Virus Itu Viral dan Viral Itu Virus


Oleh: Herlianto A
Sumber: pixabay.com

Salah satu pengandaian yang tersisa tentang virus korona (Covid-19) adalah andai saja tidak viral apa yang akan terjadi? Jawaban pengandaian saya adalah mungkin saja, virus korona tak lebih dari penyakit TBC (tuberculosis) yang juga menular dan tak kalah berbahayanya, dianggap biasa saja, dan direspon pula secara biasa.

Sebagaimana Korona, penderita TBC juga memiliki batasan-batasan untuk mencegah penularannya. Sampai hari ini, pemilik riwayat TBC tidak mudah masuk ke negara lain, misalnya, pengurusan visa ke UK (United Kingdom) akan dipersulit. Beberapa negara lainnya, pengurusan visa harus disertai dokumen kesehatan bebas TBC.

Orang sekitar penderita ini juga harus berhati-hati saat berkontak dengan penderita TBC, penggunaan masker diwajibkan, dan menjaga jarak yang dikenal dengan social distancing. Ruang perawatan penyakit paru ini tidak mudah dikunjungi oleh semua orang. Pada banyak kasus TBC juga mengakibatkan kematian.

Tetapi TBC tidak mengguncang dunia, tak ada PSBB atau lockdown bagi suatu wilayah tertentu di mana ditemukan penderitnya. Tak ada work from home dan yang online-online lainnya. Mengapa demikain? Hipotesa sederhananya adalah TBC tidak lagi viral, dan mungkin juga secara medis penanganan terhadapnya lebih siap, karena bukan virus baru walaupun tetap mematikan.

Mengapa tentang viral? “Medium is the message” (media adalah pesan itu sendiri), demikian petuah Marshal McLuhan. Ungkapan ini untuk menunjukkan betapa, saat ini, di era 4.0, antara pesan dan media yang membawa pesan telah tertukar secara kacau balau. Orang tak lagi melihat pesan tetapi medianya, euforia apa yang terjadi akibat distrupsi media tertentu.  


Dengan psikologi sosial maam ini, maka apa yang disebut “viral” dapat dipahami. Bahwa viral tak lebih dari permainan media yang bekerja sebagaimana virus menular dan berkembang biak. Viral itu seperti virus, yang menjangkit pada satu agen lalu menular pada agen lainnya.

Satu informasi disebar ke group-group media komunikasi, di-share lagi ke media sosial, lalu diproduksi ulang oleh media lainnya lagi, lalu dishare lagi dan begitu seterusnya. Sehingga terjadi akumulasi dari sekian persebaran itu, lalu menjadi viral.

Dengan cara kerja demikian, “viral” dapat diciptakan oleh yang memiliki kepentingan. Di sinilah para buzzer berperan untuk mengendalikan dunia maya, menciptakan isu-isu, memframing data sedemikian rupa sehingga publik yang tak lagi peduli pada isi pesannya. Lalu dengan suka rela terlibat dalam viralisasi itu.

Dan nyatanya, viral itu dapat mengubah secara signifikant pandangan publik terhadap suatu hal, tidak hanya pada publik lokal tetapi juga global.  

Hal itu jelas terlihat pada peristiwa pandemi korona ini, tentu saja tanpa bermaksud mereduksi bahaya virus asal Cina itu. Bahwa “viral” turut mengambil peran dalam mengacaukan suasana kondusif suatu masyarakat, dengan menciptakan kepanikan. Aneka jenis viral terus terjadi akibat pandemi ini, mulai dari soal lockdown, viral  jumlah kematian, dan bahaya puncak pandemi yang membuat kita panik bukan waspada.

Jelasnya, viralisasi mengambil peran penting dalam kepanikan ini, lebih-lebih jika dibandingkan dengan penyakit TBC sebagai penyakit menular yang juga tak kalah berbahayanya. Tetapi TBC tidak mengguncang masyarakat dunia, tidak mengacak-ngacak perekonomi nasional dan internasional. Karena memang sudah dianggap biasa.

Dengan demikian, yang berbahaya saat ini adalah bersatunya antara virus dan viral, yang terus inseminasikan ke dalam kesadaran kita melalui media. Kita tidak hanya berhadapan dengan virus korona, tetapi juga kepanikan itu sendiri.

Semoga wabah ini segera berakhir dan kita semua kembali beraktivitas seperti sedia kala. Karena ada banyak agenda dari kita masing-masing yang tertunda yang mestinya telah selesai, termasuk ada kerinduan yang terpendam akibat karantina.  

Post a Comment

0 Comments