“Triadik Putuisme”, Strukturalisme Yang Tersisa di UGM?


Oleh: Herlianto. A
Prof. Dr. I DewaPutu Wijana. (Foto: Edited/Mazhabkepanjen)

Gempuran poststrukturalisme di abad 20 ini tidak saja mengacak-ngacak nalar filosofis tetapi juga menusuk ke jantung paradigma linguistik terutama linguistik struktural. Kajian sosiolinguistik atau linguistik sosial adalah salah satu produk konkrit dari gerilya pemikiran yang diusung Derrida, Lyotard dkk. itu.

Nalar linguistik sosial menandingi, untuk tidak mengatakan mengakhiri, paradigma struktural bahasa pasca de Saussure, Roman Jacobson, dan terakhir Noam Chomsky. Bahwa bahasa tidak lagi independen dari fakta sosialnya. Wardhaugh tokoh kenamaan sosiolinguistik menyusun empat proposisi linguistik sosial, di mana tiga di antaranya diterima dan satu lainnya ditolak.

Empat proposisi itu berbunyi: 1) bahasa mempengaruhi budaya; 2) budaya mempengaruhi bahasa; 3) bahasa dan budaya saling mempengaruhi; 4) bahasa dan budaya tidak saling mempengaruhi. Para dedengkot linguistik sosial macam Holmes, Meyerhoff, Mesthrie dkk. menolak proposisi ke empat yang sebelumnya dibangun secara mengangumkan oleh Chomsky dalam bingkai Syntactic Structure atau lebih dikenal transformational grammar.

Pemicunya sederhana, tetapi tidak terduga yaitu hasil riset William Labov, bahwa perbedaan bunyi fonem “r” di akhir kata dalam pengucapan orang Amerika identik dengan perbedaan kelas sosial mereka. Semakin tidak terdengar bunyi “r” maka kelas sosialnya semakin tinggi dan sebaliknya.

Hasil ini, tak pelak, menyimpulkan bahwa bahasa tidak independen dari keadaan eksternalnya. Lebih jauh keidentikan bahasa dengan realitas eksternalnya ini menyasar pada perbedaan jender, perbedaan agama, profesi, hingga letak geografis suatu komunitas tutur tertentu. Bahasa selalu terkait dengan identitas-identitas tersebut. Sederhananya, bahasa maskulin tidak sama dengan feminim, bahasa agama A berbeda dengan agama B, dst. Contoh, kosa kata perempuan dan kosa kata laki-laki dalam berbahasa ada perbedaan, atau orang yang beragama Islam akan berbeda kosa katanya dengan orang beragama non-Islam.
 


Gelombang anti-struktural ini menyasar ke berbagai ruang-ruang akademik, salah satunya, tentu saja Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat saya belajar saat ini. Prodi linguistik UGM membuka jurusan khusus sosiolinguistik. Jurusan yang membangkang pada strukturalisme. Persoalannya apakah para strukturalis di kampus matahari ini sirna? Jawabannya tidak, tetapi barangkali sudah di suasana yang senja.

Jika kita coba amat-amati beberapa sosok pengajar di UGM berikut karya-karyanya, terutama di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang turut menaungi jurusan lingustik, sejarah dan antropologi, pernah menjadi para misionaris strukturalisme. Di jurusan sejarah kita mengenal sosok Kuntowijoyo, yang salah satu gagasan besarnya adalah ilmu sosial profetik.

Beberapa karyanya Paradigma Islam, Muslim Tanpa Masjid, dan Identitas Politik Umat Islam, terlihat betapa nalar Kuntowijoyo sangat strukturalis. Di jurusan antropologi, kita mengenal sosok Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra (saya sempat mengikuti kelas strukturalismenya selama satu semester), yang menulis Strukturalisme Levi Strauss dan beberapa buku lainnya. Dia sering disebut penerus Kuntowijoyo. 

Strukturalisme Levi Strauss adalah satu buku yang memang didesain untuk membuktikan kebenaran strukturalisme dalam antropologi dengan mengkaji beberapa fenomena kebudayaan Indonesia, mulai dari suku Bugis, Bajo, hingga Jawa.

Salah satu selorohnya saat mengajar adalah bahwa lemahnya kajian humoniora di Indonesia saat ini, menurutnya, tidak lepas dari ahli-ahli di bidang ini yang tidak menguasai linguistik. Tentu yang dimaksud adalah linguistik struktural.

Bagaimana dengan jurusan linguistik? Pelajar linguistik di Indonesia saya kira sangat akrab dengan nama Sudaryanto, penyusun buku Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Buku ini jamak kita temukan kutipannya di bagian metodologi riset-riset bahasa para mahasiswa.

Misalnya yang sangat terkenal adalah teknik pengumpulan datanya Simak Bebas Libat Cakap (SBLC), atau metode analisisnya metode Agih (distribusi: perluasan atau pemendekan bahasa) dan Padan (korelasi: hubungan bahasa dan luar bahasa).

Dia adalah tokoh struktural dan buku yang dimaksud itu diwujudkan untuk misi strukturalisasi di bidang metodeologi linguistik. Walaupun linguistik sosial juga memakai buku itu tetapi dengan pembacaan yang berbeda. Sayangnya, Sudaryanto memilih keluar dari UGM, entah apa persoalannya.

Sosok lain yang bisa disebut adalah Prof. I Dewa Putu Wijana. Sosok linguis struktural yang sekaligus ahli humor. Dia menulis banyak artikel tentang humor dan kajian deskripsi bahasa. Saya berkesempatan dibimbing beliau untuk menyelesaikan satu tesis Orang Madura dalam Humor: Kajian Sosiolinguistik.

Corak struktural Prof. Putu, begitu orang-orang memanggilnya, adalah kajian tiga serangkai yang mesti ada dalam satu riset bahasa yaitu: bentuk (form), makna (meaning) dan fungsi (function). Tiga serangkai pemetaan ini saya menyebutnya sebagai “Triadik Putuisme”. Dengan ini, suatu riset bahasa dianggap absah apabila memenuhi tiga unsur tersebut.

Kalau kita cermati riset-riset Prof. Putu terutama yang berkaitan dengan sistem nama diri (onomastik) dan sistem penamaan wilayah atau jalan (toponimi), maka sangat terlihat bagaimana tiga struktur yang wajib ada itu terpampang dengan jelas. Walaupun begitu, menariknya, beliau mengajar linguistik sosial yang paradigmanya sangat kontras dengan paradigma strukturalisme.

Apakah ini suatu penanda bahwa struturalis UGM mulai membuka diri, atau bahkan tak kuasa lagi menahan gempuran post-struktural yang hingga kini masih cukup kuat di dalam studi linguistik. Saya melihatnya, apa yang ditunjukkan oleh Prof. Putu adalah semangat strukturalisme yang tinggal sisa di UGM.

Jika dilihat dari beberapa pengajar lainnya, terutama yang lebih muda dari beliau cukup membuka diri terhadap paradigma anti-struktural. Ini berarti dalam hitungan tahun ke depan dapat diprediksi strukturalisme lingusitik UGM betul-betul berada di ujung senja.

Namun apapun yang terjadi, suatu corak pemikiran selalu memiliki aktor-aktornya yang konsisten mempertahankan ajaran pemikiran itu atau memolesnya dengan bentuk yang baru. Tetapi juga, tidak menutup kemungkinan, setelah melalui suatu kajian yang panjang, aktor pemikiran tertentu berubaha arah atau berbalik arah. Tak perlu dirisaukan, hal ini lumrah dalam tradisi pemikiran.         
"
"