Keraguan Untuk Kepastian: Rene Descartes Part 1

Oleh: Herlianto. A

Sumber: britannica.com

Meditations on First Philosophy harus diakui sebagai salah satu magum opus dalam dunia filsafat yang ditulis oleh Rene Descartes. Buku semi autobiografi ini berhasil mengubah wajah filsafat barat abad pertengahan menjadi modern. Karena itu, membaca filsafat modern sama sekali tidak lengkap tanpa mengulas buku penting ini.

Karena itulah, kali ini saya berusaha untuk memberikan rangkuman dari buku tersebut setelah beberapa saat lalu berkesempatan membacanya. Dalam rangkuman ini akan dibahas secara berseri dari bagian awal hingga bagian akhir buku itu. Di seri pertama ini disajikan bagaimana Descartes memulai keraguannya, sehingga dia kemudian dijuluki bapak skeptisisme modern. Kita awalai dari kutipan awal:

“Beberapa tahun yang lalu, di masa kecil, aku dilanda sejumlah kesalahan yang aku anggap sebagai kebenaran, dan pada bangunan besar keraguan itu aku bersandar. Aku menyadari hal itu perlu, paling tidak satu kali dalam perjalanan pengetahuan hidupku. Namun aku harus menghancurkan segala sesuatu secara total dan memulai lagi tepat dari fondasi itu jika aku ingin membangun ilmu pengetahuan yang kuat dan mungkin yang terakhir.”[1]

Pada diktum pembuka Meditations ini Descartes menyiratkan misi dan visi besar filsafatnya. Visi utamanya adalah menemukan pengetahuan yang pasti, pengetahuan haruslah pasti, mendasar, dan fondasional.

Uniknya, demi tujuan kepastian itu landasan pacunya bukanlah kepastian, justru keraguan yang sebenarnya berkontradiksi dengan kepastian. Descartes menggunakan keraguan untuk kepastian dengan merancangnya sedemikian rupa sehingga dapat menggapai kemutlakan dengan kendaraan skeptis. Beberapa komentatorya lalu menyebut bahwa keraguan sebagai metode pencarian pengetahuan dalam konstruksi pemikiran Descartes. Tak lebih.

Cara ini sering dimetaforkan dengan “apel busuk,” bahwa untuk memastikan semua apel yang ada di dalam keranjang tidak busuk maka semua apel di dalamnya harus dikeluarkan semua terlebih dahulu. Lalu diperiksa satu persatu, hasil yang tidak busuk kembali dimasukkan ke dalam kerangjang sementara yang busuk dibuang atau dieliminasi.

Begitu juga untuk mendapatkan semua pengetahuan yang kita miliki bernilai pasti, maka kita harus keluarkan semua pengetahuan yang sudah mapan dari benak kita dengan cara meragukannya. Lalu memeriksa kepastiannya hingga akhirnya menemukan yang pasti dan fundamental, untuk kemudian dijadikan fondasi dan patokan bagi pengetahuan lain berikutnya.

Pertanyaannya dapatkah metode keraguan mengantarkan Descartes ke gerbang kepastian? Keraguan sebagai metode mencapai kepastian sebetulnya sudah dibicarakan Descartes pada karya sebelumnya Discourse and Method. Salah satu poin yang penting dalam buku ini berkaitan dengan keraguan sebagai metode yang memiliki empat prinsip yang mesti ditempuh dalam pemeriksaan pengetahuan.

Di antaranya: pertama, tidak menerima apapun sebagai benar kecuali mengetahuinya secara jelas bahwa memang benar. Kedua, melakukan pemilahan sedetail mungkin untuk memudahkan penyelesaian pengetahuan. Ketiga, memikirkan secara sistematis dari hal-hal yang paling sederhana dan mudah hingga yang rumit dan kompleks. Keempat, melakukan perincian dari pemeriksaan yang telah dilakukan untuk mendapat keputusan bahwa suatu pengetahuan bernilai pasti.[2]

Descartes cukup lama tertarik hati pada skeptisisme, namun bukan sebagai akhir pengetahuan sebagaimana dicanangkan oleh Phyrro, Protagoras, Gorgias dan kaum Sofis lainnya di Yunani Klasik. Melainkan sebagai metode atau instrumen saja.

Dia tak membuang sama sekali skeptisisme tetapi memberikan dan menempatkannya di posisi terhormat: bahwa pengetahuan yang kokoh harus lulus dari “ujian” keraguan. Untuk menerapkan keraguan dalam meditasinya, Descartes menenggelamkan diri dalam sunyi dan kesendirian. Itu langkah awal yang mesti dilalui.

Apa yang mula-mula diragukan? Sasaran pertamanya adalah semua persepsi inderawi. Dia menyadari sejauh ini yang paling banyak mensuplai pengetahuan pada gudang benaknya adalah indera dan itu yang dianggap benar selama ini. Dengan meragukan persepsi indera, dia menemukan kekeliruan bahkan cenderung menipu dari apa yang diinput oleh indera.

Ada satu cara refleksi yang dilakukan Descartes untuk menguatkan keraguannya pada berbagai persepsi indera dan semua pengetahuan yang sebelumnya sudah didapat dari lingkungan dan tempat belajar selama ini, yaitu argumen mimpi.

Argumen Mimpi

Keraguan atas persepsi indera dirasakan Descartes setelah bermimpi secara berulang. Dia  memeriksa hal-hal yang hadir dalam mimpinya dengan hal-hal yang dicapai lewat persepsi indera. Mana yang lebih benar atau keduanya sama-sama meragukan?

Descartes menguji keabsahan mimpi dengan berbaring telanjang di kasur, lalu membuat pengandaian: katakanlah dia sedang bermimpi menggunakan gaun dan duduk dekat api. Lalu dia membantah mimpinya, rupanya mimpi ini tidak benar, karena faktanya Descartes sedang tiduran telanjang di atas kasur dan tidak sedang mengenakan gaun di dekat api.

Lalu persepsi indera juga diuji, cara mengujinya dengan melihat bagian-bagian tubuhnya. Yang mana pengetahuan atas bagian-bagian tubuh itu sama persis dengan bagian tubuh Descartes yang diketahui saat dia sedang berada dalam mimpi. Bentuk serta kemulusan paha dan dadanya yang diketahui saat bermimpi dengan saat dia terjaga ternyata sama persis.

Sementara dirinya menyatakan bahwa mimpi tidak benar, berarti dia sampai juga pada kesimpulan bahwa pengetahuan indera tak ada bedanya dengan yang di mimpi. Kedua pengetahuan ini sama-sama meragukan.

Namun demikian, dari keraguannya atas mimpi masih membuat Descartes memetik poin yang “sedikit lebih pasti” yaitu bahwa sejatinya mimpi itu seperti lukisan yang dibuat menyerupai sesuatu yang lain dari lukisan itu. Seberapapun imajinernya lukisan itu, tetapi tetap mengacu pada benda yang dilukis (realitas), dan itu riil.

Termasuk bahan-bahan yang digunakan untuk melukis mulai dari kuas, kanvas dan cat warna pastilah juga riil. Seimajiner-imajinernya lukisan, masih menyisakan dua hal yang riil yaitu media lukis dan objek lukis.

Begitu juga dengan pengetahuan indera dan mimpi. Sekalipun mimpi dan pengetahuan indera tentang bagian-bagian tubuh itu imajiner. Katakanlah pada faktanya Descartes tidak punya paha dan dada serta kaki, tangan, hidung dan bagian tubuh lainnya. Namun tetap menyisakan yang riil dari pengetahuan mimpi ini, yaitu paling tidak konsep yang dimimpikan dan kita yang bermimpi itu adalah nyata.

Inilah kepastian awal yang dicapai Descartes tentang pengetahuannya dengan menggunakan metode keraguan. Keraguan itu, masih menyisakan, setidaknya, sedikit kepastian tentang posisi yang meragukan itu sendiri.



[1] Rene Desacartes. Meditations., paragraf 1

[2] Rene Descartes. Diskursus & Metode. Diterjemahkan: Ahmad Faridl Ma’ruf. Jogjakarta: IRCiSoD.2012., hal 50-51

"
"