Oleh: Herlianto A
Setiap kali saya menghadiri forum
atau diskusi filsafat yang terlihat adalah jumlah peserta perempua selalu
minoritas ketimbang laki-laki. Maka, selalu timbul pertanyaan dalam benak
mengapa demikian, apa sebenarnya yang terjadi di dalam dunia filsafat? Apakah
memang filsafat itu berkarakter kelelakian (maleness) atau netral?
Dalam pencarian saya atas pertanyaan
tersebut, saya dibawa oleh mesin pencari (search engine) pada kasus yang
pernah populer di Amerika pada tahun 2013 lalu yaitu kasus yang menimpa filosof
asal Inggris Colin McGinn. Filosof “philosophical of mind” tersebut dilaporkan
oleh asistennya yang merupakan mahasiswanya sendiri dengan tuduhan pelecehan (harassment)
seksual.
Sang filosof diduga mengirim
kata-kata yang tidak pantas pada email asistennya. Beberapa di antara kata-kata
yang dikirim yaitu handsjob dan slight erection. Dua kata ini mengacu
pada aktivitas seksual, yang pertama bermakna aktivitas seks menggunakan tangan
dan yang kedua berkaitan sedikit ngaceng yang diharapkan.
Menariknya, dalam pembelaannya,
pengajar di university of miami itu berkilah bahwa kata-kata itu adalah philosohical
joke (candaan filosofis) yang disalahpahami oleh asistennya sebagai
pelecehan. Hal itu wajar, karena perempuan dianggap tidak utuh memahami hal-hal yang berbau filsafat. Apapun pledoinya,
McGinn memilih akhirnya pensiun dini dari karirnya di usia 61 tahun.
Tetapi respon publik terutama di
kalangan filosof tidak berhenti di situ. Banyak kalangan membawa pembelaan
McGinn itu terhadap adanya seksis dalam filsafat. Respon-respon filosof
terutama dari kalangan perempuan bermunculan yang kemudian dipublis pada rubrik
The Stone Newyork Time. Para filsosf itu, diantaranya Sally Haslanger,
profesor filsafat di Massachusetts Institute of Technology, menulis
artikel berjudul Woman in Philosophy? Do The Math dan Linda Martin
Alcoff, profesor filsafat di Hunter Collage, menulis Whats’s Wrong
with Philosophy?.
Dua artikel ini mempertanyakan porsi
perempuan di dalam dunia filsafat yang tidak sebanyak laki-laki. Juga
disinggung penilaian orang tentang perempuan yang belajar filsafat sebagaiman
McGinn menilai perepuan. Secara persentase, menurut Haslanger pada tahun 2003,
dari 1.300 filosof yang menjadi isntruktur filsafat ternyata yang perempuan
hanya 16,6 persen. Selebihnya laki-laki, itupun didominasi oleh ras kulit
putih. Bahkan di kawasan Anglophone sendiri secara total persentase filsuf
perempuan hanya 21,9 persen.
Laporan ini sejalan dengan temuan
British Philosophical Association (BPA) pada tahun 2011 bahwa dari
keseluruhan pelajar filsafat di level doktoral di United Kingdom porsi perempuan
hanya 35 persen saja. Data-data ini menunjukkan bahwa laki-laki sangat mendominasi
dunia filsafat atas perempuan, bahkan sejak era klasik Yunani.
Walaupun begitu, sebetulnya ada
cukup banyak filosof dari kalangan perempuan kalau dihitung sejak era Yunani. Pengaruhnya
juga tidak kalah besarnya ketimbang filosof laki-laki dalam dunia filsafat. Di
era klasik, Plato menulis Symposium di dalamnya menceritakan sosok
perempuan bijak bernama Diotima, yang dikisahkan oleh Sokrates pada lawan-lawan
bicaranya.
Kemudian, sejarah filsafat juga
mencatat filsosf-filsosf perempuan, misalnya Aspasia (410 SM), seorang perempuan
yang juga filosof politik. Diceritakan dalam Philosophical Tale oleh
Martin Cohen, dia sempat menjadik gundiknya Perikles yang kemudian menjadi istrinya.
Kemudian ada Teano yang disebut-sebut pengikut phytagorean. Selanjutnya Hypatia
(350 M), filosof perempuan yang kemudian dibunuh oleh rezim karena pemikirannya.
Lalu di abad modern, filosof perempuan
juga tidak kurang-kurangnya walaupun memang tidak sebanyak laki-laki. Misalnya,
Hannah Arendt (Jerman) filosof politik, Simone de Beauvoir (Prancis) yang
eksistensialis cum feminis, Judith Butler (Amerika) seorang feminis,
Elizabeth Anscombe (Inggris) etikawan, Carol Giligan (Amerika) penggagas
pemikiran etika kepedulian, dst. Kalau kita mau ke wilayah timur, misalnya, ada
Sachiko Morata (Jepang) filosof pemikiran Islam, Saba Mahmood (Pakistan) yang
seorang feminis, dst. Masing-masing tokoh ini tak ada yang meragukan sumbangsihnya
dalam dunia filsafat.
Tetapi mengapa hingga hari ini
persentase filosof perempuan tetap berada jauh di bawah laki-laki sebagaimana
beberapa hasil survei di atas? Haslanger dan Alcoff menjawab beberapa faktor
penyebabnya. Di antaranya, citra filosof masih diidentikkan dengan orang berjenggot,
penampilannya awut-awutan, wajahnya terkesan tua, dst. Sehingga perempuan
filosof diejek demikian.
Dari sisi fasilitas, sarana bagi
perempuan untuk belajar filsafat tidak terlalu memadai ketimbang dunia sains.
Sains memiliki banyak funding (penyandang dana) sementara filsafat tidak. Lalu,
dari sisi komunitas di mana perempuan memiliki sangat sedikit komunitas
filsafat ketimbang laki-laki. Ini yang membuat pamor filsafat tidak naik-naik
di kalangan perempuan.
Jawaban yang lebih mendalam dari
ini dinyatakan Genevieve Lloyd, filosof Australia lewat buku The Man of
Reason: “Male” and “Female” in Western Philosophy. Lewat buku itu pengajar di
Australian National University itu mengungkapkan bahwa selama ini ada
konspirasi di dalam dunia filsafat itu sendiri terkait “reason”.
Bahwa “reason” adalah identik dengan kelelakian (maleness).
Jadi karena filsafat itu berkaitan dengan rasio, maka alur logisnya filsafat
berkarakter lelaki bukan perempuan. Hal ini yang ditemukan Lloyd dalam berbagai
pemikir besar Barat macam Kant dan Hegel. Sehingga perempuan teralienasikan kiprahnya
dalam dunia filsafat. Seolah filsafat bukan dunia perempuan. Sekalipun ada filosof
perempuan saat ini, lanjut Lloyd, mereka adalah sisa-sisa dari sekian perempuan
yang pernah berjuang sebelumnya dan digugurkan.
Begitulah sejarah mengkonstruksi
filsafat dalam relasinya dengan perempuan. Untuk itu, kita membutuhkan paradigma
baru untuk melawan filsafat yang bercorak patriarki itu. Karena sejatinya “reason”
tidak ada habungannya dengan maleness. “Reason” adalah kemampuan potensi
diri untuk menyingkap realitas menjadi suatu pengetahuan. Itu dapat dilakukan
oleh siapapun baik laki-laki maupun perempuan.
0 Komentar