Ibnu Khaldun dan Indonesia

Oleh: Herlianto. A

Sumber: Mazhabkepanjen.com

Negara akan tumbuh, berkembang dan hancur. Ini hipotesa IbnuKhaldun. Persoalannya, apakah Indonesia akan mengalami seperti yang dihipotesakan pemikir Islam tersebut?

Di hari kemerdekaan Indonesia ke 76 ini, tentu kita patut berucap syukur masih bisa menghirup udara di bumi pertiwi ini. Walaupun udara itu mungkin tidak segar-segar banget, akibat polusi udara. Namun, berkat negara ini, kita setidaknya aman dari penjajahan secara fisik oleh bangsa asing. Pada poin ini, saya kadang meyakini bahwa negara itu dibutuhkan sebagai security bagi warganya.

Tapi di sisi lain, kita kerap kali melihat penggusuran atas nama negara. Rumah-rumah warga yang mestinya diindungi justru dirobohkan. Freedom warganya dikebiri yang mestinya diberikan dan dijamin. Belum lagi korupsi yang gila-gilaan, ratusan kades, bupati dan walikota, gubernur, DPR, hakim, jaksa, dst kompak mengembat uang rakyat.

Uang yang mestinya digunakan untuk kesejahteraan kita semua. Dan, tentu saja sejumlah ketidakadilan lainnya yang dapat kita pelototi mulai dari pinggir jalan, ruang kesehatan, ruang pendidikan, ruang hakim, ruang polisi hingga ruang Istana. Bila merenungi sisi kedua ini, sepertinya hipotesa Marx benar bahwa negara dibentuk hanya untuk melegalkan bahkan membenarkan penindasan kelas kuat atas yang lemah. Suatu hipotesa yang masih dipegang oleh banyak pemikir hingga hari ini.

Negara hadir untuk meneruskan bagaimana kapitalis memeras proletar dan kaum miskin lainnya. Dalam hal ini tafsir atas Hobbes bahwa negara yang dibayangkan sebagai Setan (Leviathan) hadir untuk mencegah penghisapan manusia satu atas manusia lainnya, homo homini lupus, sepertinya kurang legitimate. Yang terjadi justru negara itu betul-betul menjadi setan bagi manusia itu sendiri.

Pun apa yang disebut kontrak sosial layak juga kita bincangkan. Kontrak sosial sepertinya tidak hakiki, lantaran elemen-elemen “penandatangan” kontrak itu tak pernah berada dalam posisi yang setara. Dapatkah keadilan sosial terwujud, sementara para penandatangan kontrak dalam kehidupan sosial itu sendiri tidak pernah betul-betul setara?

Dua sisi “yin dan yang” eksitensi negara ini kayaknya semacam dilema bagi kehidupan manusia. Karena kita pun tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia bila sehari tanpa negara.

Saya teringat hipotesa, Ibn Khaldun, sejarawan sekaligus filsuf Islam dalam magnum opusnya “Mukaddimah”.  Bahwa apa yang disebut negara, atau lebih longgar peradaban, mengalami siklus sebagaimana kehidupan manusia itu sendiri: lahir, masa kecil, masa muda, tua, stagnan, lalu mati.

Negara menurut Khaldun juga mengalami hal yang sama, dilahirkan oleh para pendirinya, dilanjutkan fase pembangunan, era kejayaan di mana semua orang menikmati sambil berfoya-foya, negara itu mengalami goncangan, lalu kemudian ambruklah negara itu.

Rasanya, tidak sulit-sulit banget menemukan fakta-fakta historis hipotesa Ibnu Khaldun ini. Sejarah dunia menunjukkan betapa keperkasaan Romawi yang kini tinggal kenangan. Begitu juga Yunani, Makedonia, Persia, dan bahkan dinasti-dinasti di timur tengah turut luluh lantak. Pun, negara modern macam Uni Soviet.

Di nusantara, kita melihat betapa masyhurnya Singosasi yang kemudian hancur. Lahirlah Majapahit yang juga luruh. Lalu hiduplah Demak, juga turut binasa. Begitu juga dengan Sriwijaya, dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi dan Kalimantan. Semua mengalami siklus: didirikan, dibangun, jaya, mengalami gejolak, lalu hancur.

Lantas, apakah Indonesia akan mengalami siklus yang demikian juga? Saya kira tak menutup kemungkinan. Semua akan berubah. Bukankah sudah pernah ada yang mengatakan bahwa tak lama lagi (2030) Indonesia akan bubar? Tapi itu di zaman panas pilpres kemarin. Sekarang mungkin sudah berubah prediksinya.

Catatannya mungkin begini: semua negara akan mengalami siklus tersebut, hanya saja masa rentang siklusnya yang berbeda setiap negara. Ada yang siklusnya pendek, ada yang panjang. Dalam hitungan puluhan tahun suatu negara mungkin saja sudah roboh, namun ada yang bahkan hingga ratusan tahun. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan perbedaan masa rentang siklus ini. Saya kira ada satu poin penting untuk ini.

Saya belajar dari Plato bahwa poin utama kokohnya negara adalah KEADILAN. Negara harus mampu menciptakan keadilan bagi warganya, tak peduli apapun sistemnya. Sejauh sistem itu mampu memberikan keadilan maka sejauh itu pula akan bertahan, termasuk untuk sistem demokrasi, yang tengah kita anut hari ini. Artinya, demokrasi pun akan luruh jika tak ditemukan lagi keadilan di dalamnya.

Bukankah demokrasi telah pernah runtuh pada awal abad kelahirannya, di Yunani. Bahkan sejak abad 3 SM hingga abad 17 M, atau sekitar 2000 tahun, demokrasi hilang entah kemana. Demokrasi baru berusia sekitar 300 tahun dimuka bumi ini jika dihitung dari abad ke 17 M. Usia yang belum separuhnya dari usia monarki dan teokrasi.

Itupun kini negara-negara demokratis katanya tengah berlomba-lomba dengan persenjataan nuklir masing-masing. Jika itu terjadi perang, rasanya tak ada yang bisa kita harapkan dari demokrasi. Jadi keadilan adalah kuncinya.

Saya kira itu, selamat ulang tahun negeriku, semoga panjang umur bangsaku

"
"