Mencemaskan Kematian

Oleh: Herlianto A

Sumber: idntimes.com

Apakah kita belum terlalu tua untuk membicarakan kematian? Tidak, bila kematian tiba, tidak akan mundur atau maju sedetikpun. Mati adalah kepastian bagi setiap yang bernafas. Tapi kapan peristiwa itu? Inilah misteri yang mesti dialami setiap yang hidup, termasuk manusia. Tak ada yang tahu secara pasti kapan kehidupan ini akan berakhir. Ketidaktahuan inilah yang melahirkan kecemasan.

Ilmu pengatahuan memberikan indikator bahwa kematian terjadi lantaran secara teknis fungsi organ-organ manusia mengalami kegagalan atau kerusakan. Gagal jantung, gagal ginjal, kerusakan paru-paru, pecahnya pembuluh darah, dst. Karena itu, menjaga fungsi organ tetap stabil adalah “dianggap” salah satu cara “menunda kematian”.

Ilmu kedokteran berusaha keras mengidentifikasi persoalan-persoalan kegagalan fungsi organ vital manusia, untuk menunda kematian. Teknologi canggih (high techology) diciptakan untuk merawat organ-organ itu apabila gangguan sehingga penyebab kematian dapat diatasi. Walaupun begitu kegagalan fungsi organ juga tetap terjadi pada setiap organ manusia yang bahkan secara medis terekam sehat. Mengapa begitu, kembali penyebabnya miteri.

Secara filososfis, kematian adalah peristiwa ada menjadi tiada dalam arti esensial yaitu wujud manusia hilang melebur menjadi tanah. Jadi manusia di dalam dunia bergeser dari ada menjadi tiada (Sein-zum-Tode). Proses meniada ini secara eksistensial membuat manusia cemas (angts) akan keberadaannya. Mengapa manusia mencemaskan ketidaaan dari keberadaannya?

Karena manusia adalah mahluk ada (Das Sein: Heidegger), yaitu mahluk yang memikirkan dan membicarakan keberadaannya. Manusia merefleksikan esensi dan eksistensinya sebagai manusia dan hubungannya dengan dunia. Sementara itu, untuk mengada manusia tidak pernah memintanya. Mereka begitu saja terlempar ke dalam dunia, lalu bermain dan tinggal di dalam dunia. Manusia kemudian kerasan (feel at homre) atau betah berada di dalam dunia.

Tetapi umur menua, rambut beruban, otot mengendor, dan seluruh fungsi organ akan berhenti, lalu roh itu kemudian dicabut. Manusia lalu menjadi sebujur bangkai, yang nilainya tak berbeda dengan seekor kerbau yang mati. Serendah itukah kehidupan bagi mahluk ada ini? Tidak, manusia memiliki opsi (pilihan) dengan apa dia akan mengakhiri kehidupannya.

Setidaknya ada dua opsi, versi Heidegger. Pertama, kematian yang datang dengan sendirinya (off-liven) persis seperti kematian tanaman, jam tangan, handphone, dan sejenisnya. Kedua, kematian yang direncanakan (sterben), yaitu kematian yang mewarnai kehidupan, kematian yang ditangisi oleh banyak orang karena jasa-jasa selama hidup.

Bila opsi yang pertama manusia berusaha menghindar dari kecemasannya akan kematian dengan bersenang-senang, merebut kekuasaan, popularitas dan kekayaan, pada opsi kedua justru mendorong manusia menjemput kematian sebagaimana yang direncanakan, itulah kematian para syahid, para pahlawan, dan pejuang kemanusiaan lainnya. So, kita mau pilih yang mana? Up to you.

Namun begitu, seburuk apapun pilihan kematian itu, tetap setidaknya menjadi peristiwa kehilangan bagi keluarganya. Kematian bukan semata tentang meniadanya sosok individu yang lepas dari lingkungan sosialnya, tetapi juga hubungannya dengan orang-orang di sekitar. Atau paling tidak bagaimana lingkungan sekitar merespon “kehilangan” suatu peristiwa kematian, lebih-lebih mereka yang memiliki ikatan dengan yang mati.

Di situ kita temukan tahapan psikis yang kita alami.Mulai dari penolakan (denial), kita menangis berusaha menolak apa yang telah terjadi, seolah kematian itu belum terjadi. Lalu marah (anger) karena tak mampu lagi menolak kenyataan yang tak mungkin diulang itu. Menawar (bargaining) bisakah kenyataan itu ditunda, biarkan dia hidup sebentar lagi saja hingga selesai anaknya diwisuda, tapi itu juga tak bisa.

Maka depresi (depression) datang, tak mampu lagi membendung kekecewaan atas fakta yang terjadi, bisanya diwujudkan dalam upaya merusak diri (self destruction), bunuh diri, minuman keras, dst. Dan terakhir, menerima (acceptence), karena sudah tidak mungkin menolak kenyataan. Lebih baik menata hati, dan menatap waktu dan ruang yang akan datang. Untuk sampai pada tahap akhir ini, biasanya membutuhkan waktu.   

Begitulah manusia mencemaskan kematian, suatu peristiwa niscaya tetapi dikemas dalam bentuk misteri oleh waktu yang tak tentu. Saat ini, di tengah pandemi Covid-19 kita cemas dengan mengkarantina diri sebagai suatu upaya menunda kemungkinan kematian. Agar virus itu tak menginfeksi dan merusak sistem pernafasan. Upaya medis yang rasional.

Tetapi karantina yang terlalu lama, juga mencipta kecemasan akan kematian dalam modus yang lain yaitu mati akibat kelaparan. So, kita mesti tetap bekerja sebisa mungkin sembari berusaha mengantisipasi penularan Covid-19 dengan cara terbaik. Kalaupun toh kemudian kematian itu datang karena virus, maka sudah saatnya otoritas atas hidup ini kita kembalikan pada yang Ilahi.


"
"