Pertukaran Seksual dan Integrasi Sosial


Oleh: Herlianto A
Sumber: poskotanews.com

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana pertukaran seksual berdampak pada integrasi sosial? Sekilas, seksual adalah perkara ranjang yang begitu privat di ruang yang “agak gelap” dan tak ada orang yang tahu, sementara sosial adalah ranah publik. Publik berarti urusan semua orang di mana semua mata dapat memelototinya. Adapun seksual, umumnya, hanya menyangkut dua agen yang terlibat kecuali hal-hal tertetu. Bagaimana yang privat ini mendeterminasi yang publik? Mungkinkah integrasi sosial ditopang oleh pertukaran seksual?

Sebetulnya Aristoteles dalam Politics sudah berupaya menjawab rangkaian pertanyaan ini. Menurutnya, hal itu mungkin. Kemungkinan ini didapatkan setelah filosof Yunani tersebut mengurai negara kota (city state) atau polis, bahwa setelah ditelusuri, unsur atomik dari negara atau suatu peradaban adalah keluarga (oikos). Institusi keluargalah yang paling purba di dunia yang menopang pranata sosial di mana negara dibangun di atasnya. Peradaban boleh tumbang, negara boleh hancur, ideologi boleh compang-camping, tetapi keluarga akan tetap utuh. Dan tentu saja, salah satu poin dalam keluarga adalah hal seksual.[1]  Dari kemungkinan ini kita akan bicarak lebih luas pada perbicangan teori antropologi struktural ala Levi Strauss.

Kinship Sebagai Inti

Sebelum Strauss berbicara banyak tentang integrasi sosial kaitannya dengan seksual, Emile Durkheim, pendiri sosiologi modern, memulainya terlebih dahulu. Dia melontarkan pertanyaan: mengapa manusia hidup membentuk masyarakat? Atau mengapa integrasi sosial itu terjadi? Jawaban yang ditemukan oleh Durkheim adalah “solidaritas sosial” atau ashabiyah dalam terminologi Ibn Khaldun. Solidaritas sosiallah yang menyebabkan manusia mengintegrasikan diri dalam suatu ikatan masyarakat. Solidaritas dalam arti bahwa hakikat suatu tindakan manusia  mempengaruhi munculnya tindakan manusia yang lain, lalu mereka berserikat. Dalam hal ini sangat banyak ditemukan contohnya. Misalnya, kasus bencana alam yang membuat orang tergerak untuk menggalang dana tanpa diperintah siapapun.


Lebih jauh, Durkheim memilah solidaritas menjadi dua: organik dan mekanis. Pemetaan ini persis seperti penjelasan Khaldun yang membagi ashabiyah menjadi badawah dan hadarah. Organik (badawah) adalah masyarakat sederhana yang tergabung karena memiliki kesamaan, atau masyarakat alamiah atau kesukuan. Sementara mekanik adalah masyarakat yang kompleks yang disusun oleh perbedaan-perbedaan (pluralitas), mereka mengintegrasikan diri melalui pembagian kerja (devision of labour).

Nah, tepat pada dua pembagian inilah Strauss mengkritiknya, bahwa Durkheim masih dihantui oleh dualisme Eropa antara masyarakat maju dan tertinggal. Jika tipe-tipe masyarakat itu kemudian dihilangkan, apakah masih ada solidaritas sosial? Jika ada, dalam bentuk apakah solidaritas sosial itu? Dalam hal ini Strauss menemukan perkawinan atau kekerabatan (kinship) sebagai poinnya. Bahwa perkawinanlah yang menyebabkan integrasi sosial manusia itu mungkin. Kalau ditelusuri lebih dalam lagi, core dari perkawinan adalah bersifat fisikal yaitu pertukaran seksual. Pendeknya, integrasi sosial ditopang oleh pertukara seksual.

Namun demikian, menurut Strauss, pertukaran seksual manusia berbeda dengan hewan. Pertukaran seksual lewat perkawinan memiliki implikasi sosial sedangkan pada hewan tidak, atau yang dikenal sistem perkawinan yang berdampak secara kompleks terhadap masyarakat. Jadi, perkawinan sebetulnya bukanlah persoalan individu yang selesai di ranjang remang-remang melalui erangan-erangan, melainkan persoalan kelompok, suku, atau komunitas. Kelompok dan suku inilah yang dieratkan oleh perkawinan sehingga ada integrasi sosial.

Prinsip Pertukaran

Strauss juga melihat pada perkawinan ada kesaling-memberian antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Persis seperti fenomena komunikasi yang saling bertukar tanggapan atau pertanyaan sehingga pemahaman terjadi. Gagasan ini diperoleh dari Marcel Mauss dalam “The Gift” bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia yang ada adalah saling memberi dan menerima. Kemudian diperkuat Malinowski melalui priciple of reciprocity (prinsip timbal balik), yaitu siapa yang memberi pasti menerima, siapa menerima pasti memberi. Dalam perkawinan juga tak lebih dari persoalan timbal balik dari pihak yang terlibat di dalamnya.

Hanya saja, bagi Strauss, pertukaran ini ada dua model: restricted exchange (pertukaran terbatas) yaitu pertukaran antar dua individu atau kelompok dan generalize exchange (pertukaran meluas) yaitu pertukaran yang lebih dari dua individu atau kelompok. Perkawinan dapat mengambil dua model pertukaran ini. Pertanyaannya (benda) apa yang dipertukarkan? Jawabannya adalah perempuan itu sendiri. Sehingga muncul adagium bahwa sebetulnya perkawinan adalah persekongkolan antara dua laki-laki (ayah dan menantu) dalam mempertukarkan perempuan.     

Atom Kekerabatan

Sebagaimana corak atomistik positivisme modern, Strauss juga menelaah hingga ke unsur terkecil dari kekerabatan (kinship) itu sendiri. Kita umumnya menemukan apa yang dikenal “keluarga batih” yaitu ayah, ibu, dan anak. Tetapi, atom kekerabatan yang dimaksud oleh Strauss bukan itu, karena keluarga batih ini tidak dapat menjelaskan adanya relasi kelompok dalam perkawinan. Maka harus dilebarkan sedikit bahwa sang ayah berasal dari satu kelompok dan sang itu juga berasal dari satu kelompok. Sehingga perkawinan keduanya mengintegrasikan dua kelompok. Dapat digambarkan sebagai berikut antara keluarga batih dan atom kekerabatan:



                               
Jadi bentuk atomistik kekerabatan itu mesti dijelaskan seperti gambar kedua. Karena, pada model seperti itulah integrasi sosial dapat dijelaskan melalui perkawinan antara klan A dan klan B. Dan memang seperti itulah arti penting perkawinan bagi masyarakat dari sejak zaman purba hingga hari ini. Lebih jauh, pola ini dapat menjelaskan perkawinan ideal dalam masyarakat. Misalnya, perkawinan yang ideal bagi seorang lajang adalah sepupu perempuan dari ibunya (MBD: Mother’s brother’s Dughter) atau sepupu perempuan dari bapaknya (FSD: Father’s Sister’s Daugther). Hal ini sangat kental kita temukan dalam tradisi perkawinan di suku Batak yang patrilineal dan Minang yang matrilineal. Dua suku ini memiliki prinsip yang kokoh dalam mempertahankan integrasi komunitasnya sesama Batak atau sesama Minang.

Dengan penegasan kekerabatan (kinship) sebagai basis bagi integrasi sosial, maka Strauss berhasil menunjukkan suatu superstruktur sosial yang terlewatkan dalam struktur sosial Marxisme dan Fruedianisme. Bila Marx dan Frued meyakini struktur sosial itu ditempati oleh aktor sosial (Marx) dan individu (Frued), maka Strauss lebih menekankan pada prilakunya bukan aktornya. Demikianlah pertukaran seksual dan integrasi sosial dinyatakan dan posisinya dengan beberapa pemikiran lainnya.        



[1] Saya sedikit menjauhi istilah seksualitas, karena istilah ini asosiasinya dekat konstruksi seksual ala Michael Foucault. Sehingga menggunakan istilah itu bisa berarti seksual ala foucault. Sementara yang dimaksud bukan itu.

Post a Comment

0 Comments