Bolot Tidak Budeg Soal Uang dan Perempuan

Oleh: Herlinto. A

Sumber: Mazhabkepanjen

Mengotak atik teks-teks filsafat terus-terusan kadang bikin jenuh juga. Sebagai selingan yang paling menyenangkan buat saya adalah membaca cerita-cerita humor atau komedi dan nonton video humor. Tapi lebih sering video-video komedi sih, misalnya video talk show atau stands up comedy.

Dari sekian komedian yang saya tonton, yang menarik buat saya adalah Haji Bolot, pelawak asal Betawi yang biasa menjadi orang budeg. Modal dia hanya budeg di depan camera tetapi bisa membuat orang tertawa. Orang bertanya apa, dia menjawabnya apa, jawaban atas pertanyaan tak pernah singkron. Saya membayangkan betap ruwetnya berkomunikasi dengan orang macam itu, jika ada.  Tetapi, anehnya kebudegan itu malah membuat tingkahnya jadi lucu. Penonton tidak hanya tertawa, bahkan kadang ngakak ya.

Sambil menikmati humor itu, lahir satu pertanyaan di benak saya mengapa Bolot bisa lucu, apa yang membuat kebudegan yang menyebalkan itu justru menjadi lucu? Satu pertanyaaan yang jika diteliti dan direnungi secara mendalam mungkin akan melahirkan disebut filsafat humor.

Saya mencoba mencari jawaban atas kegelisahan itu. Dan, pada kesempatan ini, saya ingin mendiskusikan jawaban sementara yang saya dapati. Saya mencarinya dalam ilmu linguistik terutama pada kajian pragmatik.

Pragmatik adalah cabang linguistik yang melihat makna bahasa hubungannya dengan luar bahasa atau konteks, jadi makna bahasa dibentuk oleh konteks. Ini berbeda dengan semantik yang mencarik makna bahasa dalam hubungannya dengan struktur kalimat itu sendiri.

Dalam pragmatik dikenal Prinsip Kerjasama Komunikasi, bahwa suatu percakapan dapat terjalin antara penutur dan mitra tutur apabila keduanya saling menerapkan prinsip kerjasama. Kerjasama dalam hal ini yaitu para interlokutor berupaya saling mengarahkan percakapan tersebut. Pertanyaan dan jawaban dalam satu komunikasi harus disesuaikan.  

Misalnya, saat penutur bertanya soal kabar maka mitra tutur harus menjawab kabar juga. Jika dijawab soal minat belajar filsafat, maka percakapan itu tidak terjadi. Berarti terjadi pelanggaran atas prinsip kerjasama, atau bisa disebut penyimpangan pragmatik. Penyimpangan ini yang biasanya dalam istilah linguistik disebut “flouting maxim”.

Jika dilihat dari beberapa video percakapan Bolot yang beredar di YouTube, dia sepertinya banyak melakukan penyimpangan prinsip kerjasama ini tetapi dengan maksud untuk melucu. Jadi budeg hanya alat yang digunakan Bolot untuk menyimpangkan jawaban atas pertanyaan lawan bicara. Ya, namanya juga budeg pasti seringkali salah paham.

Dalam hal prinsip kerjasama komunikasi, Paul Grice adalah orang penting dalam hal ini, terutama lewat karyanya Studies in The Way of Words (1991). Dia membahas empat kategori prinsip kerjasama komunikasi, yaitu: kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Masing-masing kategori ini memiliki maksimnya yang harus dipatuhi oleh interlokutor.

Kategori kuantitas, maksimnya mengatakan bahwa penutur harus memberikan informasi secukupnya tidak boleh berlebihan atau kurang. Kategori kualitas, maksimnya bahwa penutur mengatakan yang sesunggunya, tidak boleh bohong. Kategori relevansi, maksimnya mengatakan bahwa penutur harus memberi jawaban sesuai dengan apa yang dibicarakan, tidak boleh melompat topik. Sementara kategori cara, maksimnya adalah penutur harus menyampaikan jawabannya dengan jelas, menjauhi makna semu dan ambigu.

Pembagian kategori dan maksim ini, sebagaimana diakui oleh Grice, terinspirasi dengan kategori-kategori dalam filsafat Kant, yang juga memiliki nama kategori yang sama sebagaimana diadopsi oleh Grice.

Nah, pada beberapa kategori prinsip kerjasama komunikasi inilah Bolot melakukan pelanggaran, atau menyimpangkan maksimnya. Jadi, dengan demikian komedi atau humor dapat dipahami pembentukannya. Victor Raskin, ahli humor, dalam Semantic Mechanisms of Humor mengatakan bahwa humor dihasilkan dari semantik mapping atau pemetaan dua makna yang tidak selaras dalam percakapan humor. Jadi ketakselarasan makna inilah yang melahirkan efek humor. Ketidakselarasan ini dihasilkan dari penyimpangan pragmatik.

Maka Raskin membedakan antara percakapan komedian dan percakapan biasa. Percakapan biasa adalah bersifat bonafide yaitu mengikuti prinsip-prinsip kerjasama komunikasi, sementara percakapa humor sebaliknya yaitu non-bonafide, melanggar prinsip kerjasama tersebut.

Selain itu, Bolot terbilang langka di Indonesia, tak banyak komedian Indonesia yang konsisten  menjadi budeg. Dengan konsistensi ini, dia menjauhi betul lawakan-lawakan model menghina atau menghujat sebagaimana pelawak-pelawak belakangan. Bolot berupaya mendidik publik dan para komikus bahwa ngelawak itu tidak harus dengan hinaan dan cacian.

Karena itu cara dia berkomedi sarat dengan kritik sosial. Misalnya, Bolot selalu dikenal sebagai pak RT, karenanya sering berseragam pejabat, jadi seolah-olah dia penguasa. Artinya, dia menampilkan realitas pejabat publik kita bahwa mereka jarang mendengar aspirasi rakyat. Penguasa itu sering kali budeg jika diajak bicara soal keadilan, kesejahteraan, persoalan lingkungan, dst.

Tetapi anehnya, jika berbicara soal uang dan yang mengajak bicara itu perempuan maka Bolot langsung hilang budegnya. Ini realitas yang tidak jauh dari para pejabat publik kita hari ini, korupsi uang rakyat lalu uangnya dipakai untuk membayar perempuan kesukaannya.

Atau jika kita tarik lebih luas, Bolot menampar kita semua, yaitu bahwa hari ini kita lebih bergaira soal perut dan bawah perut. Kita budeg jika membicarakan hal-hal yang serius, misalnya untuk membangun kapasitas intelektual. Termasuk kita budeg jika diajak ngobrolin soal filsafat.

Jadi, kita sedikitnya mafhum mengapa lawakan budeg Bolot itu bisa membuat orang tertawa, serta bagaimana dia lewat lawakannya mengedukasi publik. Satu kerja kritik sosial yang dijarang dilakukan oleh pelawak lainnya. Tetapi rupanya Bolot berhasil melakukannya.   

Post a Comment

0 Comments