Globalisasi dan Selembar Kertas Origami

Oleh: Herlianto A, santri STF Al Farabi Malang  
 
Sumber: Slideshare.net
Rupanya, dunia ada di saku kita masing-masing. Coba lihat dan keluarkan! Dunia itu merengkuh dalam ukuran yang tak lebih dari 10x8 sentimeter, portable, dan dapat dibawa kenama-mana. Untuk melihat isi dunia yang kita bawa ini cukup dengan tekan tombol “unlock” dan ketik dunia mana yang ingin dilihat. Maka, seketika kita berselancar dan menyusuri ruang-ruang dunia, mengamati turis-turis Italia yang “semok” mengenakan bikini sekedar berjemur di bibir pantai atau di atas perahu kecil. Melirik segerombolan gadis-gadis Amerika merayakan pesta sepeda tanpa busana di jalanan protokol. Juga mendapati pelukis-pelukis body painting yang sedang asyik “menggeranyangi” sekujur tubuh bule Jerman dengan kuwas dst.

Menara-menara menjulang macam Eiffel (Prancis), Twin Tower (Malaysia), Pisa (Italia), dan tak ketinggalan Monas, juga kita dapat dilihat digengaman secara eksklusif. Kemudian kita diajak ke timur tengah, dimana pembantaian atas nama agama berlangsung, darah berceceran, asap mesiu membubung di langit Suria, Libya, Yaman, Irak dst. Tak cukup disitu, tour berlanjut ke kutub utara dan selatan dimana gumpalan-gumpalan es pada meleleh akibat global warming, beruang putih terjebak di sumur es. Lalu dengan sekejab menyambangi Asia timur, melihat proyek nuklir Korea Utara bersama Kim Jong Un. Mengamati bekas-bekas bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Kemudian dihibur dengan penampilan artis-artis macam Song Hye-kyo, Han Ga-in dan Park Shin-hye, dengan menari telanjang dada di depan istana negara Korea Selatan. Dan tour ditutup dengan Pencak Silat, Reog, dan Topeng Malangan. Mengasikkan!  

Itulah rute travelling global yang baru saja kita ramaikan hanya dengan melotot dan menengadah di hadapan layar smartphone berukuran 6 inci di tangan Anda sekalian. Dunia terasa mengecil antara satu ujung dengan ujung lain dapat ditempuh cukup dalam dua hingga empat kali klik saja. Peristiwa ini orang-orang menyebutnya sebagai salah satu ciri Globalisasi.

Metafor Globe

Lalu apa itu globalisasi? Istilah ini berasal dari kata “global” yang berarti menyeluruh atau universal. Sehingga “global-isasi” adalah proses dunia yang menyeluruh. Gampangnya, globalisasi adalah dunia yang mengecil, dunia yang ter-miniaturisasi sebagaimana bumi menjadi globe (tiruan bola bumi). Globe merepresentasikan bumi yang begitu luas, sehingga seakan-akan manusia dapat memposisikan diri di luar bumi dan dapat melihatnya secara keseluruhan. Maka semua negara, garis lintang dan garis bujurnya, ceruk-ceruk, gunung-gemunung dapat dilihat lewat Globe. Begitulah kiranya Globalisasi dapat kita metaforkan.

Dalam konteks historis, Ronald Robertson membuat lima klasifikasi fase globalisasi. Dimulai dari abad ke 15, lalu 17 (1870an), antara 1870-1920, kemudian 1920-1960, dan terakhir 1960 hingga sekarang. Dalam rentang ini memang merupakan abad penemuan-penemuan besar teknologi dalam sejarah kehidupan manusia yang dimulai oleh renaisans (teknologi) dan enlightenment (politik). Menurut Ali H. Al Hakim, pemetaan ini lebih condong memaknai globalisasi sebagai kontrol atas masyarakat lewat kekuatan militer[1]. Pendekatan Hakim ini membuat globalisasi cenderung politis dan kurang tepat, karena era-era itu penemuan yang memungkinkan gerakan global sudah mulai ada. Misalnya, ditemukannya pesawat terbang oleh Orville Wright dan Wilbur Wright pada 1946, internet ditemukan pada 1969 oleh Leonard Klainrock dan sejumlah teknologi lainnya. Jadi sebetulnya globalisasi lebih berciri teknologis ketimbang politis, walaupun pada akhirnya sarana globalisasi digunakan untuk tujuan politis dan kekuasaan.

Laksana Membuat Origami

Jadi, globalisasi terjadi lantaran sebab-sebab teknologis. Kemajuan teknologi memungkinkan dunia ini mengglobal, menyempit, dan terjangkau. Itu semua diawali dengan lahirnya teknologi modern dalam bentuk komunikasi ataupun transportasi, seperti pesawat terbang supersonik, satelit-satelit, teknologi mobile, dan internet, media sosial. Dimana itu semua memungkin manusia melampaui dunia, menerobos batas-batas, baik batas wilayah ataupun batas personal.   

Menurut Yasraf Amir Piliang, dengan teknologi dunia ini seperti selembar kertas origami yang dilipat-lipat, lipat dua, lipat tiga, dst[2]. Dalam kedaan foldable (dapat dilipat) ini, antara ujung yang satu dengan ujung yang lain mudah sekali dipertemukan dan dipertukarkan. Apakah dalam pelipatan ini dunia semakin kecil dalam arti harfiah? Tentu saja tidak demikian, dunia yang dilipat adalah dalam arti ruang dilipat oleh waktu. Bahwa ruang yang begitu luas dapat dimampatkan (dikompresi) melalui mempercapat waktu. Misalnya, jika untuk mengirim surat cinta awalnya membutuhkan lima hari lewat pos untuk sampai ke pujaan hati, maka kini cukup dengan short message service (SMS) atau telepon langsung pesan cinta lebih cepat tersampaikan hanya dalam hitungan detik, jawaban cinta juga segera didapat. 

Dengan ini, berarti ruang yang jauh dilipat oleh waktu yang cepat. Begitu juga dalam artian transportasi, jika waktu tempuh antara kepulauan Masalembu ke Surabaya 24 jam dengan kapal layar, maka dengan pesawat supersonik hanya diatasi dalam waktu 30 menit saja. Ini artinya, kepulauan Masalembu terlipat dengan Surabaya. Begitu juga dengan ilustrasi di awal, hanya dengan gad get yang terpasang di smartphone, manusia dapat bertamasya ke berbagai negara, budaya, tradisi, dan pariwisata tanpa harus beranjak dari tempat duduk, dan sambil minum kopi (tetapi tidak merokok).

Teknologi dan Cara Berada Manusia

Bagi Martin Heidegger dalam The Question Concerning Technology, perkembangan teknologi sebagai petanda (signifier) bagi globalisasi tidak hanya memampatkan ruang, tetapi juga menjadi cara berada manusia (Dasein) itu sendiri yang berada-di dalam-dunia. Teknologi adalah kebutuhan keseharian manusia untuk melalui kehidupannya di dunia yang dimukiminya, sehingga teknologi turut menentukan terhadap cara berada manusia[3]

Pendekatan Heidegger ini kemudian dilanjutkan oleh Don Ihde, pemikir filsafat teknologi asal Amerika. Ihde, dengan mengais sisa-sisa fenomenologi Husserl, merumuskan hubungan kebertubuhan (embodiment relationship) antara manusia dan teknologi. Bahwa manusia dan teknologi adalah melekat, tak ada kehidupan tanpa teknologi. Karena itu berarti konstruksi pengetahuan manusia juga ditentukan olehnya, artinya teknologi juga mempengaruhi persepsi manusia.

Manusia sebagai noesis yang mengetahui dengan alam sebagai noema yang diketahui diperantarai oleh teknologi. Misalnya, dengan menggunakan alat optik untuk melihat benda terkecil atau benda yang jauh. Ini berarti pengetahuan manusia akan benda terkecil dan terjauh bergantung (melalui) pada teknologi optik. Hal ini persis sebagaimana Galileo Galilei merancang teropong untuk melihat tekstur bulan. Kira-kira strukturnya sebagai berikut:

Kita ———— Melalui ——— Dunia
Melihat            Alat optik           Alam sekitar
(Noesis)                                      (Noema)      

Manurut Ihde Pola hubungan manusia dan teknologi dapat dirumuskan ke dalam empat bentuk. 1) hungungan kebertubuhan (embodimen), seperti menggunakan kacamata melihat kertas-kertas di sekitar atau dokter gigi yang menggunakan alat gigi untuk mencabut gigi bolong pasiennya. 2) hubungan hermeneutis (hermeneutical), seperti saat kita menafsiri hasil jepretan binatang amoeba dengan menggunakan microskop digital. Dari hasil jepretan itu kita membaca atau menafsiri struktut tubuh amoeba. 3) hubungan keberlainan (alterity), yaitu bahwa teknonologi tak lebih sebagai alat yang berbeda dari diri manusia dan manusia mengkajinya. Hal ini baru terasa apabila alat yang digunakan hilang atau rusak. 4) hubungan latar belakang (background), dapat digambarkan dengan manusia menyalakan AC dan setelah itu membiarkan AC hidup tanpa ada lagi keterlibatan manusia di sana[4].   

Ekstensi Globalisasi

Dengan kekuatan teknologi, maka membuat era global memiliki ciri khas memaksimalkan teknologi untuk mengeksplorasi dan menguasai alam. Berbagai alat-alat canggih diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hingga kerakusan manusia. Bahkan manusia menciptakan imitasinya sendiri seperti robot-robot yang dapat bergerak sendiri dan sudah mulai berpikir. Misalnya, Robot Asimo buatan Jepang yang disebut-sebut robot paling cerdas di dunia dan dapat berinteraksi dengan manusia. 

Kecerdasan buatan (artificial intelligence ) yang diciptakan tak hanya untuk kebutuhan badani, tetapi juga untuk alat-alat pemuas hasrat birahi macam dildo (alat bantu sek)[5]. Atau alat bantu lainnya seperti membuat patung silikon yang mirip perempuan paling cantik sedunia yang dilengkapi dengan kelamin yang dimanfaatkan. Sehingga dengan alat-alat ini mereka bisa orgasme tanpa harus melalui pasangan sesama manusia.

Selain itu, teknologi globalisasi juga mempengaruhi pembuatan senjata perang super canggih yang dapat melakukan pembunuhan massal mulai nuklir hingga senjata kimia. Pada titik ini, globalisasi justru melahirkan kerakusan dan dampak dehumanisasi yang mencapai kulminasinya. Alih-alih menjaga keamanan, senjata perang justru melahirkan arogansi negara-negara maju dan menjajah negara-negara berkembang.

Jadi, setelah dunia betul-betul dilipat melalui teknologi, maka dalam pemadatan ruang yang terjadi adalah ketumpang-tindihan. Yang terjadi adalah over segalanya, over informasi membuat kita disuguhkan berita-berita yang membuat kita muak. Menjadkan otak tidak cerdas lantaran berita yang sampai menyestakan. Over interaksi budaya, yaitu generasi kemudian menjadi anti pada budayanya sendiri dan lebih suka mengidentitaskan diri ke-Barat-baratan atau ke-Arab-araban. Over politik, dalam situasi ini menjadi tidak jelas mana yang politik dan mana yang bukan, sebagian orang mencampur politik dengan agama, lalu diramu dengan ekonomi dst. Over ekonomi yaitu kapitalisasi yang akut, masin-mesin kapital dunia macam IMF, World Bank, dan korporasi-korporasi asing menjajah dunia ketiga. Mengeruk kekayaan ekonomi rakyat, sehingga wajar jika globalisasi justru memperlebar margin antara si kaya (the have) dan si miskin (the have not).      

Dengan demikian, globalisasi telah menyebabkan pemadatan disegala bidang memberikan dampak positif sekaligus negatif terhadap keberlangsungan hidup manusia. Karena itu kita harus menyiapkan diri dengan lebih baik agar dapat memaksimalkan dan menyorong globalisasi ke arah yang positif. Karena apapun alasannya kehidupan ini sudah tidak mungkin melepaskan diri dari globalisasi. 

 #filsafatmazhabkepanjen


[1] Dalam Oliver Leaman. Pemerintahan Akhir Zaman: Justice and Globalization Islamic Centre of England. Jakarta: Al Huda.2005., hal 29-31.
[2] Amir Yasraf Pliang. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan (edisi 3). Bandung: Matahari. 2011., hal 45-78.
[3] Dikutip dari Francis Lim. Filsafat Teknologi: Don Ihde Tentang Dunia, Manusia dan Alat. Jogjakarta: Kanisius. 2011.,hal 59-60
[4] Ibid., hal 101-123
[5] Budi Hartanto. Dunia Pasca-Manusia: Menjelajahi Tema-Tema Kontemporer Filsafat Teknologi. Depok: Kepik. 2013., hal 45-57.

Post a Comment

0 Comments