menyadari bahwa di situ ada nilai lebih yang diakumulasi oleh para kapitalis.

Misalnya, adanya pembagian kerja (division of labour). Jadi seorang buruh tidak menyelesaikan dari awal hingga finishing satu mobil itu, mereka hanya mengerjakan bagian-bagiannya.

 Dengan pembagian kerja ini seorang buruh yang bekerja untuk Elon Musk meski sudah bertahun-tahun tidak akan pernah bisa membuat satu mobil listrik pun.

Mereka ditempatkan di bidang-bidang tertentu. Misalnya, bagian buat ban, buat sofa, buat pentil ban, dst. Pembagian kerja ini sebetulnya selain mengaburkan nilai lebih itu, juga membuat buruh tidak paham cara membuat mobil listrik.

Baca Juga: Menjadi Stoik Mengatasi Kecemasan

Ini memang disengaja. Kalau para buruh itu disuruh membuat dari awal sampai akhir sampai jadi mobil listrik. Maka, mereka akan pulang dan membuat di rumahnya masing-masing. Sehingga ada yang mengatakan bahwa division of labour itu adalah cara untuk membuat buruh tetap bodoh.

Imajinasi Kepemilikan

Selain itu, untuk menyamarkan nilai lebih ini, kapitalis membangun imajinasi kepemilikan. Yaitu pengakuan kepemilikan yang sebetulnya imajiner. Mengapa disebut imajiner? Karena begini: Apa yang membuat suatu hal itu disebut menjadi milik kita?

Misalnya, ada air sungai yang mengalir. Lalu kita datang membawa gayung mengambil seember air itu.

Maka, kita mengatakan dan semua mengakui bahwa air seember itu menjadi milik kita. Proses dari bukan milik kita lalu menjadi milik kita itu ada kerja, dalam hal ini mengambil. Berarti kerja yang membuat sesuatu disebut milik kita.

Berarti nilai lebih itu adalah hasil kerja para buruh tetapi mengapa itu disebut milik kapitalis. Di sinilah imajinasi kepemilikan itu, yang kemudian dilembagakan oleh lembaga imajinatif pula yang bernama negara.

Baca Juga: Peradaban, Filsafat dan Penerjemahan

Negara akan menghukum Anda wahai para buruh apabila mengakui kekayaan milik Elon Musk yang ribuan triliun itu.

Sementara itu pedihnya lagi, upah untuk buruh tetaplah upah minimum, Upah Minimum Regional (UMR), Upah Minimum Kota atau Kabupaten (UMK).

Upah minimum itu apa artinya? Upah yang hanya cukup untuk buruh makan, tidur, berobat agar besok hari atau minggu depan bisa bekerja lagi. Atau cukup menyekolahkan anak, apabila sang buruh telah tua nanti, maka anak akan menggantikan jadi buru lagi. Begitu seterusnya berputar.

Berhentilah Jadi Buruh!

Kalau tidak setuju ya berhenti saja donk jangan jadi buruh? Omelan ini kadang menjadi senjata untuk melemahkan mental buruh. Karena jangankan berhenti jadi buruh, buruh mogok saja kapitalis itu udah goyang. Lalu negara menggerakkan pasukannya untuk menangkapi orang-orang yang mereka sebut sebagai provokator.

Jadi sebetulnya, buruh berhenti bekerja itu tidak masalah bagi kapitalis jika hanya satu atau dua buruh saja. Tetapi apabila semua buruh di suatu perusahaan berhenti, maka hancurlah perusahaan itu.

Jadi begitulah, kadang kekuatan buruh itu pemahamannya dibalik, seolah buruh yang butuh kapitalis untuk bisa hidup, padahal sebetulnya tanpa buruh kapitalis tidak bisa apa-apa.

Sebagaimana kita yakin tadi di awal, bahwa Elon Musk, Jeff Bezos hingga Chairul Tanjung tidak akan bisa menghasilkan uang hingga triliunan rupiah jika mereka hanya bekerja sendirian.

Disamping itu mata rantai kapitalistik ini juga sudah terbangun. Produksi buruh terus menerus dilahirkan utamanya melalui pendidikan, tak heran bila hari ini kampus sering berkampanye lulusan kami diterima kerja seratus persen.

Jadi memang kita dipersiapkan jadi buruh. Alhasil setelah selesai kuliah bingung dan tak ada pilihan selain menjadi buruh.

Perangkat-perangkat agama juga digunakan untuk membuat mata rantai kapitalistik ini terus settle. Sehingga banyak para pendakwah yang lancar mendakwahi para buruh untuk sabar dengan keadaannya karena malaikat sedang mencatat pahala atas setiap kerja keras yang telah mereka lakukan.   

Begitulah surplus value itu melahirkan para triliuner di atas tubuh buruh yang penuh keringat.

Post a Comment

0 Comments