Logika Untuk Nalar Bukan Pikiran


Oleh: Herlianto A
Sumber: myamcat.com

Beberapa definisi tentang logika masih perlu didiskusikan ulang sehingga pemahaman kita tentang logika menjadi lebih presisi. Beberapa buku logika yang ditulis memberikan definisi logika terkesan masih terlalu umum (general). Misalnya, buku Belajar Konsep Logika disusun Mutadha Muthahhari, menyatakan bahwa logika adalah hukum berpikir. Logika adalah bagai bandul untuk mengukur tegaknya tembok yang dibangun.[1]  

Pelajaran Mantiq: Perkenalan Dasar-Dasar Logika Muslim ditulis Mahmud Muntazeri Muqaddam, mendefinisinikan  logika sebagai kaidah-kadiah umum untuk menjaga akal agar terbebas dari kesalahan berpikir.[2] Hal yang sama dinyatakan buku Ringkasan Logika Muslim disusun Hasan A.A. Buku ini menyatakan logika mengatur cara berpikir manusia.[3]

Dari beberapa pandangan ini, mereka bersepakat bahwa logika adalah hukum berpikir. Aturan-aturan atau kaidah-kaidah bagi manusia untuk dapat berpikir dengan tepat. Tetapi definisi ini kurang spesifik dan kurang akurat, karena berpikir (thingking) itu sangat luas cakupannya.

Bahkan cenderung tumpang tindih dengan psikologi yang juga membahas hukum pikiran manusia. Sementara itu, logika bukanlah cabang dari psikologi. Keduanya terpisah dan menempati bidangnya masing-masing.

Jika berpikir itu kita pahami segala aktivitas yang terjadi dalam pikiran (mind), maka tidak semua aktivitas pikiran adalah objek dari logika. Kita mungkin memikirkan angka satu sampai sepuluh, tetapi aktivitas berpikir ini sama sekali tidak membutuhkan logika.
Hal lainnya, ketika mengingat, menghayal, berimajinasi, atau menyesal adalah termasuk aktivitas pikiran yang tidak membutuhkan logika. Jika Anda sering berpikir dapat membangun istana di atas awan, dapat menikmati ribuan bidadari dalam sekejab, lalu memikirkan segepok uang jatuh di lantai rumah.

Jika hal ini terjadi, saya kira Anda bukan membutuhkan ahli logika untuk menyelesaikan kasusnya tetapi membutuhkan seorang psikiater. Karena ini lebih cenderung ada potensi gangguan jiwa, dan bukan kesalahan logis atau kesesatan logis (logical fallacy).

Karena alasan luasnya cakupan berpikir tersebut, Irving M. Copi dalam Introduction to Logic menspesifikasi logika pada nalar (reasoning) bukan berpikir (thingking). Memang nalar bagian dari berpikir manusia yang memerlukan logika, tetapi tidak semua berpikir adalah nalar, seperti yang telah dikemukanan.

Nalar dalam hal ini adalah berkaitan dengan berpikir yang menyiratkan penyimpulan (inference) yang didapat dari penggambaran premis-premis atau proposisi-proposisi sebelumnya. Jadi yang mendasar dalam logika adalah ketepatan membuat premis dan melakukan penarikan kesimpulan yang valid dari presmis-presmis tersebut. Nah, ilmu logika berkaitan dengan hukum-hukum nalar tersebut.[4]

Memang tiga penulis logika diawal, Muthahari, Muqaddam, dan Hasan, memberikan penjelasan tentang berpikir, artinya mereka sudah berupaya untuk menspesifikasi. Jadi ketika mereka mendefinisikan logika sebagai hukum berpikir, lalu menjelas apa yang dimaksud berpikir itu sendiri.

Berpikir (fikr) dalam definisi mereka adalah menghasilkan pengetahuan yang baru dari pengetahuan yang sudah ada. Atau berpikir adalah usaha pikiran untuk mengetahui sesuatu yang tidak diketahui (majhul). Nah, dalam usaha manusia untuk mengetahui yang tidak diketahui atau pengetahuan baru itulah pikiran membutuhkan hukum, dalam hal ini logika agar tidak tersesat.  

Pembatasan ini, bisa saja pada batas-batas tertentu, dapat terima. Artinya berpikir yang berkaitan dengan pencapaian pengetahuan saja, di luar dari itu maka tidak membutuhkan logika. Namun demikian, persoalannya benarkah aktivitas berpikir itu hanya mengetahui sesuatu yang baru? Dan nyatanya dalam kajian-kajian ilmu lebih lanjut aktivitas berpikir bukan hanya mengetahui yang baru, tetapi ada banyak hal sebagaimanya telah dijelaskan di awal.

Namun demikian, bisa jadi nalar (reasoning) yang dimaksud oleh Irving M. Copi adalah “upaya mengetahui sesuatu yang baru”. Artinya tidak adap perbedaan konsep, hanya istilah saja yang berbeda. Jika begitu, maka dua pandangan definisi logika di atas adalah dua hal yang dekat maknanya. Artinya, persoalan definisi logika di atas hanya berkaitan dengan penggunaan istilah yang lebih tepat, agar tidak menimbulkan kekaburan.

Sekarang pilihannya kembali kepada para pembaca sekalian, apakah lebih nyaman memahami logika sebagai hukum berpikir dalam arti hukum mengetahui sesuatu yang baru. Atau, secara tepat menggunakan logika adalah “hukum menalar” yang dengan sendirinya dibedakan dengan aktivitas berpikir lainnya, seperti menghayal, mengingat, dan berimajinasi.

Akhirnya kata, belajar logika bukan hanya mengingat rumusan-rumusan yang ada, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah mempraktikkannya. Seorang yang ahli teori menendang bola, tidak berarti dengan sendirinya dapat menendang bola dengan baik. Begitu juga ahli teori lari, tidak lantas dengan sendirinya dapat lari dengan baik. Pun, ahli logika tidak dengan sendiri hebat menalar.

Namun begitu, orang yang belajar logika memiliki kesempatan untuk belajar lebih banyak dalam menalar, lebih banyak belajar menganalisis kesalahan menalar, dan logika memberikan beberapa teknik yang tepat dalam menalar. Pendeknya, belajar logika memiliki potensi untuk dapat menalar dengan lebih baik.      

[1] Mutadha Muthahhari. 2013. Belajar Konsep Logika. Yogyakarta: RausyanFikr., hal 2
[2] Mahmud Muntazeri Muqaddam. 2014. Pelajaran Mantiq: Perkenalan Dasar-Dasar Logika Muslim. Yogyakarta: RausyanFikr., hal 31
[3] Hasan. A.A. 1992. Ringkasan Logika Muslim: Senuah Analisa Definisi. Jakarta: Yayasan Al-Muntazar., hal 1
[4] Irving M.Copi. 1972. Introduction to Logic. New York: Macmillan Publishing Co., Inc., hal 4-5

"
"