Inggit Garnasih dan Para Lelaki Sukarno

Oleh: Herlianto. A

Sumber: tribunnews.com

Aku saat ini sedang berusaha menghabiskan lembaran-lebaran “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat”, suatu autobiografi yang sangat menggugah. Aku sedikit menyesal, merasa terlambat membaca buku yang telah kubeli tiga tahun lalu itu. Aku membelinya di toko buku Wilis kota Malang waktu itu. Ada banyak kisah-kisah yang merenyuhkan hati dibalik kegagahan Sukarno dengan segala aktivitas politiknya.

Walaupun masih melahap tak lebih dari sepertiganya, aku seperti butir-butir garam yang diceburkan ke air, larut dalam kepiluan cerita dalam buku yang ditulis Cindy Adams ini. Terutama, kisah Inggit Garnasih, ibu kos yang dipersunting Sukarno. Perempuan itu diperoleh secara “jantan” oleh Sukarno dengan menyingkirkan suaminya, Sanusi, dan mengembalikan istrinya sendiri, Utari, pada HOS. Tjokroamino, guru yang paling dikaguminya.

Inggit lebih tua 13 tahun dari Sukarno yang masih 21, serta pengalaman menikah dua kali sebelumnya tampaknya ia berpengalaman untuk menjongkokkan hati “Kusno”. Sukarno yang tak merasakan cinta dengan gadis hijau macam Utari.

Bersama Inggit, pahit-getir kehidupan itu dilalui, sering lapar, dan tak ada uang sepeserpun untuk sekedar membelikan tamu segelas kopi tubruk. Dua puluh tahun sang singa podium didampinginya. Beberapa kali Sukarno masuk penjara dan dibuang, dari Suka Miskin hingga Ende. Inggit tetap menjadi sosok penyemangat. Setiap kali menjenguk sang suami, tak lupa diselipkan uang pada makanan yang diberikannya agar bisa membeli surat kabar terbaru.

Inggit pula yang menjadi penyambung antara Sukarno dalam penjara dengan sejawat-sejawat politiknya di luar penjera. Dia juga yang menyediakan kertas-kertas agar sukarno bisa menuliskan pesan-pesannya pada para kompatriotnya. Sayang, dia tidak ditakdirkan menjadi the firt lady dalam sejarah bangsa ini. Begitu pembuangan Sukarno dipindah dari Ende ke Bengkulu, cerita cinta itu berbeda.

Ada Fatmawati, daun muda yang menggugah seleranya, ditambah penguat alasan Sukarno yang kini menginginkan keturunan. Izin menikah lagi, dengan tetap menempatkan Inggit sebagai yang tertinggi. Tetapi, bagi perempuan tegar itu, berpisah tetap yang terbaik. Begitu proklamasi dibacakan, dan Sukarno sebagai Presiden republik Indonesia, Fatmawati sebagai the first lady.

Inggit memaafkan Sukarno, di akhir hayat bapak revolusi itu, Inggit datang tergopoh-gopoh dari Bandung menghampiri janazah mantan suaminya. Di samping jenazah itu, dengan suara parau dia berkata “Kus, kiranya Kus mendahului, inggit doakan…”  kalimat itu terputus, dia tak kuasa menahan air mata akan rasa kehilangan laki-laki yang sangat dicintainya.

Tak lama setelah itu, Inggit saling bermaafan dengan Fatmawati yang perantarai oleh Ali Sadikin.  Dua bulan kemudian, perempuan yang sangat berjasa dalam hidup Sukarno itu pergi untuk selamanya.

Membaca sejarah ini, aku tertegun sejenak memikirkan bagaimana caranya membela “kaum lelaki Sukarno”. Kaum macam ini memang ada, bahkan mungkin saja di dalam diri kita ada potensi “daya Sukarno” ini yang kita tahan dengan sekuat tenaga, dengan segala pertimbangan rasional dan emosional.

Memang “daya Sukarno” ini paling tidak bisa melihat keindahan, begitu momen itu datang maka daya itu bergerak untuk segera berbagi kebahagiaan. Walupun tentu saja tidak semua lelaki begitu, bahkan juga tak sulit menemukan lelaki yang diperlakukan oleh istrinya sebagaimana Inggit oleh Sukarno. Entahlah.

Tetapi apapun itu, Sukarno, telah bercerita dengan jujur dalam autobiografinya tentang kisah pilu itu. Ini menurutku, sekaligus sebagai permohonan maaf bukan saja kepada Inggit tetapi kepada semua orang yang mengagumi sosok Sukarno.       

Post a Comment

0 Comments