Gus Dur-Cak Nur, Pluralitas dan Modernitas


Oleh: Herlianto A
Sumber: serikatnews.com

Keragaman (pluralitas) dan perkembangan (modernitas) adalah dua hal yang tak bisa ditolak jika kita mengamati realitas dan gerak sejarah manusia secara presisi. Kemampuan manusia berdamai dengan keragaman dan kemajuan menjadi kunci penentu bagi keberlangsungan hidup manusia berikut peradabannya. Karena itu, manusia perlu belajar dengan keras hanya untuk agar dapat meneruskan keragaman dan kemajuan itu.

Setiap peradaban, atau wilayah, atau masyarakat memiliki caranya yang unik dalam mempertahankan perbedaan dan kemajuan. Kerena itu kita melihat tokoh-tokoh besar sebagai pluralis dan pembaharu yang berbeda-beda di masyarakat atau negara yang berbeda, termasuk di Indonesia.
Untuk negara yang paling kita cintai ini, dimana kita pipis, bernafas, dan beranak-pinak serta korupsi, juga memiliki sosok pluralis dan modernis yang mashur. Mereka adalah, tak diragukan lagi, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholis Madjid (Cak Nur).

Dua sosok ini memberikan sumbangsih besar terhadap prinsip-prinsip keragaman dan kemajuan yang tidak melenceng dari lokalitas ke-Indonesiaan sebagai bangsa yang berbeda dengan bangsa manapun.
Gus Dur menulis beberapa buku yang layak diwariskan pada anak cucu kita sebagai kitab bagaimana menghadapi perbedaan dan hidup dalam perbedaan. Buku itu di antaranya: Islam Kosmpolitan, Tuhanku Tuhan Anda Tuhan Kita, Tuhan Tidak Perlu Dibela, dst. Pada lembaran-lembaran buku ini Gus Dur memberikan sikap dalam menghadapi upaya homogenisasi terutama lewat agama (Islam).

Baginya, kebutuhan dasar beragama adalah beribadah secara bebas. Siapapun harus respek kepada hak dasar manusia ini, termasuk negara harus menjaminnya. Karena itu siapapun rezimnya penghargaan pada kebebasan menjalankan agama tidak boleh dikhianati. Dan sebaliknya, rezim yang memberikan kebebasan beribadah pada warganya layak dipertahankan.


Walaupun, misalnya, ada beberapa yang perlu dikiritisi. Di sinilah justru ruang yang harus diambil oleh kalangan agamawan. Dalam hal ini, contoh yang diangkat Gus Dur adalah hasil mukamar NU 1936, di mana NU bicara Darul Islam tetapi bukan negara Islam melainkan wilayah Islam. Artinya, kepemimpinan tetap berada pada Hindia Belanda karena dalam batas-batas tertentu masih memberikan kebebasan beribadah.  

Terhadap dogma-dogma agama, Gus Dur juga memberikan teladan bahwa teks-teks agama haruslah ditafsir dalam diskusi yang terbuka. Salah satu yang dicontohkan adalah ayat udkhulû fi al-silmi kâffah (masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh) (QS. Al Baqarah (2):128). Menurut Gus Dur al-silmi sebaiknya dimaknai “kedamaian” bukan “Islam”.

Kalau dimaknai sebagai Islam maka membutuhkan bentuk formal dan harus ada sistem yang Islami, tetapi apabila dimaknai kedamaian maka menjadi universal dan tidak perlu sistem Islami. Memang ini perdebatan tetapi untuk Indonesia yang beragam, maka cocoknya dimaknai kedamaian.

Itulah yang ditunjukkan oleh para pendiri bangsa, macam Ki Bagus Hadi Kusumo (Muhammadiyah), Abi Kusno CokroSuryo (Sarekat Islam), A Rahman Baswedan (Partai Arab Indonesia), A. Subardjo (Masyumi), Wahid Hasyim (NU), dan H. Agus Salim (NU). Gus Dur menyebut ini pribumisasi Islam, yang belakangan diterjemahkan lebih lanjut menjadi Islam nusantara.

Secara praktik individual, Gus Dur juga memberikan teladan bagaimana perbedaan harus dikelola. Ini tampak pada pembelaan terhadap ajaran liberal Ulil Absor Abdallah (kini sudah nyufi). Inul Daratista dan termasuk Ahmad Dani, juga menjadi sosok yang pernah dibela oleh Gus Dur dalam hal perbedaan berkesenian.

Poinnya, segala absolutisme sepihak yang menutup perbedaan akan menjadi lawan Gus Dur. Tak peduli apapu alasannya, bahkan sekalipun membawa term Tuhan tetap tidak dibenarkan. “Tuhan tidak perlu dibela,” demikian Gus Dur.

Bagaimana dengan gagasan Cak Nur? Dia termasuk yang paling konsen dengan pembaharuan Islam jika kita baca buku-bukunya mulai dari Islam Doktrin dan Peradaban, Islam Agama Kemanusiaan, hingga Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Baginya Islam tidak boleh gagap dengan perkembangan pengetahuan, karena ia adalah kemestian.

Dalam Islam Doktrin dan Peradaban, Cak Nur memberikan semacam penyesalan saat membaca sejarah keruntuhan peradaban Aleksandria. Salah satu yang dia ratapi adalah dibakarnya perpustakaan dan dibunuhnya beberapa ahli sains lantaran dianggap merusak agama. Hypatia, sosok perempuan saintis yang ditonjolkan Cak Nur yang menjadi korban zaman jahiliyah itu.

Andai kata, renung Cak Nur, tidak terjadi penghancuran ilmu pengetahuan kala itu. Maka, sangat mungkin manusia saat ini bisa tinggal di planet Mars. Lalu setiap bulan berlibur ke bumi hanya untuk melihat orang-orang yang sibuk saling mengkafirkan, sibuk mengkorupsi uang rakyat, dst.  

Peradaban yang terus berkembang ini mensyaratkan penyesuaian. Kemajuan tidak bisa dihadapi dengan kekunoan apalagi kejumudan. Perlu keterbukaan pikiran dan kesediaan menerima yang baru, di sini juga bisa diamati bagaimana pertautan pluralitas dan modernitas.

Akan tetapi kemajuan perlu dijinakkan dalam frame keagamaan (Islam) dan ke-Indonesiaan. Kemajuan keagamaan dalam arti seperti mengganti beduk dengan loudspeaker di masjid dan musala. Menggunakan alat-alat canggih dalam rukyatul hilal atau metode hisab untuk menentukan awal bulan untuk kepentingan agama.

Berdakwah bisa dilakukan lewat media-media online, dst. Jadi kemajuan bukanlah mengubah akidah dan ibadah melainkan memperbaiki meng-upgrade yang amaliyah demi meningkatkan ibadah itu sendiri.

Sayangnya, Cak Nur acap kali dituduh sekuler dalam hal ini, walaupun sekuler dalam versi dia bukanlah sekulerisme. Sekuler yang diajarkan Cak Nur adalah desakralisasi secara sosiologi atau pembebasan dari penyucian yang tidak pada tempatnya yang membuat manusia tidak terbuka pikirannya.

Jadi sekuler bukan upaya memisahkan agama dan negara atau agama dengan kehidupan sosial seperti yang terjadi pada sekulerisme Eropa. Melainkan, lebih kepada upaya menggali pengetahuan agar manusia terus bisa bertahan dalam perkembangan kehidupannya. Sekulerisasi ini kemudian ditambatkan dengan ke-Indonesiaan sebagai suatu bangsa (nation) yang beragam. Artinya kemajuan ini dimaksudkan untuk kehidupan bernegara yang lebih baik.

Dengan demikian apa yang telah dilakukan oleh Gus Dur dan Cak Nur adalah modal penting bagi kita generasi Indonesia untuk terus hidup dalam keragaman yang berkemajuan. Tinggal bagaimana kita terus menggali ide-ide dari apa yang telah dicetuskan oleh keduanya agar kita tidak menjadi generasi yang jumud.

Post a Comment

0 Comments